Kamis, 11 Desember 2008

P P NOM0R 45 TAHUN 2004 ttg perlindungan hutan

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
NOM0R 45 TAHUN 2004
TENTANG
PERLINDUNGAN HUTAN
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang :
bahwa dalam rangka pelaksanaan lebih lanjut ketentuan Pasal 46 sampai dengan Pasal
51, Pasal 77 dan Pasal 80 Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan,
maka perlu menetapkan Peraturan Pemerintah tentang Perlindungan Hutan;
Mengingat :
1. Pasal 5 ayat (2) dan Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 sebagaimana telah
diubah dengan Perubahan Keempat Undang- Undang Dasar 1945;
2. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1960 Nomor 104, Tambahan Lembaran
Negara Nomor 2034);
3. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam
Hayati dan Ekosistemnya (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1990 Nomor
49, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3419);
4. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1992 tentang Penataan Ruang (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 115, Tambahan Lembaran Negara Nomor
3501);
5. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1997 Nomor 68, Tambahan Lembaran
Negara Nomor 3699);
6. Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 167, Tambahan Lembaran Negara Nomor
3888) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2004
tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 1 Tahun
2004 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang
Kehutanan menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2004 Nomor 86, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4412) ;
7. Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi
Daerah Istimewa Aceh sebagai Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2001 Nomor 114, Tambahan Lembaran Negara
Nomor 4134);
8. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi
Papua (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2001 Nomor 135, Tambahan
Lembaran Negara Nomor 4151);
9. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 125, Tambahan Lembaran Negara
Nomor 4437);
BABI
KETENTUAN UMUM
Bagian Kesatu
Pengertian
Pasal 1
Dalam Peraturan Pemerintah ini, yang dimaksud dengan:
1. Perlindungan hutan adalah usaha untuk mencegah dan membatasi kerusakan hutan,
kawasan hutan dan hasil hutan, yang disebabkan oleh perbuatan manusia, ternak,
kebakaran, daya-daya alam, hama dan penyakit, serta mempertahankan dan menjaga
hak-hak negara, masyarakat dan perorangan atas hutan, kawasan hutan, hasil hutan,
investasi serta perangkat yang berhubungan dengan pengelolaan hutan.
2. Polisi Kehutanan adalah pejabat tertentu dalam lingkup instansi kehutanan pusat dan
daerah yang sesuai dengan sifat pekerjaannya, menyelenggarakan dan atau
melaksanakan usaha perlindungan hutan yang oleh kuasa undang-undang diberikan
wewenang kepolisian khusus di bidang kehutanan dan konservasi sumber daya alam
hayati dan ekosistemnya.
3. Pejabat Penyidik Pegawai Negeri Sipil Kehutanan adalah pejabat pegawai negeri sipil
tertentu dalam lingkup instansi kehutanan pusat dan daerah yang oleh undang-undang
diberi wewenang khusus penyidikan di bidang kehutanah dan, konservasi sumber
daya alam hayati dan ekosistemnya.
4. Satuan Pengamanan Hutan adalah pegawai organik yang diangkat oleh pimpinan
perusahaan pemegang izin usaha pemanfaatan hutan atau petugas yang dibentuk oleh
masyarakat hukum adat untuk melaksanakan tugas pengamanan di areal hutan yang
menjadi tanggung jawabnya.
5. Masyarakat adalah oraag seorang, kelompok orang, termasuk masyarakat hukum adat
atau Badan Hukum.
6. Pemerintah adalah Pemerintah Pusat.
7. Pemerintah Daerah adalah Kepala Daerah beserta perangkat Daerah Otonom yang
lain sebagai Badan Eksekutif Daerah.
8. Menteri adalah Menteri yang diserahi tugas dan bertanggung jawab di bidang
kehutanan.
Bagian Kedua
Umum
Pasal 2
(1) Perlindungan hutan merupakan bagian dari kegiatan pengelolaan hutan.
(2) Kegiatan perlindungan hutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan pada
wilayah hutan dalam bentuk Unit atau Kesatuan Pengelolaan Hutan Konservasi
(KPHK) , Unit atau Kesatuan Pengelolaan Hutan Lindung (KPHL), dan Unit atau
Kesatuan Pengelolaan Hutan Produksi (KPHP).
Pasal 3
(1) Perlindungan hutan sebagaimana dimaksud pada Pasal 2 menjadi kewenangan
Pemerintah dan atau Pemerintah Daerah.
(2) Kegiatan perlindungan hutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), di wilayah dan
untuk kegiatan tertentu, dapat dilimpahkan oleh Pemerintah kepada Badan Usaha
Milik Negara (BUMN) yang bergerak di bidang kehutanan.
Pasal 4
(1) Dalam rangka kepentingan penelitian, pengembangan, pendidikan dan pelatihan
kehutanan, religi dan budaya, Menteri menetapkan perlindungan hutan dengan tujuan
khusus.
(2) Perlindungan hutan pada kawasan hutan dengan tujuan khusus sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) untuk kegiatan :
a. penelitian dan pengembangan dapat diberikan kepada lembaga yang
melaksanakan kegiatan penelitian dan pengembangan;
b. pendidikan dan pelatihan dapat diberikan kepada lembaga yang melaksanakan
kegiatan pendidikan dan pelatihan;
c. religi dan budaya dapat diberikan kepada lembaga yang melaksanakan kegiatan
keagamaan dan kebudayaan.
(3) Perlindungan hutan dengan tujuan khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
ditetapkan oleh Menteri.
(4) Ketentuan lebih lanjut tentang perlindungan hutan dengan tujuan khusus sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur oleh Menteri.
Bagian Ketiga
Tujuan dan Prinsip-prinsip Perlindungan Hutan
Pasal 5
Penyelenggaraan perlindungan hutan bertujuan untuk menjaga hutan, hasil hutan,
kawasan hutan dan lingkungannya, agar fungsi lindung, fungsi konservasi, dan fungsi
produksi, tercapai secara optimal dan lestari.
Pasal 6
Prinsip-prinsip perlindungan hutan meliputi:
a. mencegah dan membatasi kerusakan hutan, kawasan hutan dan hasil hutan, yang
disebabkan oleh perbuatan manusia, ternak, kebakaran, daya-daya alam, hama, serta
penyakit.
b. mempertahankan dan menjaga hak-hak negara, masyarakat, dan perorangan atas
hutan, kawasan hutan, hasil hutan, investasi serta perangkat yang berhubungan
dengan pengelolaan hutan.
BAB II
PELAKSANAAN PERLINDUNGAN HUTAN
Bagian Kesatu
Mencegah dan Membatasi Kerusakan Hutan, Kawasan Hutan dan
Hasil Hutan yang Disebabkan oleh Perbuatan Manusia
Paragraf 1
Umum
PasaI 7
Untuk mencegah, membatasi dan mempertahankan serta menjaga sebagaimana dimaksud
pada Pasal 6 huruf a dan huruf b yang disebabkan oleh perbuatan manusia, maka
Pemerintah, Pemerintah Daerah dan masyarakat :
a. melakukan sosialisasi dan penyuluhan peraturan perundang-undangan di bidang
kehutanan;
b. melakukan inventarisasi permasalahan;
c. mendorong peningkatan produktivitas masyarakat;
d. memfasilitasi terbentuknya kelembagaan masyarakat;
e. meningkatkan peran serta masyarakat dalam kegiatan pengelolaan hutan;
f. melakukan kerjasama dengan pemegang hak atau izin;
g. meningkatkan efektifitas koordinasi kegiatan perlindungan hutan;
h. mendorong terciptanya alternatif mata pencaharian masyarakat;
i. meningkatkan efektifitas pelaporan terjadinya gangguan keamanan hutan;
j. mengambil tindakan pertama yang diperlukan terhadap gangguan keamanan hutan;
dan atau
k. mengenakan sanksi terhadap pelanggaran hukum,
Pasal 8
(1) Perlindungan hutan atas kawasan hutan yang pengelolaannya diserahkan kepada
BUMN di bidang kehutanan, dilaksanakan dan menjadi tanggung jawab
pengelolanya.
(2) Perlindungan hutan atas kawasan hutan yang telah menjadi areal kerja pemegang izin
pemanfaatan kawasan, izin usaha pemanfaatan jasa lingkungan, izin usaha
pemanfaatan hasil hutan, izin pemungutan hasil hutan, dan pemegang izin pinjam
pakai kawasan hutan dilaksanakan dan menjadi tanggung jawab pemegang izin yang
bersangkutan.
(3) Kegiatan perlindungan hutan pada kawasan hutan dengan tujuan khusus dilaksanakan
dan menjadi tanggung jawab pengelo lanya.
(4) Perlindungan hutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2) dan ayat (3)
meliputi :
a. mengamankan areal kerjanya yang menyangkut hutan, kawasan hutan dan hasil
hutan termasuk tumbuhan dan satwa;
b. mencegah kerusakan hutan dari perbuatan manusia dan ternak, kebakaran hutan,
hama dan penyakit serta daya-daya alam;
c. mengambil tindakan pertama yang diperlukan terhadap adanya gangguan
keamanan hutan di areal kerjanya;
d. melaporkan setiap adanya kejadian pelanggaran hukum di areal kerjanya kepada
instansi kehutanan ya ng terdekat;
e. menyediakan sarana dan prasarani, serta tenaga pengamanan hutan yang sesuai
dengan kebutuhan.
(5) Ketentuan lebih lanjut tentang pelaksanaan perlindungan hutan sebagaimana
dimaksud pada ayat (4) diatur oleh Menteri.
Pasal 9
(1) Perlindungan hutan atas kawasan hutan yang pengelolaannya diserahkan kepada
masyarakat hukum adat, dilaksanakan dan menjadi tanggung jawab masyarakat
hukum adat.
(2) Perlindungan hutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang diserahkan kepada
masyarakat hukum adat, dilaksanakan berdasarkan kearifan tradisional yang berlaku
dalam masyarakat hukum adat yang bersangkutan dengan pendampingan dari
Pemerintah, pemerintah provinsi dan atau pemerintah kabupaten/kota.
Pasal 10
(1) Perlindungan hutan pada hutan hak, dilaksanakan dan menjadi tanggungjawab
pemegang hak.
(2) Perlindungan hutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi kegiatan antara lain
:
a. pencegahan gangguan dari pihak lain yang tidak berhak;
b. pencegahan, pemadaman dan penanganan dampak kebakaran;
c. penyediaan personil dan sarana prasarana perlindungan hutan;
d. mempertahankan dan memelihara sumber air;
e. melakukan kerjasama dengan sesama pemilik hutan hak, pengelola kawasan
hutan, pemegang izin pemanfaatan hutan, pemegang izin pemungutan, dan
masyarakat.
Pasal 11
Pemerintah, pemerintah provinsi dan atau pemerintah kabupaten/kota melakukan
fasilitasi, bimbingan, pembinaan, pengawasan dalam kegiatan perlindungan hutan
sebagaimana dimaksud pada Pasal 8, Pasal 9, dan Pasal 10.
Paragraf 2
Perlindungan Hutan atas Hasil Hutan
Pasal 12
(1) Setiap orang yang mengangkut, menguasai atau memiliki hasil hutan wajib
dilengkapi bersama-sama dengan surat keterangan sahnya hasil hutan.
(2) Termasuk dalam pengertian hasil hutan yang tidak dilengkapi bersama-sama dengan
surat keterangan sahnya hasil hut an adalah :
a. asal usul hasil hutan dan tempat tujuan pengangkutan tidak sesuai dengan yang
tercantum dalam surat keterangan sahnya hasil hutan;
b. apabila keadaan fisik, baik jenis, jumlah maupun volume hasil hutan yang
diangkut, dikuasai atau dimiliki sebagian atau seluruhnya tidak sama dengan isi
yang tercantum dalam Surat keterangan sahnya hasil hutan;
c. pada waktu dan tempat yang sama tidak disertai dan dilengkapi surat-surat yang
sah sebagai bukti;
d. Surat Keterangan Sahnya Hasil Hutan masa berlakunya telah habis;
e. hasil hutan tidak mempunyai tanda sahnya hasil hutan.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai surat keterangan sahnya hasil hutan diatur sesuai
peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 13
(1) Perlindungan hasil hutan dilaksanakan untuk menghindari pemanfaatan hutan secara
berlebihan dan atau tidak sah.
(2) Perlindungan hasil hutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan melalui
kegiatan pembinaan, pengawasan dan penertiban.
Pasal 14
(1) Pemanfaatan hutan dan penggunaan kawasan hutan hanya dapat dilakukan apabila
telah memiliki izin dari pejabat yang berwenang.
(2) Termasuk dalam kegiatan pemanfaatan hutan tanpa izin ialah :
a. pemegang izin nielakukan pemanfaatan, hutan di luar areal yang diberikan izin;
b. pemegang izin melakukan pemanfaatan hutan melebihi target volume yang
diizinkan;
c. pemegang izin melakukan penangkapan/pengumpulan flora fauna melebihi target/
quota yang telah ditetapkan;
d. pemegang izin melakukan pemanfaatan hutan dalam radius dari lokasi tertentu
yang dilarang undang-undang.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai pemanfaatan hutan dan penggunaan kawasan hutan
diatur sesuai peraturan perundangan-undangan yang berlaku.
Bagian Kedua
Perlindungan Hutan dari Gangguan Ternak
Pasal 15
(1) Untuk mencegah dan membatasi kerusakan sebagaimana dimaksud pada Pasal 6
huruf a dari gangguan ternak, dalam kawasan hutan produksi dapat ditetapkan lokasi
penggembalaan ternak.
(2) Penetapan lokasi penggembalaan ternak sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan oleh Kepala Unit Pengelolaan Hutan.
(3) Untuk kepentingan konservasi dan rehabillitasi hutan, tanah dan air, Kepala Unit
Pengelolaan Hutan dapat menutup lokasi penggembalaan ternak sebagaimana
dimaksud pada ayat (2).
(4) Ketentuan lebih lanjut tentang, penetapan lokasi penggembalaan ternak dalam
kawasan hutan produksi sebagaimana dimaksud, pada ayat (1), diatur dengan
Keputusan Menteri.
Bagian Ketiga
Perlindungan Hutan dari Daya-Daya Alam
Pasal 16
(1) Untuk mencegah dan membatasi kerusakan sebagaimana dimaksud pada Pasal 6
huruf a yang, disebabkan oleh daya-daya alam yang berupa :
a. Letusan gunung berapi dengan :
1. mengadakan kerjasama deng,an instansi yang terkait dalam rangka
pemantauan gunung, berapi, peramalan perusakan yang mungkin terjadi dan
usaha-usaha untuk menguranginya;
2. melindungi dan memantau proses-proses alami yang menunjang rehabilitasi
hutan yang rusak oleh letusan gunung berapi;
3. normalisasi saluran/ aliran lahar dingin.
b. Tanah longsor dengan :
1. membuat teras permanen atau semi permanen pada lahan-lahan yang miring
atau curam;
2. menanam jenis-jenis pohon yang mempunyai daya transpirasi yang tinggi dan
mempunyai perakaran yang dalam dan melebar pada lahan-lahan yang miring
atau curam.
c. Banjir dengan :
1. mengadakan kerjasama antar instansi yang berwenang dalam penanganan
masalah sumber daya air terutama dalam hal pemantauan perilaku air sungai,
peramalan banjir dan kerusakan yang diakibatkannya serta normalisasi aliran
sungai;
2. melaksanakan penghijauan dan reboisasi tanah-tanah yang hidroologis kritis
dengan jenis-jenis tanaman atau pohon yang cepat tumbuh dengan
memperhatikan kesesuaian antara jenis dengan tempat tumbuh.
d. Badai, dengan :
1. melindungi tegakan hutan terutama tegakan hutan muda, yang bernilai
ekonomis tinggi dari ancaman badai dengan cara membagi tegakan dalam
blok-blok yang satu sama lain dipisahkan oleh jalur penahan angin;
2. menanam pohon sebagai jalur penahan angin yang lebih rapat yang bertajuk
berlapis-lapis di bagian tepi hutan yang berbatasan dengan lahan terbuka.
e. Kekeringan, dengan :
1. melindungi sumber-sumber air dan daerah tangkapan air;
2. membuat cek dam, embung air, waduk;
3. membuat ilaran api pada huta11 yang rawan kebakaran.
f. Gempa, dengan :
1. identifikasi lokasi rawan gempa dan resiko dampak;
2. penyediaan peta rawan gempa pada kawasan hutan termasuk kawasan suaka
alam dan kawasan pelestarian alam;
3. menghindari pembangunan sarana dan prasarana permanen di daerah rawan
gempa.
(2) Usaha-usaha untuk mencegah dan membatasi kerusakan hutan yang disebabkan oleh
daya alam yang berupa gunung meletus, tanah longsor, gempa, badai, banjir dan
kekeringan dilaksanakan kegiatan :
a. memantau bio-fisik lingkungan yang berpotensi menimbulkan bencana alam;
b. membuat peta lokasi kerawanan bencana;
c. membangun bangunan civil teknis;
d. melakukan pembinaan kesadaran dan penyuluhan kepada masyarakat;
e. menjaga kelestarian nilai dan fungsi hutan serta lingkungan; dan atau
f. menjaga mutu, nilai dan kegunaan hasil hutan.
(3) Ketentuan lebih lanjut tentang perlindungan hutan dari daya-daya alam sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diatur oleh Menteri.
Bagian Keempat
Perlindungan Hutan dari Hama dan Penyakit
Pasal 17
(1) Untuk mencegah dan membatasi kerusakan sebagaimana dimaksud pada Pasal 6
huruf a, yang disebabkan oleh hama dan penyakit, Pemerintah dan atau Pemerintah
Daerah :
a. menyelenggarakan penelitian hama dan penyakit tumbuhan dan satwa;
b. menyelenggarakan karantina tumbuhan dan satwa;
c. mengendalikan populasi tumbuhan dan satvla beserta habitatnya; dan atau
d. mengendalikan hama dan penyakit dengan metode biologis, mekanis, kimiawi
dan atau terpadu.
(2) Ketentuan lebih lanjut tentang perlindungan hutan dari hama dan penyakit oleh
Pemerintah dan/ atau Pemerintah Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diatur
oleh Menteri.
BAB III
PERLINDUNGAN HUTAN DARl KEBAKARAN
Bagian Kesatu
Umum
Pasal 18
(1) Perlindungan hutan dari kebakaran sebagaimana dimaksud pada Pasal 6 huruf a,
adalah untuk menghindari kerusakan hutan yang disebabkan oleh:
a. perbuatan manusia;
b. daya-daya alam.
(2) Perbuatan manusia sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, antara lain :
a. melakukan pembakaran hutan tanpa izin; atau
b. membuang benda-benda yang dapat menyebabkan kebakaran.
(3) Daya-daya alam sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, antara lain akibatakibat
petir, gunung berapi, reaksi sumber daya alam dan atau gempa.
Pasal 19
(1) Setiap orang dilarang membakar hutan.
(2) Pengecualian dari larangan membakar hutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diperbolehkan dilakukan secara terbatas untuk tujuan khusus atau kondisi yang tidak
dapat dielakkan, meliputi :
a. pengendalian kebakaran hutan;
b. pembasmian hama dan penyakit;
c. pembinaan habitat tumbuhan dan satwa;
(3) Pelaksanaan pembakaran hutan untuk tujuan khusus atau kondisi yang tidak dapat
dielakkan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus mendapat izin dari pejabat yang
berwenang.
(4) Pembakaran hutan untuk tujuan khusus atau kondisi yang tidak dapat dielakkan
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur lebih lanjut oleh Menteri.
Bagian Kedua
Pengendalian Kebakaran
Paragraf 1
Umum
Pasal 20
(1) Untuk mencegah dan membatasi kerusakan. hutan yang disebabkan oleh kebakaran
sebagaimana dimaksud pada Pasal 6 huruf a, dilakukan kegiatan pengendalian, yang
meliputi :
a. pencegahan;
b. pemadaman;
c. penanganan pasca kebakaran.
(2) Kegiatan pengendalian kebakaran hutan dilakukan pada tingkat :
a. nasional;
b. provinsi;
c. kabupaten/kota;
d. unit atau kesatuan pengelolaan hutan.
(3) Pengendalian kebakaran hutan tingkat nasional dilakukan oleh dan menjadi tanggung
jawab Menteri.
(4) Pengendalian kebakaran hutan tingkat provinsi dilakukan oleh dan menjadi tanggung
jawab Gubernur.
(5) Pengendalian kebakaran hutan tingkat kabupaten/kota dilakukan oIeh dan menjadi
tanggung jawab Bupati/Walikota.
(6) Pengendalian kebakatan hutan tingkat kesatuan pengelolaan hutan dilakukan oleh dan
menjadi tanggung jawab Kepala Kesatuan Pengelo1aan Hutan.
Pasal 21
(1) Pada tingkat nasionaI Menteri menetapkan program pengendalian .kebakaran hutan
tingkat nasional.
(2) Pada tingkat provinsi Gubernur menetapkan program pengendalian kebakaran hutan
tingkat provinsi
(3) Pada tingkat kabupaten/kota, Bupati/Walikota menetapkan rencana pengendalian
kebakaran hutan.
(4) Pada tingkat kesatuan pengelolaan hutan, Kepala Kesatuan Pengelolaan Hutan
menetapkan rencana kegiatan pengendalian kebakaran hutan.
Pasal 22
(1) Dalam pelaksanaan pengendalian kebakaran hutan, Pemerintah membentuk lembaga
pengendalian kebakaran hutan pada tingkat pusat, provinsi, kabupaten dan unit
pengelolaan hutan.
(2) Lembaga pengendalian kebakaran hutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
disebut brigade pengendalian kebakaran hutan.
(3) Brigade pengendalian kebakaran hutan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) bertugas
menyusun dan melaksanakan program pengendalian kebakaran hutan.
(4) Koordinasi dan tata hubungan kerja brigade pengendalian kebakaran hutan diatur
dengan Keputusan Menteri.
Paragraf 2
Pencegahan
Pasal 23
(1) Dalam rangka pencegahan kebakaran hutan sebagaimana dimaksud pada Pasal 20
ayat ( 1) huruf a, dilakukan kegiatan:
a. Pada tingkat nasional, antara lain :
1. membuat peta kerawanan kebakaran hutan nasional;
2. mengembangkan sistem informasi kebakaran hutan;
3. menetapkan pola kemitraan dengan masyarakat;
4. menetapkan standar peralatan pengendalian kebakaran hutan;
5. membuat program penyuluhan dan kampanye pengendalian kebakaran;
6. menetapkan pola pelatihan pencegahan kebakaran; dan
7. melaksanakan pembinaan dan pengawasan.
b. Pada tingkat provinsi, antara lain :
1. membuat peta kerawanan kebakaran hutan provinsi;
2. membuat model-model penyuluhan;
3. melaksanakan pelatihan pencegahan kebakaran hutan;
4. membuat petunjuk pelaksanaan pemadaman kebakaran hutan;
5. mengadakan peralatan pemadam kebakaran hutan; dan
6. melaksanakan pembinaan dan pengawasan.
c. Pada tingkat kabupaten/kota, antara lain :
1. melakukan evaluasi lokasi rawan kebakaran hutan;
2. melaksanakan penyuluhan;
3. membuat petunjuk teknis pelaksanaan pemadaman kebakaran hutan;
4. mengadakan peralatan kebakaran hutan; dan
5. melaksanakan pembinaan dan pengawasan.
d. 1. Pada tingkat kesatuan pengelolaan hutan produksi, kesatuan pengelolaan
hutan lindung, izin pemanfaatan hutan, izin penggunaan kawasan hutan dan
hutan hak, antara lain:
a) melakukan inventarisasi lokasi rawan kebakaran hutan;
b) menginventarisasi faktor penyebab kebakaran;
c) menyiapkan regu-regu pemadam kebakaran;
d) membuat prosedur tetap pemadaman kebakaran hutan;
e) mengadakan sarana pemadaman kebakaran hutan; dan
f) membuat sekat bakar .
2. Pada tingkat kesatuan pengelolaan hutan konservasi, antara lain:
a) melakukan inventarisasi lokasi rawan kebakaran hutan;
b) menginventarisasi faktor penyebab kebakaran;
c) menyiapkan regu-regu pemadam kebakaran;
d) membuat prosedur tetap pemadaman kebakaran hutan;
e) mengadakan sarana pemadaman kebakaran hutan; dan
f) membuat sekat bakar.
(2) Ketentuan lebih lanjut tentang kegiatan pencegahan kebakaran hutan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diatur oleh Menteri.
Paragraf 3
Pemadaman
Pasal 24
(1) Dalam rangka pemadaman kebakaran sebagaimana dimaksud pada Pasal 20 ayat (1)
huruf b, maka setiap Pemegang Izin Pemanfaatan Hutan, Pemegang Izin Penggunaan
Kawasan Hutan, Pemilik Hutan Hak dan atau Kepala Kesatuan Pengelolaan Hutan,
berkewajiban melakukan rangkaian tindakan pemadaman dengan cara :
a. melakukan deteksi terjadinya kebakaran hutan;
b. mendayagunakan seluruh sumber daya yang ada;
c. membuat sekat bakar dalam rangka melokalisir api;
d. memobilisasi masyarakat untuk mempercepat pemadaman.
(2) Pemegang Izin Pemanfaatan Hutan, Pemegang izin Penggunaan Kawasan Hutan,
Pemilik Hutan Hak dan atau Kepala Kesatuan Pengelolaan Hutan melakukan :
a. koordinasi dengan instansi terkait dan tokoh masyarakat dalam rangka
mempercepat pemadaman, evakuasi, litigasi dan mencegah bencana;
b. pelaporan kepada Bupati/Walikota tentang kebakaran hutan yang terjadi dan
tindakan pemadaman yang dilakukan.
(3) Berdasarkan laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b, Bupati/Walikota
melakukan :
a. deteksi terjadinya kebakaran hutan;
b. mobilisasi brigade pemadam kebakaran dan koordinasi instansi terkait dan tokoh
masyarakat;
c. penyampaian laporan kepada Gubernur dan Menteri tentang kebakaran hutan
yang terjadi, tindakan yang sudah dan akan dilakukan.
(4) Berdasarkan informasi dan atau laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (3),
Gubernur melakukan :
a. deteksi terjadinya kebakaran hutan;
b. mobilisasi brigade pemadam kebakaran dan koordinasi instansi terkait dan tokoh
masyarakat;
c. penyampaian laporan kepada Menteri tentang kebakaran hutan yang terjadi,
tindakan yang sudah dan akan dilakukan.
(5) Berdasarkan informasi dan atau laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (3),dan
ayat (4), Menteri melakukan:
a. deteksi terjadinya kebakaran hutan;
b. koordinasi dan mobilisasi tenaga, sarana dan prasarana kebakaran hutan.
(6) Dalam rangka koordinasi dan mobilisasi sebagaimana dimaksud pada ayat (5) huruf
b, Menteri membentuk Pusat Pengendalian Operasi Kebakaran Hutan.
Pasal 25
Koordinasi dan tata hubungan kerja pemadaman kebakaran sebagaimana dimaksud pada
Pasal 24 diatur dengan Keputusan Menteri.
Pasal 26
Untuk membatasi meluasnya kebakaran hutan dan mempercepat pemadaman kebakaran
setiap orang yang berada di dalam dan di sekitar hutan wajib :
a. melaporkan kejadian kebakaran hutan kepada Kepala Desa setempat, petugas
Kehutanan, Kepala Kesatuan Pengelolaan Hutan, Pemegang Izin Pemanfaatan Hutan,
Pemegang Izin Penggunaan Kawasan Hutan atau Pemilik Hutan Hak;
b. membantu memadamkan kebakaran hutan.
Paragraf 4
Penanganan Pasca Kebakaran
Pasal 27
Dalam rangka penanganan pasca kebakaran hutan sebagaimana dimaksud pada Pasal 20
ayat (1) huruf c, dilakukan upaya kegiatan yang meliputi:
a. identifikasi dan evaluasi;
b. rehabilitasi;
c. penegakan hukum.
Pasal 28
(1) Kepala Kesatuan Pengelolaan Hutan, Pemegang Izin Pemanfaatan Hutan, Pemegang
Izin Penggunaan Kawasan Hutan, atau Pemilik Hutan Hak melakukan kegiatan
identifikasi dan evaluasi sebagaimana dimaksud pada Pasa1 27 huruf a.
(2) Kegiatan identifikasi dan evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), berupa :
a. pengumpulan data dan informasi terjadinya kebakaran;
b. pengukuran dan sketsa lokasi kebakaran;
c. analisis tingkat kerusakan dan rekomendasi;
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai identifikasi dan evaluasi sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) diatur oleh Menteri.
Pasal 29
(1) Berdasarkan hasil kegiatan sebagaimana dimaksud pada Pasal 28 ayat (2), dilakukan
kegiatan rehabilitasi.
(2) Kegiatan rehabilitasi dilakukan oleh Kepala Kesatuan Pengelolaan Hutan, Pemegang
Izin Pemanfaatan Hutan, Pemegang Izin Penggunaan Kawasan Hutan, atau Pemilik
Hutan Hak.
(3) Kegiatan rehabilitasi diatur dalam Peraturan Pemerintah tersendiri.
Bagian Ketiga
Tanggung Jawab Pidana dan Perdata
Pasal 30
(1) Pemegang Izin Pemanfaatan Hutan, Pemegang Izin Penggunaan Kawasan Hutan atau
Pemilik Hutan Hak bertanggung jawab atas terjadinya kebakaran hutan di areal
kerjanya.
(2) Pertanggungjawaban sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi :
a. tanggung jawab pidana;
b. tanggung jawab perdata;
c. membayar ganti rugi; dan atau
d. sanksi administrasi.
Pasal 31
Penegakan hukum terhadap tindak pidana kebakaran hutan dilaksanakan sesuai dengan
peraturan perundang-undangan yang berlaku.
BAB IV
POLISI KEHUTANAN, PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL KEHUTANAN DAN
SATUAN PENG4WANAN KEHUTANAN
Bagian Kesatu
Polisi Kehutanan
Pasal 32
(1) Untuk menjamin trselenggaranya perlindungan hutan, maka kepada Pejabat
Kehutanan tertentu sesuai dengan sifat pekerjaannya diberikan wewenang kepolisian
khusus di bidangnya.
(2) Pejabat Kehutanan tertentu yang mempunyai wewenang kepolisian khusus
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi :
a. Pegawai Negeri Sipil yang diangkat sebagai pejabat fungsional Polisi Kehutanan;
b. Pegawai Perusahaan Umum Kehutanan Indonesia (Perum Perhutani) yang
diangkat sebagai Polisi Kehutanan;
c. Pejabat Struktural Instansi Kehutanan Pusat maupun Daerah yang sesuai dengan
tugas dan fungsinya mempunyai wewenang dan tanggung jawab di bidang
perlindungan hutan.
Pasal 33
(1) Untuk dapat diangkat menjadi Polisi Kehutanan seseorang harus memenuhi
persyaratan tertentu.
(2) Persyaratan dan tata cara pengangkatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur
lebih lanjut oleh Menteri.
Pasal 34
(1) Untuk terselenggaranya pelaksanaan tugas Polisi Kehutanan, ditetapkan standar
susunan organisasi personil dan starldar peralatan Polisi Kehutanan.
(2) Standar susunan organisasi personil dan standar peralatan Polisi Kehutanan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur lebih lanjut oleh Menteri.
Pasal 35
Dalam rangka mengemban tugasnya sesuai dengan prinsip-prinsip perlindungan hutan
sebagaimana dimaksud pada Pasal 6, Polisi Kehutanan memiliki wewenang
melaksanakan tugas di wilayah hukumnya.
Pasal 36
(1) Wewenang Polisi Kehutanan sebagaimana dimaksud pada Pasal 32 meliputi kegiatan
dan tindakan kepolisian khusus di bidang kehutanan yang bersifat preventif, tindakan
administratif dan operasi represif.
(2) Wewenang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi :
a. mengadakan patroli/perondaan di dalam kawasan hutan atau wilayah hukumnya;
b. memeriksa surat-surat atau dokumen yang berkaitan dengan pengangkutan hasil
hutan di dalam kawasan hutan atau wilayah hukumnya;
c. menerima laporan tentang telah terjadinya tindak pidana yang menyangkut hutan,
kawasan hutan, dan hasil hutan;
d. mencari keterangan dan barang bukti terjadinya tindak pidana yang menyangkut
hutan, kawasan hutan, dan hasil hutan;
e. dalam hal tertangkap tangan, wajib menangkap tersangka, untuk diserahkan
kepada yang berwenang; dan
f. membuat laporan dan menandatangani laporan tentang terjadinya tindak pidana
yang menyangkut hutan, kawasan hutan, dan hasil hutan.
(3) Polisi Kehutanan atas perintah pimpinan berwenang untuk melakukan penyelidikan,
dalam rangka mencari dan menangkap tersangka.
Pasal 37
Polisi Kehutanan yang telah memenuhi persyaratan dapat diangkat menjadi Pejabat
Penyidik Pegawai Negeri Sipil Kehutanan.
Bagian Kedua
Pejabat Penyidik Pegawai Negeri Sipil
Pasal 38
(1) Pejabat Penyidik Pegawai Negeri Sipil Kehutanan merupakan Pegawai Negeri Sipil
di lingkungan instansi kehutanan pusat atau daerah, yang oleh dan atas kuasa undangundang
memiliki wewenang khusus sebagai penyidik sebagaimana dimaksud pada
Undang-undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati
dan Ekosistemnya dari Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan.
(2) Wilayah hukum atau wilayah kerja Pejabat Penyidik Pegawai Negeri Sipil instansi
kehutanan pusat atau daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sesuai dengan
wilayah administrasi pemerintahan baik pusat maupun daerah.
(3) Penunjukan Pegawai Negeri Sipil Instansi Kehutanan untuk diangkat sebagai Pejabat
Penyidik Pegawai Negeri Sipil dilakukan oleh Menteri atau Gubernur atau
Bupati/Walikota sesuai dengan status kepegawaiannya.
(4) Berdasarkan penunjukan, Pejabat Penyidik Pegawai Negeri Sipil sebagaimana
dimaksud pada ayat (3) diusulkan oleh Menteri sesuai peraturan perundang-undangan
yang berlaku kepada pejabat yang berwenang untuk diangkat sebagai Pejabat
Penyidik Pegawai Negeri Sipil.
(5) Penempatan Pejabat Penyidik Pegawai Negeri Sipil yang telah diangkat sebagaimana
dimaksud pada ayat (4) ditetapkan dengan Keputusan Menteri atau Gubernur atau
Bupati sesuai dengan status kepegawaiannya.
Pasal 39
(1) Pejabat Penyidik Pegawai Negeri Sipil Kehutanan berwenang melakukan penyidikan
terhadap tindak pidana kejahatan dan pelanggaran sebagaimana dimaksud pada Pasal
78 Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan.
(2) Dalam rangka kegiatan administrasi penyidikan, Pejabat Penyidik Pegawai Negeri
Sipil dalam hal tertentu dapat secara langsung menyampaikan surat pemberitahuan
kepada instansi terkait dan tembusannya kepada Penyidik Kepolisian Negara
Republik Indonesia.
(3) Pejabat Penyidik Pegawai Negeri Sipil Kehutanan dalam melaksanakan tugasnya
berada di bawah koordinasi dan pengawasan Pejabat Penyidik Kepolisian Republik
Indonesia.
(4) Hasil penyidikan oleh Pejabat Penyidik Pegawai Negeri Sipil Kehutanan diserahkan
kepada Penuntut umum sesuai Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana
(KUHAP).
(5) Pejabat Penyidik Pegawai Negeri Sipil pada waktu melaksanakan penyidikan atas
tindak pidana kehutanan, apabila menemukan adanya perbuatan yang patut diduga
merupakan kejahatan atau pelanggaran yang bersifat pidana umum yang terkait
dengan tindak pidana kehutanan, harus segera menyerahkan kepada Pejabat Penyidik
Kepolisian Negara Republik Indonesia.
Pasal 40
(1) Pejabat Penyidik Pegawai Negeri Sipil dapat melakukan penahanan dalam koordinasi
dan pengawasan Penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia sesuai Kitab
Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).
(2) Penahanan oleh Pejabat Penyidik Pegawai Negeri Sipil atas tersangka pelaku
kejahatan di bidang kehutanan, harus dilakukan di rumah tahanan negara.
Bagian Ketiga
Satuan Pengamanan Kehutanan
Pasal 41
(1) Satuan Pengamanan Kehutanan dibentuk oleh pemegang hak pengelolaan hutan atau
pemegang izin.
(2) Anggota Satuan Pengamanan Kehutanan diangkat oleh pengelola hutan atau
pemegang izin yang jumlahnya disesuaikan dengan luas dan intensitas pengelolaan
atau usaha pemanfaatan hutan atau penggunaan kawasan hutan.
(3) Tugas Satuan Pengaman Hutan terbatas pada pengamanan fisik di lingkungan areal
hutan yang menjadi tanggung jawabnya.
(4) Satuan Pengamanan Kehutanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam
melaksanakan tugasnya bertanggung jawab kepada Pimpinan Perusahaan dan dalam
koordinasi Instansi Kehutanan setempat.
(5) Organisasi, jumlah personil, peralatan dan pola operasional Satuan Pengamanan
Kehutanan diatur lebih lanjut oleh Menteri.
BAB V
SANKSI PIDANA
Pasal 42
Setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud pada Pasal 12 ayat (2),
diancam dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp.
10.000.000.000,00 (sepuluh milyar rupiah) sebagaimana dimaksud pada Pasal 78 ayat (7)
Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan.
Pasal 43
Setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud pada Pasal 14 ayat (2),
diancam dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak
Rp. 5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah) sebagaimana dimaksud pada Pasal 78 ayat (2)
Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan.
Pasal 44
(1) Semua hasil hutan yang tidak dilengkapi bersama-sama dengan surat keterangan
sahnya hasil hutan sebagaimana dimaksud pada Pasal 12 ayat (2) dirampas untuk
Negara.
(2) Alat-alat termasuk alat angkut yang dipergunakan untuk melakukan tindak pidana
sebagaimana dimaksud pada Pasal 78 Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang
Kehutanan dirampas untuk Negara.
BAB VI
GANTI RUGI
Pasal 45
(1) Setiap perbuatan melanggar hukum yang diatur dalam Undang- undang Kehutanan,
dengan tidak mengurangi sanksi pidana, mewajibkan kepada penanggung jawab
perbuatan untuk membayar ganti rugi.
(2) Pembayaran ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disetor oleh penanggung
jawab ke Kas Negara.
(3) Uang ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) digunakan untuk biaya
rehabilitasi, pemulihan kondisi hutan atau tindakan yang diperlukan.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai pengelolaan dan penggunaan biaya ganti rugi
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) diatur bersama antara Menteri dan
Menteri yang bertanggung jawab di bidang keuangan.
Pasal 46
(1) Pengenaan pembayaran dan besarnya ganti rugi oleh penanggung jawab perbuatan
sebagaimana dimaksud pada Pasal 45 ayat (1) ditetapkan oleh Menteri.
(2) Penetapan besarnya ganti rugi yang harus dibayar oleh penanggung jawab perbuatan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) didasarkan pada tingkat kerusakan hutan atau
akibat yang ditimbulkan kepada negara.
(3) Tingkat kerusakan hutan atau akibat yang ditimbulkan kepada negara sebagaimana
dimaksud pada ayat (2), didasarkan pada perubahan fisik, sifat fisik, atau hayatinya.
(4) Ketentuan lebih lanjut tentang tingkat kerusakan hutan atau akibat yang ditimbulkan
kepada Negara sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur oleh Menteri.
BAB VII
PEMBINAAN, PENGENDALIAN DAN PENGAWASAN
Bagian Kesatu
Umum
Pasal 47
(1) Untuk menjamin tertibnya penyelenggaraan perlindungan hutan, Menteri berwenang
melakukan pembinaan, pengendalian dan pengawasan terhadap kebijakan Gubernur.
(2) Gubernur melakukan pembinaan, pengendalian dan pengawasan terhadap Bupati atau
Walikota atas pelaksanaan perlindungan hutan di daerahnya.
Bagian Kedua
Pembinaan dan Pengendalian
Pasal 48
(1) Pembinaan sebagaimana dimaksud pada Pasal 47 aya t (1) meliputi pemberian :
a. pedoman;
b. bimbingan;
c. pelatihan;
d. arahan; dan atau
e. supervisi.
(2) Pemberian pedoman sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a ditujukan terhadap
penyelenggaraan perlindungan hutan oleh Pemerintah Daerah Provinsi dan atau
Kabupaten atau Kota termasuk pertanggungjawaban, laporan dan evaluasi atas
akuntabilitas kinerja Gubernur dan Bupati atau Walikota.
(3) Pemberian bimbingan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b yang ditujukan
terhadap penyusunan prosedur dan tata kerja.
(4) Pemberian pelatihan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c ditujukan terhadap
sumber daya aparatur.
(5) Pemberian arahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d mencakup kegiatan
penyusunan rencana, program dan kegiatan-kegiatan yang bersifat nasional.
(6) Supervisi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf e ditujukan terhadap
pelaksanaan sebagian kegiatan pengurusan hutan yang dilimpahkan atau diserahkan
kepada Pemerintah Provinsi, Pemerintah Kabupaten atau Pemerintah Kota.
Pasal 49
(1) Pengendalian sebagaimana dimaksud pada Pasal 47 ayat ( 1 ) meliputi kegiatan :
a. monitoring;
b. evaluasi; dan atau
c. tindak lanjut
(2) Kegiatan monitoring sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a adalah kegiatan
untuk memperoleh data dan informasi, kebijakan dan pelaksanaan perlindungan
hutan.
(3) Kegiatan evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b adalah kegiatan untuk
menilai keberhasilan pelaksanaan perlindungan hutan dilakukan secara periodik.
(4) Kegiatan tindak lanjut sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c merupakan tindak
lanjut hasil monitoring dan evaluasi guna penyempurnaan kebijakan dan pelaksanaan
perlindungan hutan.
(5) Ketentuan lebih lanjut tentang penilaian keberhasilan pelaksanaan perlindungan hutan
secara periodik sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur oleh Menteri.
Pasal 50
(1) Hasil pengendalian yang dilakukan oleh Gubernur sebagaimana dimaksud pada Pasal
47 ayat (2), ditindaklanjuti oleh Bupati atau Walikota.
(2) Gubernur dan Bupati atau Walikota melaporkan tindak lanjut hasil pengendalian
kepada Menteri.
Pasal 51
Pedoman pembinaan dan pengendalian sebagaimana dimaksud pada Pasal 47 sampai
dengan Pasal 50 diatur lebih lanjut oleh Menteri.
Pasal 52
Ketentuan pengawasan sebagaimana dimaksud pada Pasal 47 diatur dalam Peraturan
Pemerintah tersendiri.
BAB VIII
KETENTUAN LAIN-LAIN
Bagian Kesatu
Pengurusan Barang Bukti
Pasal 53
(1) Barang bukti dalam perkara pidana kehutanan disimpan atau dikumpulkan di tempat
yang tersedia pada instansi kehutanan yang bersangkutan, rumah penyimpanan benda
sitaan negara, atau lembaga konservasi tumbuhan dan satwa liar.
(2) Hasil hutan yang cepat rusak dan memerlukan biaya tinggi untuk penyimpanannya
diupayakan segera dilelang.
(3) Barang bukti berupa tumbuhan dan satwa yang dilindungi dan atau yang termasuk di
dalam daftar Appendix I CITES tidak dapat dilelang.
(4) Semua hasil hutan dari hasil kejahatan dan pelanggaran dan atau alat-alat termasuk
alat angkutnya yang dipergunakan melakukan kejahatan dan atau pelanggaran
dirampas untuk negara.
(5) Alat bukti yang digunakan untuk melakukan tindak pidana dilakukan pelelangan atau
dikembalikan kepada yang berhak setelah adanya keputusan pengadilan yang telah
mempunyai kekuatan hukum tetap.
(6) Pelaksanaan pengurusan barang bukti sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2)
dan ayat (3) diatur lebih lanjut oleh Menteri.
Bagian Kedua
Barang Lainnya Yang Dapat Dilelang
Pasal 54
(1) Hasil rampasan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap sebagaimana dimaksud
pada Pasal 78 ayat (15) dan Pasal 79 ayat (1) Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999
tentang Kehutanan merupakan kekayaan negara yang dapat dilelang.
(2) Hasil rampasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa :
a. Barang atau peralatan yang digunakan untuk mengambil hasil hutan dan
ditemukan di dalam kawasan;
b. Barang atau alat yang dipergunakan mengangkut hasil hutan, yang ditemukan di
satu tempat dan tidak ada yang mengaku sebagai pemiliknya;
c. Barang atau alat yang digunakan tersangka untuk mengangkut hasil hutan yang
tidak memiliki dokumen yang sah;
d. Barang atau alat yang digunakan tersangka untuk mengambil dan atau
mengumpulkan hasil hutan.
BAB IX
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 55
Semua peraturan pelaksanaan di bidang perlindungan hutan yang telah ada, sepanjang
tidak bertentangan dengan Peraturan Pemerintah ini, tetap berlaku sampai dengan
dikeluarkannya peraturan pelaksanaan yang berdasarkan Peraturan Pemerintah ini.
BAB X
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 56
Pada saat berlakunya Peraturan Pemerintah ini, maka Peraturan Pemerintah Nomor 28
Tahun 1985 tentang Perlindungan Hutan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
1985 Nomor 39, Tambahan Lembaran Negara Nomor 32), dinyatakan tidak berlaku lagi.
Pasal 57
Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar setiap orang .mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Pemerintah
ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 18 Oktober 2004
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
ttd.
MEGAWATI SOEKARNOPUTRI
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 18 Oktober 2004
SEKRETARIS NEGARA REPUBLIK INDONESIA,
ttd.
BAMBANG KESOWO
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2004 NOMOR 147
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 45 TAHUN 2004
TENTANG
PERLINDUNGAN HUTAN
UMUM
Bangsa Indonesia dikaruniai dan mendapatkan amanah dari Tuhan Yang Maha Esa
kekayaan alam berupa sumber daya alam yang tidak ternilai harganya, oleh karena itu
kekayaan alam tersebut harus diurus dan dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya
berdasarkan akhlak mulia, sebagai ibadah dan perwujudan rasa syukur kepada Tuhan
Yang Maha Esa.
Sumber daya alam yang antara lain berupa hutan produksi, hutan lindung, kawasan suaka
alam, kawasan pelestarian alam, taman buru, hasil hutan, tumbuhan dan satwa harus
dilestarikan dan didayagunakan dengan penuh rasa tanggung jawab, karena mempunyai
fungsi produksi, fungsi lindung antara lain pengaturan tata air, pencegahan banjir dan
erosi, memelihara kesuburan tanah, pelestarian lingkungan hidup, dan fungsi konservasi
keanekaragaman hayati, yang merupakan penyangga kehidupan serta untuk wisata alam
dan pemanfaatan jasa lingkungan.
Agar fungsi-fungsi tersebut dapat berjalan secara optimal dan lestari, maka dilakukan
usaha perlindungan terhadap hutan produksi, hutan lindung, kawasan suaka alam,
kawasan pelestarian alam, taman buru, hasil hutan, tumbuhan dan satwa.
Dalam Pasal 46 Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan,
penyelenggaraan perlindungan hutan dan konservasi alam bertujuan menjaga hutan,
kawasan hutan dan lingkungannya, agar fungsi lindung, fungsi konservasi dan fungsi
produksi tercapai secara optimal dan lestari.
Dalam Pasal 47 Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, perlindungan
hutan dan kawasan hutan merupakan usaha untuk :
a. mencegah dan membatasi kerusakan hutan, kawasan hutan dan hasil hutan yang
disebabkan oleh perbuatan manusia, ternak, kebakaran, daya-daya alam, hama serta
penyakit; dan
b. mempertahankan dan menjaga hak-hak negara, masyarakat dan perorangan atas
hutan, kawasan hutan, hasil hutan, investasi serta perangkat yang berhubungan
dengan pengelolaan hutan.
Perlindungan hutan ditujukan terhadap hutan produksi, hutan lindung, kawasan suaka
alam, kawasan pelestarian alam, taman buru, hutan hak, hasil hutan dan tumbuhan dan
satwa.
Untuk menjamin terselenggaranya perlindungan hutan, maka kepada Pejabat Kehutanan
tertentu dalam lingkup instansi kehutanan di pusat dan daerah diberi kewenangan
kepolisian khusus yang disebut Polisi Kehutanan.
Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu yang lingkup tugas dan tanggung jawabnya
meliputi pengurusan hutan dan konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya
diberj wewenang sebagai penyidik yang disebut Pejabat Penyidik Pegawai Negeri Sipil
Kehutanan.
Untuk melakukan pengamanan hutan di areal kawasan hutan yang telah dibebani hak atau
izin dapat dibentuk Satuan Pengamanan Hutan oleh pemegang hak atau pemegang izin,
yang dalam pelaksanaannya dikoordinasikan oleh instansi kehutanan. Mengingat bahwa
keberadaan hutan sangat penting bagi kehidupan manusia, maka perlindungan hutan tidak
saja dilaksanakan oleh Pemerintah dan Pemerintah Daerah, tetapi juga oleh segenap
masyarakat dengan berperan-serta secara aktif, baik langsung maupun tidak langsung.
Dalam upaya untuk lebih menjamin usaha perlindungan hutan, sebagian wewenang yang
menjadi urusan Pemerintah dapat diserahkan ke daerah, baik provinsi maupun
kabupaten/kota.
Untuk terlaksananya perlindungan hutan, maka dilakukan pengawasan dan pengendalian
secara berjenjang, baik oleh pemerintah, pemerintah daerah dan masyarakat secara
terkoordinasi, terintegrasi, dan tersinkronisasi.
Landasan hukum bagi pelaksanaan perlindungan hutan dan konservasi alam yang
berkeadilan perlu ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.
PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Cukup jelas
Pasal 2
Ayat (1)
Kegiatan pengelolaan hutan meliputi :
a. tata hutan dan penyusunan rencana pengelolaan hutan;
b. pemanfaatan hutan dan penggunaan kawasan hutan;
c. rehabilitasi dan reklamasi hutan; dan
d. perlindungan hutan dan konservasi alam.
Peraturan ini hanya mengatur perlindungan hutan, sedangkan kegiatan tata hutan dan
penyusunan rencana pengelo laan hutan, pemanfaatan hutan dan penggunaan kawasan
hutan serta rehabilitasi dan reklamasi hutan diatur dengan Peraturan Pemerintah
tersendiri.
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 3
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Pelimpahan kegiatan perlindungan hutan di wilayah tertentu dan atau untuk kegiatan
tertentu kepada Badan Usaha Milik Negara tersebut tidak termasuk kewenangan publik
atau kewenangan pemerintahan umum.
Yang dimaksud dengan wilayah tertentu dan untuk kegiatan tertentu adalah didasarkan
pertimbangan adanya kekhasan daerah serta kondisi sosial dan lingkungan yang sangat
terkait .dengan kelestarian hutan dan kepentingan masyarakat luas yang membutuhkan
kemampuan pengelolaan secara khusus.
Pasal 4
Ayat (1)
Perlindungan hutan dengan tujuan khusus dapat ditetapkan pada hutan konservasi, hutan
lindung atau hutan produksi.
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4) ,
Cukup jelas
Pasal 5
Cukup jelas
Pasal 6
Huruf a
Yang dimaksud hasil hutan dapat berupa :
1. Hasil nabati beserta turunannya seperti kayu, bambu, rotan, rumput-rumputan, jamurjamur,
tanaman obat, getah-getahan, dan lain-lain serta bagian dari tumbuhantumbuhan
atau yang dihasilkan oleh tumbuh-tumbuhan dalam hutan;
2. Hasil hewani beserta turunannya seperti satwa dan hasil penangkarannya, satwa buru,
satwa elok dan Iain- lain hewan serta bagian-bagiannya atau yang dihasilkannya;
3. Benda-benda non hayati yang secara ekologis merupakan satu kesatuan ekosistem
dengan benda hayati penyusun hutan, antara lain berupa sumber air, udara bersih dan
lain- lain yang tidak termasuk benda-benda tambang;
4. Jasa yang diperoleh dari hutan antara lain berupa jasa wisata, jasa keindahan dan jasa
keunikan, jasa perburuan, dan lain -lain;
5. Hasil produksi yang lahgsung diperoleh dari hasil pengolahan bahan~ bahan mentah
yang berasal dari hutan, yang merupakan produksi primer antara lain berupa kayu
bulat, kayu gergajian, veneer, kayu lapis, serpih kayu (chip wood), laminating veneer
lumber dan komponen setengah jadi;
6. Tumbuhan dan satwa sebagaimana diatur dalam Undang~undang Nomor 5 Tahun
1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya berikut aturan
pelaksanaanya dan atau tumbuhan dan satwa yang termasuk dalam daftar Appendix
Convent ion on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora
(CITES) .
Huruf b
Yang dimaksud dengan perangkat yang berhubungan dengan pengelolaan hutan antara
lain kantor pengelola, pal batas hutan, pos jaga, papan informasi, menara pengawas,
sarana komunikasi dan sarana transportasi.
Pasal 7
Cukup jelas
Pasal 8
Cukup jelas
Pasal 9
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Dalam masyarakat hukum adat, jika menurut kenyataannya masih ada dan diakui
keberadaannya, usaha perlindungan hutan atas hutan adat yang dimaksud umumnya
terdapat kebiasaan-kebiasaan yang bersifat tradisional. Kebiasaan-kebiasaan tersebut
untuk setiap daerah bersifat spesifik dan berbeda-beda, sehingga dalam pelaksanaannya
tergantung pada adanya kearifan tradisional sesuai dengan hukum adat dari masyarakat
hukum adat yang bersangkutan.
Pasal 10
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas
Huruf b
Cukup jelas
Huruf c
Yang termasuk sarana perlindungan hutan dapat berupa alat pemadam kebakaran baik
perangkat lunak maupun perangkat keras, alat komunikasi, perlengkapan satuan
pengaman hutan, tanda batas kawasan hutan, plang/tanda-tanda larangan, alat mobilitas
antara lain dapat berupa kendaraan roda empat dan roda dua serta kendaraan air .
Yang termasuk prasarana perlindungan hutan dapat berupa asrama satuan pengamanan
hutan, rumah jaga, jalan-jalan pemeriksaan, menara pengawas, dan parit batas.
Huruf d
Cukup jelas
Huruf e
Cukup jelas
Pasal 11
Cukup jelas
Pasal 12
Ayat (1)
Alat angkut dinyatakan telah mengangk ut hasil hutan apabila sebagian atau seluruh hasil
hutan telah berada di dalam alat angkut tersebut.
Yang termasuk dalam pengertian mengangkut adalah proses yang dimulai dari
direncanakannya hasil hutan untuk diangkut, memasukkan atau membawa hasil hutan ke
dalam alat angkut, alat angkut yang membawa hasil hutan bergerak menuju ke tempat
tujuan sampai alat angkut yang mengangkut hasil hutan sampai tempat tujuan dan
membongkar atau menurunkan atau mengeluarkan hasil hutan dari alat angkut sehingga
seluruh hasil hutan tidak ada lagi di dalam alat angkut.
Di samping hasil hutan yang tidak disertai dengan Surat Keterangan Sahnya Hasil Hutan,
alat angkut baik darat maupun perairan yang dipergunakan untuk mengangkut hasil hutan
dimaksud dirampas untuk negara; hal ini dimaksudkan agar pemilik jasa
angkutan/pengangkut ikut bertanggung jawab atas keabsahan hasil hutan yang diangkut.
Ayat (2)
Ketentuan ini merupakan penjabaran dari Pasal 50 ayat (3) huruf h Undang-undang
Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan.
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 13
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan berlebihan adalah apabila pemanfaatan dan pemungutan hasil
hutan mengakibatkan penurunan potensi dan kerusakan mutu hutan.
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 14
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan pemanfaatan hutan adalah izin .usaha pemanfaatan jasa
lingkungan, izin usaha pemanfaatan kawasan, izin usaha pemanfaatan hasil hutan dan
izin pemungutan hasil hutan.
Yang dimaksud dengan pejabat yang berwenang adalah pejabat yang berwenang
memberikan izin sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Ayat (2)
Ketentuan ini merupakan penjabaran dari Pasal 50 ayat (3) huruf a Undang- Undang
Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan.
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 15
Ayat (1)
Penggembalaan ternak secara tidak terkendali dapat merusak hutan baik berupa
kerusakan tanah ataupun berupa kerusakan tanaman termasuk kebakaran hutan, oleh
karena itu perlu diatur dengan inenyediakan tempat khusus untuk keperluan
penggembalaan ternak, pengambilan rumput dan pakan ternak.
Penggembalaan ternak dalam hutan, pengambilan rumput dan pakan ternak lainya serta.
serasah dari kawasan hutan hanya dapat dilakukan di tempat khusus.
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Penutupan lokasi penggembalaan ternak dapat bersifat sementara atau tetap.
Ayat (4)
Cukup jelas
Pasal 16
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas
Huruf b
Cukup jelas
Huruf c
Cukup jelas
Huruf d
Angka 1
Jalur ini terdiri dari jenis-jenis pohon yang mempunyai perakaran yang dalam dan
melebar, berbatang lentur, bertajuk lebat dan lebih tinggi dari pohon yang dilindungi,
terutama pada daerah-daerah yang rawan badai.
Angka 2
Sifat pohon yang ditanam dalam jalur ini terdiri dari jenis-jenis pohon yang mempunyai
perakaran yang dalam dan melebar berbatang lentur serta bertajuk lebat.
Huruf e
Cukup jelas
Huruf f
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 17
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas
Huruf b
Cukup jelas
Huruf c
Pengendalian populasi dilakukan terhadap jenis-jenis asli yang populasinya sudah sangat
banyak (over-population) dan jenis-jenis eksotik.
Huruf d
Yang dimaksud metode biologis adalah untuk keseimbangan antara yang dimangsa
dengan pemangsa.
Yang dimaksud metode mekanis adalah dengan menggunakan peralatan.
Yang dimaksud metode kimiawi adalah menggunakan zat-zat kimia antara lain herbisida,
insektisida.
Ayat (2)
Cukupjelas
Pasal 18
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Huruf a
Yang termasuk pengertian pembakaran hutan tanpa izin adalah melakukan kegiatan yang
karena kelalaiannya menyebabkan kebakaran.
Kegiatan yang menyebabkan kebakaran hutan meliputi : penggunaan api di dalam hutan
yang tidak terkendali, penggunaan gergaji mesin dan mesin-mesin lainnya yang ceroboh,
penggunaan bahan peledak dan zat- zat kimia yang tidak terkendali.
Huruf b
Benda-benda yang dapat menyebabkan kebakaran meliputi : puntung rokok yang masih
mengandung api, bara api, petasan, zat-zat kimia, lensa cembung, korek api.
Yang termasuk dalam pengertian membuang adalah meletakkan atau meninggalkan
benda-benda yang menyebabkan kebakaran hutan.
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 19
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Pembakaran hutan untuk tujuan khusus atau kondisi yang tidak dapat dielakkan
dilakukan secara terbatas.
Yang dimaksud dengan kondisi yang tidak dapat dielakkan adalah untuk pengendalian
kebakaran dengan metode pembakaran balik.
Pembakaran balik dilakukan karena kegiatan pemadaman langsung tidak mungkin
dilaksanakan.
Pembakaran dengan tujuan khusus untuk pembasmian hama dan penyakit dilakukan
khusus untuk mencegah menjalamya hama dan penyakit tanaman yang disebabkan jamur,
serangga, karena tidak mungkin lagi pemusnahan dengan penyemprotan zat kimia.
Yang termasuk dalam pengertian pembinaan habitat tumbuhan dan satwa antara lain
adalah dalam rangka pembinaan padang penggembalaan ternak. Pembakaran dengan
tujuan khusus untuk pembinaan habitat tumbuhan dan satwa serta pembinaan padang
penggembalaan ternak dilakukan agar tumbuh tunas tanaman/rumput baru sebagai
makanan satwa dan ternak. Persiapan dan pembersihan lahan untuk kebun dan hutan
tanaman tidak termasuk dalam tujuan khusus atau kondisi yang tidak dapat dielakkan.
Ayat (3)
Yang dimaksud pejabat yang berwenang adalah pejabat instansi kehutanan pada daerah
provinsi atau kabupaten/kota.
Ayat (4)
Cukup jelas
Pasal 20
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas
Huruf b
Cukup jelas
Huruf c
Cukup jelas
Huruf d
Pengertian Unit Pengelolaan termasuk areal izin usaha pemanfaatan, pemungutan hasil
hutan dan izin pinjam pakai.
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Cukup jelas
Ayat (5)
Cukup jelas
Ayat (6)
Cukup jelas
Pasal 21
Ayat (1)
Program nasional yang ditetapkan menyangkut rangkaian kegiatan perencanaan dan
pelaksanaan dalam hal pencegahan, pemadaman dan penanganan pasca kebakaran dalam
skala nasional dan bersifat makro.
Ayat (2)
Program tingkat provinsi yang ditetapkan menyangkut rangkaian kegiatan perencanaan
dan pelaksanaan pencegahan, pemadaman dan penanganan pasca kebakaran dalam
wilayah provinsi berdasarkan program nasional.
Ayat (3)
Program tingkat kabupaten/kota dimaksudkan sebagai rencana kegiatan operasional yang
ditetapkan menyangkut rangkaian kegiatan perencanaan dan pelaksanaan pencegahan,
pemadaman dan penanganan pasca kebakaran dalam wilayah kabupaten/kota berdasarkan
program tingkat provinsi.
Ayat (4)
Penetapan rencana kegiatan pengcndalian kebakaran hutan dimaksudkan sebagai rencana
kegiatan operasional menyarigkut rangkaian kegiatan perencanaan dan pelaksanaan
pencegahan, pemadaman dan penanganan pasca kebakaran dalam wilayah kerja sesuai
program tingkat nasional, provinsi dan kabupaten/kota.
Pasal 22
Ayat (1)
Lembaga pengendalian kebakaran hutan yang dibentuk dimaksud berupa wadah
struktural operasional dan fungsional koordinatif .
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Cukup jelas
Pasal 23
Ayat (1)
Huruf a
Angka 1
Pada tingkat nasional peta kerawanan kebakaran hutan disajikan pada setiap tahun.
Angka 2
Cukup jelas
Angka 3
Cukup jelas
Angka 4
Standar sarana dan prasarana yang ditetapkan merupakan satuan baku yang menyangkut
kebutuhan sarana dan prasarana peralatan pemadaman kebakaran secara nasional dan
acuan standar yang diperlukan di daerah.
Sarana dan prasarana pendukung yang disiapkan merupakan jenis sarana dan prasarana
yang diperlukan untuk dukungan pemadaman kebakaran secara nasional.
Angka 5
Cukup jelas
Angka 6
Cukup jelas
Angka 7
Pembinaan dan pengawasan merupakan kegiatan yang dilaksanakan sesuai dengan tugas
pokok dan fungsinya selaku aparat pembina dan pengawas.
Huruf b
Angka 1
Pada tingkat provinsi peta kerawanan kebakaran hutan disajikan pada setiap 6 (enam)
bulan.
Angka 2
Cukup jelas
Angka 3
Cukup jelas
Angka 4
Petunjuk pelaksanaan pemadaman kebakaran hutan termasuk mengatur sarana dan
prasarana pendukung yang disiapkan dalam pemadaman kebakaran tingkat provinsi.
Angka 5
Cukup jelas
Angka 6
Pembinaan, pengawasan dan pengendalian tingkat provinsi berupa kegiatan yang
dilaksanakan sesuai dengan tugas pokok dan fungsinya selaku aparat pembina dan
pengawas di provinsi.
Huruf c
Angka 1
Pada tingkat kabupaten/kota peta kerawanan kebakaran hutan disajikan pada setiap 3
(tiga) bulan.
Angka 2
Cukup jelas
Angka 3
Cukup jelas
Angka 4
Sarana dan prasarana yang disediakan merupakan sarana dan prasarana yang diperlukan
untuk pencegahan, pemadaman, dan penanganan pasca kebakaran tingkat
kabupaten/kota.
Angka 5
Pembinaan dan pengawasan kegiatan pengendalian kebakaran hutan di lapangan berupa
kegiatan yang dilaksanakan sesuai dengan tugas pokok dan fungsi dan kewenangan
selaku aparat pembina dan pengawas di lapangan.
Huruf d
Angka 1
Cukup jelas
Angka 2
Huruf a
Cukup jelas
Huruf b
Cukup jelas
Huruf c
Kelembagaan yang dibentuk dimaksud berupa wadah struktural, operasional dan atau
fungsional di Unit Kesatuan Pengelolaan Hutan Konservasi.
Huruf d
Cukup jelas
Huruf e
Cukup jelas
Huruf f
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 24
Ayat (1)
Dalam hal kebakaran hutan tidak mampu dipadamkan, pemegang izin pemanfaatan,
pemegang izin penggunaan kawasan hutan, pemilik hutan hak dan atau Kesatuan
Pengelolaan Hutan minta bantuan tenaga dan peralatan di sekitar areal yang menjadi
tanggung jawabnya.
Yang dimaksud dengan deteksi adalah kegiatan penyebarluasan informasi tentang lokasi
kebakaran hutan, arah angin dengan mengunakan teknologi sederhana atau teknologi
modern.
Ayat (2)
Dalam rangka menggalang bantuan masyarakat melalui pendekatan tokoh masyarakat
dapat terdiri dari Pimpinan Organisasi Sosial, Agama dan atau Kemasyarakatan.
Ayat (3)
Huruf a
Cukup jelas
Huruf b
Dalam hal api belum dapat dipadamkan Bupati/Walikota melakukan mobilisasi brigade
pemadam kebakaran dan minta bantuan kepada instansi terkait dan masyarakat
Huruf c
Cukup jelas
Ayat (4)
Atas dasar informasi dan pertimbangan Bupati/Walikota bahwa diperlukan dukungan
sumber daya pemadam kebakaran hutan, Gubernur memobilisasi anggaran, tenaga dan
peralatan pemadaman kebakaran hutan yang ada di daerahnya.
Huruf a
Cukup jelas
Huruf b
Dalam hal api belum dapat dipadamkan pada tingkat Kabupaten/kota, Gubernur
melakukan mobilisasi brigade pemadam kebakaran dan minta bantuan kepada instansi
terkait dan masyarakat.
Huruf c
Cukup jelas
Ayat (5)
Atas dasar informasi dan pertimbangan dari Gubernur bahwa diperlukan dukungan
sumber daya pemadam kebakaran hutan, Menteri memobilisasi anggaran, tenaga dan
peralatan pemadaman kebakaran hutan.
Dalam hal tertentu keadaan tersebut dapat ditingkatkan menjadi mobilisasi nasional.
Ayat (6)
Cukup jelas
Pasal 25
Cukup jelas
Pasal 26
Laporan terjadinya kebakaran hutan yang dilakukan oleh masyarakat melalui pemberian
informasi tentang apa yang dilihatnya, sedangkan laporan oleh petugas diusahakan
selengkap-lengkapnya yang meliputi antara lain: informasi mengenai lokasi, waktu,
penyebab, luas areal, kondisi lapangan, arah angin, sketsa situasi dan data-data lain yang
diperlukan.
Pasal 27
Cukup jelas
Pasal 28
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Huruf a
Pengumpulan data dan informasi dilakukan dengan inventarisasi dan identifikasi
lapangan.
Huruf b
Cukup jelas
Huruf c
Tingkat kerusakan akibat kebakaran diperlukan untuk mengetahui jumlah kerugian
negara akibat kebakaran hutan.
Tingkat kerawanan dan kerusakan diperlukan untuk memprediksi prioritas kegiatan yang
harus dilaksanakan tahurl berikutnya.
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 29
Cukup jelas
Pasal 30
Ayat (1)
Pertanggungjawaban Pemegang Izin Pemanfaatan Hutan, Pemegang izin Penggunaan
Kawasan Hutan atau Pemilik Hutan Hak atas terjadinya kebakaran hutan di areal
kerjanya merupakan tanggung jawab mutlak yang berarti Pemegang Izin Pemanfaatan
Hutan, Pemegang Izin Penggunaan Kawasan Hutan atau Pemilik Hutan Hak baik sengaja
maupun tidak sengaja, wajib bertanggung jawab secara pidana dan atau membayar ganti
rugi atas terjadinya kebakaran hutan di areal kerjanya, kecuali apabila Pemegang Izin
Pemanfaatan Hutan, Pemegang izin Penggunaan Kawasan Hutan atau Pemilik Hutan Hak
dapat membuktikan bahwa ia tidak bersalah.
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 31
Cukup jelas
Pasal 32
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Huruf a
Yang dimaksud dengan pejabat kehutanan fungsional antara lain pejabat instansi
kehutanan baik di tingkat pusat maupun di tingkat daerah yang dibebani tugas dan
kewenangan Kepolisian Khusus Kehutanan secara fungsional. Pejabat yang dimaksud ini
lazim disebut Polisi Kehutanan Mobil.
Huruf b
Cukup jelas
Huruf c
Yang dimaksud dengan instansi kehutanan di daerah meliputi dinas kehutanan, unit
pelaksana teknis di lingkungan Departemen Kehutanan dan Unit Perum Perhutani.
Yang dimaksud dengan pejabat kehutanan struktural tertentu meliputi antara lain pejabat
instansi kehutanan baik di tingkat pusat maupun di tingkat daerah yang menurut uraian
tugas pokoknya diserahi tugas dan bertanggung jawab mengenai urusan perlindungan
hutan.
Pasal 33
Cukup jelas
Pasal 34
Cukup jelas
Pasal 35
Wilayah hukum meliputi wilayah kerja Polisi Kehutanan dan mengikuti wilayah kerja
yang ditetapkan dalam keputusan penugasan yang diberikan oleh atasan atau
pimpinannya.
Pasal 36
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Huruf a
Pada waktu mengadakan patroli atau perondaan di dalam kawasan hutan, polisi
kehutanan berwenang, menghentikan kegiatan tertentu apabila kegiatan tersebut diduga
tidak memiliki izin, atau atas perintah pimpinan instansi kehutanan yang berwenang.
Wilayah hukum atau wilayah kerja dapat meliputi Propinsi, Kabupaten/Kota atau wilayah
unit pengelolaan hutan.
Wilayah tersebut baik dalam kawasan hutan maupun di luar kawasan hutan yang dapat
meliputi wilayah administrasi pemerintahan yang setara dengan wilayah hukum penegak
hukum lainnya seperti halnya POLRl, Kejaksaan dan Pengadilan.
Huruf b
Cukup jelas
Huruf c
Cukup jelas
Huruf d
Cukup jelas
Huruf e
Dalam hal tertangkap tangan polisi kehutanan berwenang menangkap dan menahan
tersangka berserta barang bukti dan dalam waktu secepatnya menyerahkan kepada
Penyidik Pegawai Negeri Sipil.
Huruf f
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 37
Tenaga Polisi Kehutanan dan Pejabat Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) Kehutanan
dapat merupakan Pegawai Negeri Sipil pusat maupun daerah. Dalam hal PPNS adalah
Pegawai Negeri Sipil Pusat, maka penugasannya di daerah adalah dalam bentuk
dipekerjakan atau diperbantukan (medebeJvjnd).
Pasal 38
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Penyidik Pegawai Negeri Sipil Kehutanan dapat juga ditugaskan oleh Menteri di bandar
udara, pelabuhan laut, terminal angkutan darat, dan perbatasan antar negara untuk
melakukan pengawasan dan pemeriksaan terhadap legalitas hasil hutan serta mengambil
tindakan Kepolisian Khusus Kehutanan.
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Cukup jelas
Ayat (5)
Cukup jelas
Pasal 39
Ayat (1)
Dalam melakukan penyidikan, Penyidik Pegawai Negeri Sipil Kehutanan berwenang
melakukan pengukuran dan pengujian terhadap hasil hutan dan pengenalan jenis
tumbuhan dan satwa liar yang menjadi barang bukti adanya kejahatan dan pelanggaran
tindak pidana yang menyangkut hutan, kawasan hutan dan hasil hutan termasuk
penentuan besarnya kerusakan, hutan, kawasan hutan, dan hasil hutan, serta kerugian
negara yang disebabkan oleh adanya tindak pidana yang dimaksud.
Dalam hal Penyidik Pegawai Negeri Sipil tidak dapat menentukan besarnya kerusakan
hutan dan kerugian negara serta pengenalan jenis tumbuhan dan satwa liar, maka PPNS
dapat meminta bantuan tim atau tenaga ahli yang ditetapkan oleh Menteri atau pejabat
yang ditunjuk.
Ayat (2)
Penyidik Pegawai Negeri Sipil dalam melaksanakan tugasnya bersifat fungsional. sebagai
pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu yang diberi wewenang Undang-undang Nomor 41
Tahun 1999 tentang Kehutanan, yang secara fungsional melakukan penyidikan tindak
pidana menyangkut hutan, kawasan hutan, hasil hutan.
Ayat (3)
Penyidik POLRI dalam melaksanakan koordinasi dengan dan pengawasan terhadap
PPNS, tidak membawahi PPNS, akan tetapi bersifat pembinaan. Penyidik POLRI baik
diminta atau tidak diminta wajib memberikan pembinaan kepada PPNS.
Ayat (4)
Cukup jelas
Ayat (5)
Cukup jelas
Pasal 40
Ayat (1)
Dalam menjaga kelancaran tugas di wilayah-wilayah kerja tertentu, maka penerapan
koordinasi dengan pihak POLRI dilaksanakan dengan tetap mengacu pada KUHAP dan
disesuaikan dengan kondisi lapangan.
Ayat (2)
Sebelum melakukan penahanan tersangka di rumah tahanan negara, PPNS apabila
dipandang perlu dapat menempatkan tersangka pada rumah tahanan Unit Pelaksana
Teknis Bidang Kehutanart atau menitipkannya pada kantor Kepolisian Republik
Indonesia terdekat.
Pasal 41
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan pemegang izin adalah peniegang izin usaha pemanfaatan hutan,
izin pemungutan hasil hutan atau izin penggunaan kawasan hutan.
Yang dimaksud dengan pemegang hak pengelo1aan hutan adalah Badan Usaha Milik
Negara di bidang Kehutanan yang mendapat pelimpahan untuk melakukan pengelolaan
hutan.
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Cukup jelas
Ayat (5)
Cukup jelas
Pasal 42
Cukup jelas .
Pasal 43
Cukup jelas
Pasal 44
Cukup jelas
Pasal 45
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan Undang~undang Kehutanan adalah Undang~undang Nomor 41
Tahun 1999 tentang Kehutanan.
Yang termasuk dalam pengertian penanggung jawab perbuatan adalah :
a. Setiap orang yang melanggar ketentuan Pasal 50 ayat (1) dan ayat (3) Undang-undang
Nomor 41 Tahun 1999 dan menimbulkan kerusakan hutan.
b. Pemegang izin usaha pemanfaatan kawasan, izin usaha pemanfaatan jasa lingkungan,
izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu dan bukan kayu yang menimbulkan
kerusakan hutan.
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Yang dimaksud untuk biaya rehabilitasi adalah rehabilitasi atas kawasan hutan yang
rusak sebagai akibat perbuatan tersebut.
Yang dimaksud dengan pemulihan kondisi hutan adalah termasuk reklamasi hutan yang
rusak sebagai akibat perbuatan tersebut.
Ayat (4)
Cukup jelas
Pasal 46
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan perubahan fisik adalah kondisi terjadinya perubahan bentuk
lapangan dan atau tegakan hutan, yang mengakibatkan terjadinya penurunan fungsi hutan
baik pada hutan produksi, hu~an lindung atau h u tan konservasi.
Yang dimaksud dengan perubahan sifat fisik adalah kondisi terjadinya perubahan sifat
fisik tanah, yang mengakibatkan terjadinya penurunan fungsi hutan baik pada hutan
produksi, hutan lindung, atau hutan konservasi.
Yang dimaksud dengan perubahan hayati adalah kondisi terjadinya perubahan
keanekaragaman jenis tumbuhan. dan satwa, yang mengakibatkan terjadinya penurunan
fungsi hutan baik pada hutan produksi, hutan lindung, atau hutan konservasi.
Indikasi perubahan fisik berupa perubahan : bentang alam, tegakan pohon atau penutupan
vegetasi.
Indikasi perubahan sifat fisik meliputi perubahan : sifat kimia tanah, ik lim mikro atau
kualitas air.
Indikasi perubahan hayati meliputi perubahan : keragaman dan kerapatan jenis flora,
keragaman dan kelimpahan jenis fauna.
Ayat (4)
Cukup jelas
Pasal 47
Ayat (1)
Kebijakan adalah pengaturan atau penetapan pedoman dalam kegiatan perlindungan
hutan.
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 48
Cukup jelas
Pasal 49
Cukup jelas
Pasal 50
Cukup jelas
Pasal 51
Cukupjelas
Pasal 52
Cukup jelas
Pasal 53
Ayat (1)
Barang bukti meliputi hasil tindak pidana atau benda-benda yang dipergunakan untuk
melakukan atau mendukung tindak pidana antara lain hasil hutan, alat angkut, alat
komunikasi.
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Satwa liar yang dilindungi maupun tidak dilindungi undang-undang hasil sitaan,
rampasan dan temuan dapat dilakukan tindakan :
a. dikembalikan ke alam;
b. dititipkan pada lembaga konservasi atau badan usaha yang bergerak di bidang
konservasi yang dianggap mampu; atau
c. dimusnahkan dengan izin pejabat yang berwenang.
Ayat (4)
Cukup jelas
Ayat (5)
Cukup jelas
Ayat (6)
Cukup jelas
Pasal 54
Cukup jelas
Pasal 55
Cukupjelas
Pasal 56
Cukupjelas
Pasal 57
Cukup jelas
TAMBAHAN LEMBARAN NEGERA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4453

Label:

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda