Minggu, 07 Desember 2008

UNDANG UNDANG PEMILU

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA

NOMOR 10 TAHUN 2008

TENTANG

PEMILIHAN UMUM ANGGOTA DEWAN PERWAKILAN RAKYAT,

DEWAN PERWAKILAN DAERAH, DAN DEWAN PERWAKILAN RAKYAT

DAERAH


DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,


Menimbang : a. bahwa untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan

Dewan Perwakilan Rakyat Daerah sebagai penyalur aspirasi

politik rakyat serta anggota Dewan Perwakilan Daerah sebagai

penyalur aspirasi keanekaragaman daerah sebagaimana

diamanatkan dalam Pasal 22E ayat (2) Undang-Undang Dasar

Negara Republik Indonesia Tahun 1945, diselenggarakan

pemilihan umum;

b. bahwa pemilihan umum secara langsung oleh rakyat merupakan sarana perwujudan kedaulatan rakyat guna menghasilkan pemerintahan negara yang demokratis berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

c. bahwa dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 10 Tahun

2006 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2006 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah menjadi Undang-Undang dan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggara Pemilihan Umum serta adanya perkembangan demokrasi dan dinamika masyarakat, maka Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, perlu diganti;

  1. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c, perlu membentuk Undang-Undang tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat,Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan RakyatDaerah;


Mengingat : 1. Pasal 1 ayat (2) dan ayat (3), Pasal 2 ayat (1), Pasal 5 ayat (1),

Pasal 18 ayat (3), Pasal 19 ayat (1), Pasal 20, Pasal 22C ayat (1)dan ayat (2), Pasal 22E, Pasal 24, Pasal 24A, Pasal 24C, Pasal 27 ayat (1), Pasal 28C ayat (2), Pasal 28D ayat (1), dan Pasal 30 ayat (4) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

2. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggara

Pemilihan Umum (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun

2007 Nomor 59, Tambahan Lembaran Negara Republik

Indonesia Nomor 4721);

3. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik

(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 2,

Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4801);


Dengan Persetujuan Bersama

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA

dan

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

MEMUTUSKAN:

Menetapkan : UNDANG-UNDANG TENTANG PEMILIHAN UMUM ANGGOTA

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT, DEWAN PERWAKILAN

DAERAH, DAN DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH.

BAB I

KETENTUAN UMUM


Pasal 1


Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan:

1. Pemilihan Umum, selanjutnya disebut Pemilu, adalah sarana pelaksanaan

kedaulatan rakyat yang dilaksanakan secara langsung, umum, bebas,

rahasia, jujur, dan adil dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia

berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik

Indonesia Tahun 1945.


2. Pemilu Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan

Dewan Perwakilan Rakyat Daerah adalah Pemilu untuk memilih anggota

Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Dewan Perwakilan

Rakyat Daerah provinsi dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah

kabupaten/kota dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan

Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun

1945.


3. Dewan Perwakilan Rakyat, selanjutnya disebut DPR, adalah Dewan

Perwakilan Rakyat sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar

Negara Republik Indonesia Tahun 1945.


4. Dewan Perwakilan Daerah, selanjutnya disebut DPD, adalah Dewan

Perwakilan Daerah sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar

Negara Republik Indonesia Tahun 1945.


5. Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, selanjutnya disebut DPRD, adalah

Dewan Perwakilan Rakyat Daerah provinsi dan Dewan Perwakilan Rakyat

CETRO (Center for Electoral Reform)

3

Daerah kabupaten/kota sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang

Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.


6. Komisi Pemilihan Umum, selanjutnya disebut KPU, adalah lembaga

penyelenggara Pemilu yang bersifat nasional, tetap, dan mandiri.


7. Komisi Pemilihan Umum Provinsi dan Komisi Pemilihan Umum

Kabupaten/Kota, selanjutnya disebut KPU provinsi dan KPU kabupaten/kota,

adalah penyelenggara Pemilu di provinsi dan kabupaten/kota.


8. Panitia Pemilihan Kecamatan, selanjutnya disebut PPK, adalah panitia yang

dibentuk oleh KPU kabupaten/kota untuk menyelenggarakan Pemilu di

tingkat kecamatan atau sebutan lain, yang selanjutnya disebut kecamatan.


9. Panitia Pemungutan Suara, selanjutnya disebut PPS, adalah panitia yang

dibentuk oleh KPU kabupaten/kota untuk menyelenggarakan Pemilu di

tingkat desa atau sebutan lain/kelurahan, yang selanjutnya disebut

desa/kelurahan.


10. Panitia Pemilihan Luar Negeri, selanjutnya disebut PPLN, adalah panitia

yang dibentuk oleh KPU untuk menyelenggarakan Pemilu di luar negeri.


11. Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara, selanjutnya disebut KPPS,

adalah kelompok yang dibentuk oleh PPS untuk menyelenggarakan

pemungutan suara di tempat pemungutan suara.


12. Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara Luar Negeri, selanjutnya

disebut KPPSLN, adalah kelompok yang dibentuk oleh PPLN untuk

menyelenggarakan pemungutan suara di tempat pemungutan suara di luar

negeri.


13.Tempat Pemungutan Suara, selanjutnya disebut TPS, adalah tempat

dilaksanakannya pemungutan suara.


14. Tempat Pemungutan Suara Luar Negeri, selanjutnya disebut TPSLN, adalah

tempat dilaksanakannya pemungutan suara di luar negeri.


15. Badan Pengawas Pemilu, selanjutnya disebut Bawaslu, adalah badan yang

bertugas mengawasi penyelenggaraan Pemilu di seluruh wilayah Negara

Kesatuan Republik Indonesia.


16.Panitia Pengawas Pemilu Provinsi dan Panitia Pengawas Pemilu

Kabupaten/Kota, selanjutnya disebut Panwaslu provinsi dan Panwaslu

kabupaten/kota, adalah panitia yang dibentuk oleh Bawaslu untuk

mengawasi penyelenggaraan Pemilu di wilayah provinsi dan kabupaten/kota.


17. Panitia Pengawas Pemilu Kecamatan, selanjutnya disebut Panwaslu

kecamatan, adalah panitia yang dibentuk oleh Panwaslu kabupaten/kota

untuk mengawasi penyelenggaraan Pemilu di wilayah kecamatan.


18. Pengawas Pemilu Lapangan adalah petugas yang dibentuk oleh Panwaslu

kecamatan untuk mengawasi penyelenggaraan Pemilu di desa/kelurahan.


19. Pengawas Pemilu Luar Negeri adalah petugas yang dibentuk oleh Bawaslu

untuk mengawasi penyelenggaraan Pemilu di luar negeri.


20. Penduduk adalah warga negara Indonesia yang berdomisili di wilayah

Republik Indonesia atau di luar negeri.


21. Warga Negara Indonesia adalah orang-orang bangsa Indonesia asli dan

orang-orang bangsa lain yang disahkan dengan undang-undang sebagai

Warga Negara.


22. Pemilih adalah Warga Negara Indonesia yang telah genap berumur 17 (tujuh

belas) tahun atau lebih atau sudah/pernah kawin.


23. Peserta Pemilu adalah partai politik untuk Pemilu anggota DPR, DPRD

provinsi, dan DPRD kabupaten/kota dan perseorangan untuk Pemilu anggota

DPD.


24. Partai Politik Peserta Pemilu adalah partai politik yang telah memenuhi

persyaratan sebagai Peserta Pemilu.


25.Perseorangan Peserta Pemilu adalah perseorangan yang telah memenuhi

persyaratan sebagai Peserta Pemilu.


26. Kampanye Pemilu adalah kegiatan Peserta Pemilu untuk meyakinkan para

pemilih dengan menawarkan visi, misi, dan program Peserta Pemilu.


27. Bilangan Pembagi Pemilihan bagi kursi DPR, selanjutnya disebut BPP DPR,

adalah bilangan yang diperoleh dari pembagian jumlah suara sah seluruh

Partai Politik Peserta Pemilu yang memenuhi ambang batas perolehan suara

2,5% (dua koma lima perseratus) dari suara sah secara nasional di satu

daerah pemilihan dengan jumlah kursi di suatu daerah pemilihan untuk

menentukan jumlah perolehan kursi Partai Politik Peserta Pemilu.


28. Bilangan Pembagi Pemilihan bagi kursi DPRD, selanjutnya disebut BPP

DPRD, adalah bilangan yang diperoleh dari pembagian jumlah suara sah

dengan jumlah kursi di suatu daerah pemilihan untuk menentukan jumlah

perolehan kursi Partai Politik Peserta Pemilu dan terpilihnya anggota DPRD

provinsi dan DPRD kabupaten/kota.



BAB II

ASAS, PELAKSANAAN, DAN

LEMBAGA PENYELENGGARA PEMILU


Pasal 2


Pemilu dilaksanakan secara efektif dan efisien berdasarkan asas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil.


Pasal 3


Pemilu diselenggarakan untuk memilih anggota DPR, DPD, DPRD provinsi, dan

DPRD kabupaten/kota.


Pasal 4


(1) Pemilu dilaksanakan setiap 5 (lima) tahun sekali.

(2) Tahapan penyelenggaraan Pemilu meliputi:

a. pemutakhiran data pemilih dan penyusunan daftar pemilih;

b. pendaftaran Peserta Pemilu;

c. penetapan Peserta Pemilu;

d. penetapan jumlah kursi dan penetapan daerah pemilihan;

e. pencalonan anggota DPR, DPD, DPRD provinsi, dan DPRD

kabupaten/kota;

f. masa kampanye;

g. masa tenang;

h. pemungutan dan penghitungan suara;

i. penetapan hasil Pemilu; dan

j. pengucapan sumpah/janji anggota DPR, DPD, DPRD provinsi, dan

DPRD kabupaten/kota.


(3) Pemungutan suara dilaksanakan pada hari libur atau hari yang diliburkan


Pasal 5


(1) Pemilu untuk memilih anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD

kabupaten/kota dilaksanakan dengan sistem proporsional terbuka.


(2) Pemilu untuk memilih anggota DPD dilaksanakan dengan sistem distrik

berwakil banyak.


Pasal 6


(1) Pemilu untuk memilih anggota DPR, DPD, DPRD provinsi, dan DPRD

kabupaten/kota diselenggarakan oleh KPU.


(2) Pengawasan penyelenggaraan Pemilu dilaksanakan oleh Bawaslu.

BAB III

PESERTA DAN PERSYARATAN MENGIKUTI PEMILU

Bagian Kesatu

Peserta Pemilu Anggota DPR dan DPRD


Pasal 7


Peserta Pemilu untuk memilih anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD

kabupaten/kota adalah partai politik.


Pasal 8


(1) Partai politik dapat menjadi Peserta Pemilu setelah memenuhi persyaratan:

a. berstatus badan hukum sesuai dengan Undang-Undang tentang Partai

Politik;

b. memiliki kepengurusan di 2/3 (dua pertiga) jumlah provinsi;

c. memiliki kepengurusan di 2/3 (dua pertiga) jumlah kabupaten/kota di

provinsi yang bersangkutan;

d. menyertakan sekurang-kurangnya 30% (tiga puluh perseratus)

keterwakilan perempuan pada kepengurusan partai politik tingkat pusat;

e. memiliki anggota sekurang-kurangnya 1.000 (seribu) orang atau 1/1.000

(satu perseribu) dari jumlah Penduduk pada setiap kepengurusan partai

politik sebagaimana dimaksud pada huruf b dan huruf c yang dibuktikan

dengan kepemilikan kartu tanda anggota;

f. mempunyai kantor tetap untuk kepengurusan sebagaimana pada huruf b

dan huruf c; dan

g. mengajukan nama dan tanda gambar partai politik kepada KPU.


(2) Partai Politik Peserta Pemilu pada Pemilu sebelumnya dapat menjadi Peserta

Pemilu pada Pemilu berikutnya.


Pasal 9


(1) KPU melaksanakan penelitian dan penetapan keabsahan syarat-syarat

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8.


(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penelitian dan penetapan

keabsahan syarat-syarat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan

peraturan KPU.


Pasal 10

Nama dan tanda gambar partai politik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat

(1) huruf g dilarang sama dengan:

a. bendera atau lambang negara Republik Indonesia;

b. lambang lembaga negara atau lambang pemerintah;

c. nama, bendera, lambang negara lain atau lembaga/badan internasional;

d. nama, bendera, simbol organisasi gerakan separatis atau organisasi terlarang;

e. nama atau gambar seseorang; atau

f. yang mempunyai persamaan pada pokoknya atau keseluruhannya dengan

nama, lambang, atau tanda gambar partai politik lain.


Bagian Kedua

Peserta Pemilu Anggota DPD


Pasal 11


(1) Peserta Pemilu untuk memilih anggota DPD adalah perseorangan.

(2) Perseorangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat menjadi Peserta

Pemilu setelah memenuhi persyaratan.


Pasal 12


Persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (2):

a. Warga Negara Indonesia yang telah berumur 21 (dua puluh satu) tahun atau

lebih;

b. bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa;

c. bertempat tinggal di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia;

d. cakap berbicara, membaca, dan menulis dalam bahasa Indonesia;

e. berpendidikan paling rendah tamat Sekolah Menengah Atas (SMA), Madrasah

Aliyah (MA), Sekolah Menengah Kejuruan (SMK), Madrasah Aliyah Kejuruan

(MAK), atau bentuk lain yang sederajat;

f. setia kepada Pancasila sebagai dasar negara, Undang-Undang Dasar Negara

Republik Indonesia Tahun 1945, dan cita-cita Proklamasi 17 Agustus 1945;

g. tidak pernah dijatuhi hukuman pidana penjara berdasarkan putusan

pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap karena melakukan

tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih;

h. sehat jasmani dan rohani;

i. terdaftar sebagai pemilih;

j. bersedia bekerja penuh waktu;

k. mengundurkan diri sebagai pegawai negeri sipil, anggota Tentara Nasional

Indonesia, anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia, pengurus pada

badan usaha milik negara dan/atau badan usaha milik daerah, serta badan lain

yang anggarannya bersumber dari keuangan negara, yang dinyatakan dengan

surat pengunduran diri dan yang tidak dapat ditarik kembali;

l. bersedia untuk tidak berpraktik sebagai akuntan publik, advokat/pengacara,

notaris, pejabat pembuat akta tanah (PPAT), dan tidak melakukan pekerjaan

penyedia barang dan jasa yang berhubungan dengan keuangan negara serta

pekerjaan lain yang dapat menimbulkan konflik kepentingan dengan tugas,

wewenang, dan hak sebagai anggota DPD sesuai peraturan perundangundangan;

m. bersedia untuk tidak merangkap jabatan sebagai pejabat-negara lainnya,

pengurus pada badan usaha milik negara, dan badan usaha milik daerah,

serta badan lain yang anggarannya bersumber dari keuangan negara;

n. dicalonkan hanya di 1 (satu) lembaga perwakilan;

o. dicalonkan hanya di 1 (satu) daerah pemilihan; dan

p. mendapat dukungan minimal dari pemilih dari daerah pemilihan yang

bersangkutan.


Pasal 13

(1) Persyaratan dukungan minimal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 huruf

p meliputi:

a. provinsi yang berpenduduk sampai dengan 1.000.000 (satu juta) orang

harus mendapatkan dukungan dari paling sedikit 1.000 (seribu) pemilih;

b. provinsi yang berpenduduk lebih dari 1.000.000 (satu juta) sampai

dengan 5.000.000 (lima juta) orang harus mendapatkan dukungan dari

paling sedikit 2.000 (dua ribu) pemilih;

c. provinsi yang berpenduduk lebih dari 5.000.000 (lima juta) sampai

dengan 10.000.000 (sepuluh juta) orang harus mendapatkan dukungan

dari paling sedikit 3.000 (tiga ribu) pemilih;

d. provinsi yang berpenduduk lebih dari 10.000.000 (sepuluh juta) sampai

dengan 15.000.000 (lima belas juta) orang harus mendapatkan dukungan

dari paling sedikit 4.000 (empat ribu) pemilih; atau

e. provinsi yang berpenduduk lebih dari 15.000.000 (lima belas juta) orang

harus mendapatkan dukungan dari paling sedikit 5.000 (lima ribu)

pemilih.


(2) Dukungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tersebar di paling sedikit

50% (lima puluh perseratus) dari jumlah kabupaten/kota di provinsi yang

bersangkutan.


(3) Persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dibuktikan

dengan daftar dukungan yang dibubuhi tanda tangan atau cap jempol dan

dilengkapi fotokopi kartu tanda penduduk setiap pendukung.


(4) Seorang pendukung tidak dibolehkan memberikan dukungan kepada lebih

dari satu orang calon anggota DPD.


(5) Dukungan yang diberikan kepada lebih dari satu orang calon anggota DPD

sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dinyatakan batal.


(6) Jadwal waktu pendaftaran Peserta Pemilu calon anggota DPD ditetapkan

oleh KPU.








Bagian Ketiga

Pendaftaran Partai Politik sebagai Calon Peserta Pemilu


Pasal 14


(1) Partai politik dapat menjadi Peserta Pemilu dengan mengajukan pendaftaran

untuk menjadi calon Peserta Pemilu kepada KPU.


(2) Pendaftaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan dengan surat

yang ditandatangani oleh ketua umum dan sekretaris jenderal atau sebutan

lain pada kepengurusan pusat partai politik.


(3) Pendaftaran sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilengkapi dengan

dokumen persyaratan.


(4) Jadwal waktu pendaftaran Partai Politik Peserta Pemilu ditetapkan oleh KPU.


Pasal 15


Dokumen persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (3) meliputi:

a. Berita Negara Republik Indonesia yang memuat tanda terdaftar bahwa partai

politik tersebut menjadi badan hukum;

b. keputusan pengurus pusat partai politik tentang pengurus tingkat provinsi dan

pengurus tingkat kabupaten/kota;

c. surat keterangan dari pengurus pusat partai politik tentang kantor dan alamat

tetap pengurus tingkat pusat, pengurus tingkat provinsi, dan pengurus tingkat

kabupaten/kota;

d. surat keterangan dari pengurus pusat partai politik tentang penyertaan

keterwakilan perempuan sekurang-kurangnya 30% (tiga puluh perseratus)

sesuai dengan peraturan perundang-undangan;

e. surat keterangan tentang pendaftaran nama, lambang, dan tanda gambar

partai politik dari Departemen; dan

f. surat keterangan mengenai perolehan kursi partai politik di DPR, DPRD

provinsi, dan DPRD kabupaten/kota dari KPU.


Bagian Keempat

Verifikasi Partai Politik Calon Peserta Pemilu


Pasal 16

(1) KPU melakukan verifikasi terhadap kelengkapan dan kebenaran persyaratan

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15.


(2) Verifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus selesai dilaksanakan

paling lambat 9 (sembilan) bulan sebelum hari/tanggal pemungutan suara.


(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan dan waktu verifikasi

sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan peraturan

KPU.


Bagian Kelima

Penetapan Partai Politik sebagai Peserta Pemilu


Pasal 17


(1) Partai politik calon Peserta Pemilu yang lulus verifikasi sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 16 ditetapkan sebagai Peserta Pemilu oleh KPU.


(2) Penetapan partai politik sebagai Peserta Pemilu dilakukan dalam sidang

pleno KPU.


(3) Penetapan nomor urut partai politik sebagai Peserta Pemilu dilakukan secara

undi dalam sidang pleno KPU terbuka dan dihadiri oleh wakil seluruh Partai

Politik Peserta Pemilu.


(4) Hasil penetapan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3)

diumumkan oleh KPU.


Bagian Keenam

Pengawasan atas Pelaksanaan Verifikasi Partai Politik Calon Peserta Pemilu


Pasal 18


(1) Bawaslu, Panwaslu provinsi, dan Panwaslu kabupaten/kota melakukan

pengawasan atas pelaksanaan verifikasi partai politik calon Peserta Pemilu

yang dilaksanakan oleh KPU, KPU provinsi, dan KPU kabupaten/kota.


(2) Dalam hal Bawaslu, Panwaslu provinsi, dan Panwaslu kabupaten/kota

menemukan kesengajaan atau kelalaian yang dilakukan oleh anggota KPU,

KPU provinsi, dan KPU kabupaten/kota dalam melaksanakan verifikasi

sehingga merugikan dan/atau menguntungkan partai politik calon Peserta

Pemilu, maka Bawaslu, Panwaslu provinsi, dan Panwaslu kabupaten/kota

menyampaikan temuan tersebut kepada KPU, KPU provinsi, dan KPU

kabupaten/kota.


(3) KPU, KPU provinsi, dan KPU kabupaten/kota wajib menindaklanjuti temuan

Bawaslu, Panwaslu provinsi, dan Panwaslu kabupaten/kota sebagaimana

dimaksud pada ayat (2).


BAB IV

HAK MEMILIH




Pasal 19


(1) Warga Negara Indonesia yang pada hari pemungutan suara telah genap

berumur 17 (tujuh belas) tahun atau lebih atau sudah/pernah kawin

mempunyai hak memilih.


(2) Warga Negara Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (1) didaftar oleh

penyelenggara Pemilu dalam daftar pemilih.


Pasal 20


Untuk dapat menggunakan hak memilih, Warga Negara Indonesia harus terdaftar sebagai pemilih.


BAB V

JUMLAH KURSI DAN DAERAH PEMILIHAN

Bagian Kesatu

Jumlah Kursi dan Daerah Pemilihan Anggota DPR


Pasal 21


Jumlah kursi anggota DPR ditetapkan sebanyak 560 (lima ratus enam puluh).

banyak

Pasal 22


(1) Daerah pemilihan anggota DPR adalah provinsi atau bagian provinsi.


(2) Jumlah kursi setiap daerah pemilihan anggota DPR paling sedikit 3 (tiga)

kursi dan paling banyak 10 (sepuluh) kursi.


(3) Penentuan daerah pemilihan anggota DPR dilakukan dengan mengubah

ketentuan daerah pemilihan pada Pemilu 2004 berdasarkan ketentuan pada

ayat (2).


(4) Daerah pemilihan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) merupakan lampiran

yang tidak terpisahkan dari Undang-Undang ini.


Bagian Kedua

Jumlah Kursi dan Daerah Pemilihan Anggota DPRD Provinsi


Pasal 23

(1) Jumlah kursi DPRD provinsi ditetapkan paling sedikit 35 (tiga puluh lima) dan

paling banyak 100 (seratus).


(2) Jumlah kursi DPRD provinsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

didasarkan pada jumlah Penduduk provinsi yang bersangkutan dengan

ketentuan:

a. provinsi dengan jumlah Penduduk sampai dengan 1.000.000 (satu juta)

jiwa memperoleh alokasi 35 (tiga puluh lima) kursi;

b. provinsi dengan jumlah Penduduk lebih dari 1.000.000 (satu juta) sampai

dengan 3.000.000 (tiga juta) jiwa memperoleh alokasi 45 (empat puluh

lima) kursi;

c. provinsi dengan jumlah Penduduk lebih dari 3.000.000 (tiga juta) sampai

dengan 5.000.000 (lima juta) jiwa memperoleh alokasi 55 (lima puluh

lima) kursi;

d. provinsi dengan jumlah Penduduk lebih dari 5.000.000 (lima juta) sampai

dengan 7.000.000 (tujuh juta) jiwa memperoleh alokasi 65 (enam puluh

lima) kursi;

e. provinsi dengan jumlah Penduduk lebih dari 7.000.000 (tujuh juta) sampai

dengan 9.000.000 (sembilan juta) jiwa memperoleh alokasi 75 (tujuh

puluh lima) kursi;

f. provinsi dengan jumlah Penduduk lebih dari 9.000.000 (sembilan juta)

sampai dengan 11.000.000 (sebelas juta) jiwa memperoleh alokasi 85

(delapan puluh lima) kursi;

g. provinsi dengan jumlah Penduduk lebih dari 11.000.000 (sebelas juta)

jiwa memperoleh alokasi 100 (seratus) kursi.


Pasal 24


(1) Daerah pemilihan anggota DPRD provinsi adalah kabupaten/kota atau

gabungan kabupaten/kota.


(2) Jumlah kursi setiap daerah pemilihan anggota DPRD provinsi ditetapkan

sama dengan Pemilu sebelumnya.


Pasal 25


(1) Jumlah kursi anggota DPRD provinsi yang dibentuk setelah Pemilu

ditetapkan berdasarkan ketentuan dalam Undang-Undang ini.


(2) Alokasi kursi dan daerah pemilihan anggota DPRD provinsi sebagaimana

dimaksud pada ayat (1) ditentukan paling sedikit 3 (tiga) dan paling banyak

12 (dua belas).


(3) Dalam hal terjadi pembentukan provinsi baru setelah Pemilu, dilakukan

penataan daerah pemilihan di provinsi induk sesuai dengan jumlah penduduk

berdasarkan alokasi kursi sebagaimana dimaksud pada ayat (2).


(4) Penataan daerah pemilihan di provinsi induk dan pembentukan daerah

pemilihan di provinsi baru dilakukan untuk Pemilu berikutnya.


(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai alokasi kursi dan daerah pemilihan anggota

DPRD provinsi ditetapkan dalam peraturan KPU.


Bagian Ketiga

Jumlah Kursi dan Daerah Pemilihan Anggota DPRD Kabupaten/Kota


Pasal 26

(1) Jumlah kursi DPRD kabupaten/kota ditetapkan paling sedikit 20 (dua puluh)

dan paling banyak 50 (lima puluh).

(2) Jumlah kursi DPRD kabupaten/kota sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

didasarkan pada jumlah Penduduk kabupaten/kota yang bersangkutan

dengan ketentuan:

a. kabupaten/kota dengan jumlah Penduduk sampai dengan 100.000

(seratus ribu) jiwa memperoleh alokasi 20 (dua puluh) kursi;

b. kabupaten/kota dengan jumlah Penduduk lebih dari 100.000 (seratus

ribu) sampai dengan 200.000 (dua ratus ribu) jiwa memperoleh alokasi 25

(dua puluh lima) kursi;

c. kabupaten/kota dengan jumlah Penduduk lebih dari 200.000 (dua ratus

ribu) sampai dengan 300.000 (tiga ratus ribu) jiwa memperoleh alokasi

30 (tiga puluh) kursi;

d. kabupaten/kota dengan jumlah Penduduk lebih dari 300.000 (tiga ratus

ribu) sampai dengan 400.000 (empat ratus ribu) jiwa memperoleh alokasi

35 (tiga puluh lima) kursi;

e. kabupaten/kota dengan jumlah Penduduk lebih dari 400.000 (empat ratus

ribu) sampai dengan 500.000 (lima ratus ribu) jiwa memperoleh alokasi

40 (empat puluh) kursi;

f. kabupaten/kota dengan jumlah Penduduk lebih dari 500.000 (lima ratus

ribu) sampai dengan 1.000.000 (satu juta) jiwa memperoleh alokasi 45

(empat puluh lima) kursi;

g. kabupaten/kota dengan jumlah Penduduk lebih dari 1.000.000 (satu juta)

jiwa memperoleh alokasi 50 (lima puluh) kursi.


Pasal 27


(1) Daerah pemilihan anggota DPRD kabupaten/kota adalah kecamatan atau

gabungan kecamatan.


(2) Jumlah kursi setiap daerah pemilihan anggota DPRD kabupaten/kota

ditetapkan sama dengan Pemilu sebelumnya.


(3) Jumlah kursi anggota DPRD kabupaten/kota di kabupaten/kota yang memiliki

jumlah penduduk lebih dari 1.000.000 (satu juta) jiwa berlaku ketentuan

Pasal 26 ayat (2) huruf g.


(4) Penambahan jumlah kursi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (2)

huruf g diberikan kepada daerah pemilihan yang memiliki jumlah penduduk

terbanyak secara berurutan.

Pasal 28


(1) Dalam hal terjadi bencana yang mengakibatkan hilangnya daerah pemilihan,

daerah pemilihan tersebut dihapuskan.


(2) Alokasi kursi akibat hilangnya daerah pemilihan sebagaimana dimaksud

pada ayat (1) diperhitungkan kembali sesuai dengan jumlah Penduduk.


Pasal 29


(1) Jumlah kursi anggota DPRD kabupaten/kota yang dibentuk setelah Pemilu

ditetapkan berdasarkan ketentuan dalam Undang-Undang ini.


(2) Alokasi kursi dan daerah pemilihan anggota DPRD kabupaten/kota

sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditentukan paling sedikit 3 (tiga) dan

paling banyak 12 (dua belas).


(3) Dalam hal terjadi pembentukan kabupaten/kota baru setelah Pemilu,

dilakukan penataan daerah pemilihan di kabupaten/kota induk sesuai dengan

jumlah penduduk berdasarkan alokasi kursi sebagaimana dimaksud pada

ayat (2).


(4) Penataan daerah pemilihan di kabupaten/kota induk dan pembentukan

daerah pemilihan di kabupaten/kota baru dilakukan untuk Pemilu berikutnya.

(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai alokasi kursi dan daerah pemilihan anggota

DPRD kabupaten/kota ditetapkan dalam peraturan KPU.


Bagian Keempat

Jumlah Kursi dan Daerah Pemilihan Anggota DPD


Pasal 30


Jumlah kursi anggota DPD untuk setiap provinsi ditetapkan 4 (empat).


Pasal 31


Daerah pemilihan untuk anggota DPD adalah provinsi.


BAB VI

PENYUSUNAN DAFTAR PEMILIH

Bagian Kesatu

Data Kependudukan


Pasal 32


(1) Pemerintah dan pemerintah daerah menyediakan data kependudukan.


(2) Data kependudukan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus sudah

tersedia dan diserahkan kepada KPU paling lambat 12 (dua belas) bulan

sebelum hari/tanggal pemungutan suara.


Bagian Kedua

Daftar Pemilih


Pasal 33


(1) KPU kabupaten/kota menggunakan data kependudukan sebagai bahan

penyusunan daftar pemilih.


(2) Daftar pemilih sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sekurang-kurangnya

memuat nomor induk kependudukan, nama, tanggal lahir, jenis kelamin, dan

alamat Warga Negara Indonesia yang mempunyai hak memilih.


(3) Dalam penyusunan daftar pemilih sebagaimana dimaksud pada ayat (1),

KPU kabupaten/kota dibantu oleh PPS.


(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penyusunan daftar pemilih diatur

dalam peraturan KPU.


Bagian Ketiga

Pemutakhiran Data Pemilih


Pasal 34


(1) KPU kabupaten/kota melakukan pemutakhiran data pemilih berdasarkan data

kependudukan dari Pemerintah dan pemerintah daerah.


(2) Pemutakhiran data pemilih diselesaikan paling lama 3 (tiga) bulan setelah

diterimanya data kependudukan.


(3) Dalam pemutakhiran data pemilih, KPU kabupaten/kota dibantu oleh PPS

dan PPK.


(4) Hasil pemutakhiran data pemilih digunakan sebagai bahan penyusunan

daftar pemilih sementara.


Pasal 35


(1) Dalam pemutakhiran data pemilih sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34

ayat (3), PPS dibantu oleh petugas pemutakhiran data pemilih yang terdiri

atas perangkat desa/kelurahan, rukun warga, rukun tetangga atau sebutan

lain, dan warga masyarakat.


(2) Petugas pemutakhiran data pemilih sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

diangkat dan diberhentikan oleh PPS.


Bagian Keempat

Penyusunan Daftar Pemilih Sementara


Pasal 36


(1) Daftar pemilih sementara disusun oleh PPS berbasis rukun tetangga atau

sebutan lain.


(2) Daftar pemilih sementara disusun paling lambat 1 (satu) bulan sejak

berakhirnya pemutakhiran data pemilih.


(3) Daftar pemilih sementara diumumkan selama 7 (tujuh) hari oleh PPS untuk

mendapatkan masukan dan tanggapan dari masyarakat.


(4) Daftar pemilih sementara sebagaimana dimaksud pada ayat (3) berupa

salinannya harus diberikan oleh PPS kepada yang mewakili Peserta Pemilu

di tingkat desa/kelurahan sebagai bahan untuk mendapatkan masukan dan

tanggapan.


(5) Masukan dan tanggapan dari masyarakat dan Peserta Pemilu sebagaimana

dimaksud pada ayat (3) dan ayat (4) diterima PPS paling lama 14 (empat

belas) hari sejak hari pertama daftar pemilih sementara diumumkan.


(6) PPS wajib memperbaiki daftar pemilih sementara berdasarkan masukan dan

tanggapan dari masyarakat dan Peserta Pemilu.


Pasal 37


(1) Daftar pemilih sementara hasil perbaikan sebagaimana dimaksud dalam

Pasal 36 ayat (6) diumumkan kembali oleh PPS selama 3 (tiga) hari untuk

mendapatkan masukan dan tanggapan dari masyarakat dan Peserta Pemilu.


(2) PPS wajib melakukan perbaikan terhadap daftar pemilih sementara hasil

perbaikan berdasarkan masukan dan tanggapan dari masyarakat dan

Peserta Pemilu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling lama 3 (tiga)

hari setelah berakhirnya pengumuman.


(3) Daftar pemilih sementara hasil perbaikan akhir sebagaimana dimaksud pada

ayat (2) disampaikan oleh PPS kepada KPU kabupaten/kota melalui PPK

untuk menyusun daftar pemilih tetap.


(4) PPS harus memberikan salinan daftar pemilih sementara hasil perbaikan

sebagaimana dimaksud pada ayat (3) kepada yang mewakili Peserta Pemilu

di tingkat desa/kelurahan.


Bagian Kelima

Penyusunan Daftar Pemilih Tetap


Pasal 38

(1) KPU kabupaten/kota menetapkan daftar pemilih tetap berdasarkan daftar

pemilih sementara hasil perbaikan dari PPS.


(2) Daftar pemilih tetap sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disusun dalam

besaran satuan TPS.


(3) Daftar pemilih tetap sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan paling

lama 20 (dua puluh) hari sejak diterimanya daftar pemilih sementara hasil

perbaikan dari PPS.


(4) Daftar pemilih tetap sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan oleh

KPU kabupaten/kota kepada KPU, KPU provinsi, PPK, dan PPS.


(5) KPU kabupaten/kota harus memberikan salinan daftar pemilih tetap

sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepada Partai Politik Peserta Pemilu di

tingkat kabupaten/kota.


Pasal 39


(1) PPS mengumumkan daftar pemilih tetap sejak diterima dari KPU

kabupaten/kota sampai hari/tanggal pemungutan suara.


(2) Daftar pemilih tetap sebagaimana dimaksud pada ayat (1) digunakan KPPS

dalam melaksanakan pemungutan suara.


Pasal 40


(1) Daftar pemilih tetap sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 ayat (2) dapat

dilengkapi dengan daftar pemilih tambahan paling lambat 3 (tiga) hari

sebelum hari/tanggal pemungutan suara.


(2) Daftar pemilih tambahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas

data pemilih yang telah terdaftar dalam daftar pemilih tetap di suatu TPS,

tetapi karena keadaan tertentu tidak dapat menggunakan haknya untuk

memilih di TPS tempat yang bersangkutan terdaftar.


(3) Untuk dapat dimasukkan dalam daftar pemilih tambahan, seseorang harus

menunjukkan bukti identitas diri dan bukti yang bersangkutan telah terdaftar

sebagai pemilih dalam daftar pemilih tetap di TPS asal.



Bagian Keenam

Penyusunan Daftar Pemilih bagi Pemilih di Luar Negeri


Pasal 41


(1) Setiap Kepala Perwakilan Republik Indonesia menyediakan data penduduk

Warga Negara Indonesia dan data penduduk potensial pemilih Pemilu di

negara akreditasinya.


(2) PPLN menggunakan data penduduk potensial pemilih Pemilu untuk

menyusun daftar pemilih di luar negeri.


Pasal 42


(1) PPLN melakukan pemutakhiran data pemilih paling lama 3 (tiga) bulan

setelah diterimanya data penduduk Warga Negara Indonesia dan data

penduduk potensial pemilih Pemilu.


(2) Pemutakhiran data pemilih oleh PPLN dibantu petugas pemutakhiran data

pemilih.


(3) Petugas pemutakhiran data pemilih sebagaimana dimaksud pada ayat (2)

terdiri atas pegawai Perwakilan Republik Indonesia dan warga masyarakat

Indonesia di negara yang bersangkutan.


(4) Petugas pemutakhiran data pemilih diangkat dan diberhentikan oleh PPLN.


Pasal 43


(1) PPLN menyusun daftar pemilih sementara.


(2) Penyusunan daftar pemilih sementara dilaksanakan paling lama 1 (satu)

bulan sejak berakhirnya pemutakhiran data pemilih.


(3) Daftar pemilih sementara diumumkan selama 7 (tujuh) hari oleh PPLN untuk

mendapatkan masukan dan tanggapan dari masyarakat.


(4) Masukan dan tanggapan dari masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat


(3) diterima PPLN paling lama 7 (tujuh) hari sejak diumumkan.


(5) PPLN wajib memperbaiki daftar pemilih sementara berdasarkan masukan

dan tanggapan dari masyarakat.


(6) Daftar pemilih sementara hasil perbaikan sebagaimana dimaksud pada ayat


(5) digunakan PPLN untuk bahan penyusunan daftar pemilih tetap.


Pasal 44


(1) PPLN menetapkan daftar pemilih sementara hasil perbaikan sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 43 ayat (6) menjadi daftar pemilih tetap.


(2) PPLN mengirim daftar pemilih tetap sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

kepada KPU dengan tembusan kepada Kepala Perwakilan Republik

Indonesia.


Pasal 45


(1) PPLN menyusun daftar pemilih tetap dengan basis TPSLN berdasarkan

daftar pemilih tetap sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44 ayat (1).


(2) Daftar pemilih tetap dengan basis TPSLN digunakan KPPSLN dalam

melaksanakan pemungutan suara.


Pasal 46


(1) Daftar pemilih tetap dengan basis TPSLN sebagaimana dimaksud Pasal 45

ayat (2) dapat dilengkapi dengan daftar pemilih tambahan sampai

hari/tanggal pemungutan suara.


(2) Daftar pemilih tambahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas

data pemilih yang telah terdaftar dalam daftar pemilih tetap di suatu TPSLN,

tetapi karena keadaan tertentu tidak dapat menggunakan haknya untuk

memilih di TPSLN tempat yang bersangkutan terdaftar.


Bagian Ketujuh

Rekapitulasi Daftar Pemilih Tetap


Pasal 47


(1) KPU kabupaten/kota melakukan rekapitulasi daftar pemilih tetap di

kabupaten/kota.

(2) KPU provinsi melakukan rekapitulasi daftar pemilih tetap di provinsi.

(3) KPU melakukan rekapitulasi daftar pemilih tetap secara nasional.


Bagian Kedelapan

Pengawasan dan Penyelesaian Perselisihan

dalam Pemutakhiran Data dan Penetapan Daftar Pemilih




Pasal 48


(1) Bawaslu, Panwaslu provinsi, Panwaslu kabupaten/kota, Panwaslu

kecamatan dan Pengawas Pemilu Lapangan melakukan pengawasan atas

pelaksanaan pemutakhiran data pemilih, penyusunan dan pengumuman

daftar pemilih sementara, perbaikan dan pengumuman daftar pemilih

sementara hasil perbaikan, penetapan dan pengumuman daftar pemilih

tetap, daftar pemilih tambahan, dan rekapitulasi daftar pemilih tetap yang

dilaksanakan oleh KPU, KPU provinsi, KPU kabupaten/kota, PPK dan PPS.


(2) Pengawas Pemilu Luar Negeri melakukan pengawasan atas pelaksanaan

pemutakhiran data pemilih, penyusunan dan pengumuman daftar pemilih

sementara, perbaikan dan pengumuman daftar pemilih sementara hasil

perbaikan, penetapan dan pengumuman daftar pemilih tetap, daftar pemilih

tambahan, dan rekapitulasi daftar pemilih tetap luar negeri yang dilaksanakan

oleh PPLN.


Pasal 49


(1) Dalam hal pengawasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 48 menemukan

unsur kesengajaan atau kelalaian anggota KPU, KPU provinsi, KPU

kabupaten/kota, PPK, PPS dan PPLN yang merugikan Warga Negara

Indonesia yang memiliki hak pilih, maka Bawaslu, Panwaslu provinsi, dan

Panwaslu kabupaten/kota, Panwaslu kecamatan, Pengawas Pemilu

Lapangan dan Pengawas Pemilu Luar Negeri menyampaikan temuan

kepada KPU, KPU provinsi, dan KPU kabupaten/kota, PPK, PPS dan PPLN.


(2) KPU, KPU provinsi, dan KPU kabupaten/kota, PPK, PPS dan PPLN wajib

menindaklanjuti temuan Bawaslu, Panwaslu provinsi, Panwaslu

kabupaten/kota, Panwaslu kecamatan, Pengawas Pemilu Lapangan dan

Pengawas Pemilu Luar Negeri sebagaimana dimaksud pada ayat (1).


BAB VII

PENCALONAN ANGGOTA DPR, DPD, DPRD PROVINSI

DAN DPRD KABUPATEN/KOTA

Bagian Kesatu

Persyaratan Bakal Calon Anggota

DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota


Pasal 50


(1) Bakal calon anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota harus

memenuhi persyaratan:

a. Warga Negara Indonesia yang telah berumur 21 (dua puluh satu) tahun

atau lebih;

b. bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa;

c. bertempat tinggal di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia;

d. cakap berbicara, membaca, dan menulis dalam bahasa Indonesia;

e. berpendidikan paling rendah tamat Sekolah Menengah Atas (SMA),

Madrasah Aliyah (MA), Sekolah Menengah Kejuruan (SMK), Madrasah

Aliyah Kejuruan (MAK), atau bentuk lain yang sederajat;

f. setia kepada Pancasila sebagai dasar negara, Undang-Undang Dasar

Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dan cita-cita Proklamasi 17

Agustus 1945;

g. tidak pernah dijatuhi hukuman pidana penjara berdasarkan putusan

pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap karena

melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima)

tahun atau lebih;

h. sehat jasmani dan rohani;

i. terdaftar sebagai pemilih;

j. bersedia bekerja penuh waktu;

k. mengundurkan diri sebagai pegawai negeri sipil, anggota Tentara

Nasional Indonesia, anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia,

pengurus pada badan usaha milik negara dan/atau badan usaha milik

daerah, serta badan lain yang anggarannya bersumber dari keuangan

negara, yang dinyatakan dengan surat pengunduran diri dan yang tidak

dapat ditarik kembali;

l. bersedia untuk tidak berpraktik sebagai akuntan publik,

advokat/pengacara, notaris, pejabat pembuat akta tanah (PPAT), dan

tidak melakukan pekerjaan penyedia barang dan jasa yang berhubungan

dengan keuangan negara serta pekerjaan lain yang dapat menimbulkan

konflik kepentingan dengan tugas, wewenang, dan hak sebagai anggota

DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota sesuai peraturan

perundang-undangan;

m. bersedia untuk tidak merangkap jabatan sebagai pejabat-negara lainnya,

pengurus pada badan usaha milik negara, dan badan usaha milik daerah,

serta badan lain yang anggarannya bersumber dari keuangan negara;

n. menjadi anggota Partai Politik Peserta Pemilu;

o. dicalonkan hanya di 1 (satu) lembaga perwakilan; dan

p. dicalonkan hanya di 1 (satu) daerah pemilihan.


(2) Kelengkapan administrasi bakal calon anggota DPR, DPRD provinsi, dan

DPRD kabupaten/kota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibuktikan

dengan:

a. kartu tanda Penduduk Warga Negara Indonesia.

b. bukti kelulusan berupa fotokopi ijazah, STTB, syahadah, sertifikat, atau

surat keterangan lain yang dilegalisasi oleh satuan pendidikan atau

program pendidikan menengah.

c. surat keterangan tidak tersangkut perkara pidana dari Kepolisian Negara

Republik Indonesia setempat;

d. surat keterangan berbadan sehat jasmani dan rohani;

e. surat tanda bukti telah terdaftar sebagai pemilih;

f. surat pernyataan tentang kesediaan untuk bekerja penuh waktu yang

ditandatangani di atas kertas bermeterai cukup;

g. surat pernyataan kesediaan untuk tidak berpraktik sebagai akuntan

publik, advokat/pengacara, notaris, pejabat pembuat akta tanah (PPAT),

dan tidak melakukan pekerjaan penyedia barang dan jasa yang

berhubungan dengan keuangan negara serta pekerjaan lain yang dapat

menimbulkan konflik kepentingan dengan tugas, wewenang, dan hak

sebagai anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota yang

ditandatangani di atas kertas bermeterai cukup;

h. surat pengunduran diri yang tidak dapat ditarik kembali sebagai pegawai

negeri sipil, anggota Tentara Nasional Indonesia, atau anggota Kepolisian

Negara Republik Indonesia, pengurus pada badan usaha milik negara

dan/atau badan usaha milik daerah, pengurus pada badan lain yang

anggarannya bersumber dari keuangan negara;

  1. kartu tanda anggota Partai Politik Peserta Pemilu;

j. surat penyataan tentang kesediaan hanya dicalonkan oleh 1 (satu) partai

politik untuk 1 (satu) lembaga perwakilan yang ditandatangani di atas

kertas bermeterai cukup;

k. surat penyataan tentang kesediaan hanya dicalonkan oleh 1 (satu)

daerah pemilihan yang ditandatangani di atas kertas bermeterai cukup.


Bagian Kedua

Tata Cara Pengajuan Bakal Calon Anggota

DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota


Pasal 51


(1) Partai Politik Peserta Pemilu melakukan seleksi bakal calon anggota DPR,

DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota.


(2) Seleksi bakal calon sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan secara

demokratis dan terbuka sesuai dengan mekanisme internal partai politik.


Pasal 52


(1) Bakal calon sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 disusun dalam daftar

bakal calon oleh partai politik masing-masing.

(2) Daftar bakal calon anggota DPR ditetapkan oleh pengurus Partai Politik

Peserta Pemilu tingkat pusat.

(3) Daftar bakal calon anggota DPRD provinsi ditetapkan oleh pengurus Partai

Politik Peserta Pemilu tingkat provinsi.

(4) Daftar bakal calon anggota DPRD kabupaten/kota ditetapkan oleh pengurus

Partai Politik Peserta Pemilu tingkat kabupaten/kota.


Pasal 53


Daftar bakal calon sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 memuat paling sedikit 30% (tiga puluh perseratus) keterwakilan perempuan.


Pasal 54


Daftar bakal calon sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 memuat paling banyak 120% (seratus dua puluh perseratus) jumlah kursi pada setiap daerah pemilihan.


Pasal 55

(1) Nama-nama calon dalam daftar bakal calon sebagaimana dimaksud dalam

Pasal 54 disusun berdasarkan nomor urut.


(2) Di dalam daftar bakal calon sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dalam

setiap 3 (tiga) orang bakal calon terdapat sekurang-kurangnya 1 (satu) orang

perempuan bakal calon.


(3) Daftar bakal calon sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disertai dengan

pas foto diri terbaru.


Pasal 56


Daftar bakal calon anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 diajukan kepada:

a. KPU untuk daftar bakal calon anggota DPR yang ditandatangani oleh ketua

umum dan sekretaris jenderal atau sebutan lain;

b. KPU provinsi untuk daftar bakal calon anggota DPRD provinsi yang

ditandatangani oleh ketua dan sekretaris atau sebutan lain;

c. KPU kabupaten/kota untuk daftar bakal calon anggota DPRD kabupaten/kota

yang ditandatangani oleh ketua dan sekretaris atau sebutan lain.


Bagian Ketiga

Verifikasi Kelengkapan Administrasi

Bakal Calon Anggota DPR, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota


Pasal 57


(1) KPU melakukan verifikasi terhadap kelengkapan dan kebenaran dokumen

persyaratan administrasi bakal calon anggota DPR dan verifikasi terhadap

terpenuhinya jumlah sekurang-kurangnya 30% (tiga puluh perseratus)

keterwakilan perempuan.


(2) KPU provinsi melakukan verifikasi terhadap kelengkapan dan kebenaran

dokumen persyaratan administrasi bakal calon anggota DPRD provinsi dan

verifikasi terhadap terpenuhinya jumlah sekurang-kurangnya 30% (tiga puluh

perseratus) keterwakilan perempuan.

(3) KPU kabupaten/kota melakukan verifikasi terhadap kelengkapan dan

kebenaran dokumen persyaratan administrasi bakal calon anggota DPRD

kabupaten/kota dan verifikasi terhadap terpenuhinya jumlah sekurangkurangnya 30% (tiga puluh perseratus) keterwakilan perempuan.


Pasal 58


(1) Dalam hal kelengkapan dokumen persyaratan administrasi bakal calon

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 57 tidak terpenuhi, KPU, KPU provinsi,

dan KPU kabupaten/kota mengembalikan dokumen persyaratan administrasi

bakal calon anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota

kepada Partai Politik Peserta Pemilu.


(2) Dalam hal daftar bakal calon tidak memuat sekurang-kurangnya 30% (tiga

puluh perseratus) keterwakilan perempuan, KPU, KPU provinsi, dan KPU

kabupaten/kota memberikan kesempatan kepada partai politik untuk

memperbaiki daftar calon tersebut.


(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai proses verifikasi bakal calon anggota DPR,

DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota diatur dengan peraturan KPU.




Pasal 59


(1) KPU, KPU provinsi, dan KPU kabupaten/kota meminta kepada partai politik

untuk mengajukan bakal calon baru anggota DPR, DPRD provinsi, dan

DPRD kabupaten/kota sebagai pengganti bakal calon yang terbukti

memalsukan atau menggunakan dokumen palsu.


(2) Partai Politik Peserta Pemilu yang bersangkutan tidak dapat mengajukan

bakal calon pengganti apabila putusan pengadilan telah mempunyai

kekuatan hukum tetap membuktikan terjadinya pemalsuan atau penggunaan

dokumen palsu tersebut dikeluarkan setelah ditetapkannya daftar calon tetap

oleh KPU, KPU provinsi, dan KPU kabupaten/kota.


(3) Partai politik mengajukan nama bakal calon baru sebagaimana dimaksud

pada ayat (1) paling lama 7 (tujuh) hari sejak surat permintaan dari KPU,

KPU provinsi, dan KPU kabupaten/kota diterima oleh partai politik.


(4) KPU, KPU provinsi dan KPU kabupaten kota melakukan verifikasi terhadap

kelengkapan dan kebenaran dokumen persyaratan administrasi bakal calon

anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota sebagaimana

dimaksud pada ayat (3).


Bagian Keempat

Pengawasan atas Verifikasi Kelengkapan Administrasi

Bakal Calon Anggota DPR, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota


Pasal 60


(1) Bawaslu, Panwaslu provinsi, Panwaslu kabupaten/kota, melakukan

pengawasan atas pelaksanaan verifikasi kelengkapan administrasi bakal

calon anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota yang

dilakukan oleh KPU, KPU provinsi, dan KPU kabupaten/kota.


(2) Dalam hal pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menemukan

unsur kesengajaan atau kelalaian anggota KPU, KPU provinsi, dan KPU

kabupaten/kota sehingga merugikan bakal calon anggota DPR, DPRD

provinsi, dan DPRD kabupaten/kota, maka Bawaslu, Panwaslu provinsi, dan

Panwaslu kabupaten/kota menyampaikan temuan kepada KPU, KPU

provinsi, dan KPU kabupaten/kota.


(3) KPU, KPU provinsi, dan KPU kabupaten/kota wajib menindaklanjuti temuan

Bawaslu, Panwaslu provinsi, dan Panwaslu kabupaten/kota sebagaimana

dimaksud pada ayat (2).


Bagian Kelima

Penyusunan Daftar Calon Sementara Anggota

DPR, DPRD Provinsi, dan DPR Kabupaten/Kota


Pasal 61


(1) Bakal calon yang lulus verifikasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 57

disusun dalam daftar calon sementara oleh:

a. KPU untuk daftar calon sementara anggota DPR.

b. KPU provinsi untuk daftar calon sementara anggota DPRD provinsi.

c. KPU kabupaten/kota untuk daftar calon sementara anggota DPRD

kabupaten/kota.


(2) Daftar calon sementara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditandatangani

oleh ketua dan anggota KPU, KPU provinsi, dan KPU kabupaten/kota.


(3) Daftar calon sementara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disusun

berdasarkan nomor urut dan dilengkapi dengan pas foto diri terbaru.


(4) Daftar calon sementara anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD

kabupaten/kota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diumumkan oleh KPU,

KPU provinsi, dan KPU kabupaten/kota sekurang-kurangnya pada 1 (satu)

media massa cetak harian dan media massa elektronik nasional dan 1 (satu)

media massa cetak harian dan media massa elektronik daerah serta sarana

pengumuman lainnya selama 5 (lima) hari.


(5) Masukan dan tanggapan dari masyarakat disampaikan kepada KPU, KPU

provinsi, atau KPU kabupaten/kota paling lama 10 (sepuluh) hari sejak daftar

calon sementara diumumkan.


(6) KPU, KPU provinsi, dan KPU kabupaten/kota mengumumkan persentase

keterwakilan perempuan dalam daftar calon sementara partai politik masingmasing pada media massa cetak harian nasional dan media massa

elektronik nasional.


Pasal 62


(1) KPU, KPU provinsi, dan KPU kabupaten/kota meminta klarifikasi kepada

partai politik atas masukan dan tanggapan dari masyarakat.


(2) Pimpinan partai politik harus memberikan kesempatan kepada calon yang

bersangkutan untuk mengklarifikasi masukan dan tanggapan dari

masyarakat.


(3) Pimpinan partai politik menyampaikan hasil klarifikasi secara tertulis

sebagaimana dimaksud pada ayat (2) kepada KPU, KPU provinsi, dan KPU

kabupaten/kota.


(4) Dalam hal hasil klarifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) menyatakan

bahwa calon sementara tersebut tidak memenuhi syarat, KPU, KPU provinsi,

dan KPU kabupaten/kota memberitahukan dan memberikan kesempatan

kepada partai politik untuk mengajukan pengganti calon dan daftar calon

sementara hasil perbaikan.


(5) Pengajuan pengganti calon dan daftar calon sementara hasil perbaikan

sebagaimana dimaksud pada ayat (4) paling lama 7 (tujuh) hari setelah surat

pemberitahuan dari KPU, KPU provinsi, dan KPU kabupaten/kota diterima

oleh partai politik.


(6) KPU, KPU provinsi, dan KPU kabupaten/kota melakukan verifikasi terhadap

kelengkapan dan kebenaran dokumen persyaratan administrasi pengganti

calon anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota.


(7) Dalam hal partai politik tidak mengajukan pengganti calon dan daftar calon

sementara hasil perbaikan sebagaimana dimaksud pada ayat (5), dengan

sendirinya urutan nama dalam daftar calon sementara diubah oleh KPU,

KPU provinsi, dan KPU kabupaten/kota sesuai dengan urutan berikutnya.


Pasal 63


Dalam hal ditemukan dugaan telah terjadi pemalsuan dokumen atau penggunaan dokumen palsu dalam persyaratan administrasi bakal calon dan/atau calon anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota, maka KPU, KPU provinsi, dan KPU kabupaten/kota berkoordinasi dengan Kepolisian Negara Republik Indonesia untuk dilakukan proses lebih lanjut sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.


Pasal 64


Dalam hal putusan pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum tetap yang

menyatakan tidak terbukti adanya pemalsuan dokumen atau penggunaan

dokumen palsu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 63 dibacakan setelah KPU,

KPU provinsi, dan KPU kabupaten/kota menetapkan daftar calon tetap anggota

DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota, putusan tersebut tidak

memengaruhi daftar calon tetap.


Bagian Keenam

Penetapan dan Pengumuman Daftar

Calon Tetap Anggota DPR dan DPRD


Pasal 65

(1) KPU menetapkan daftar calon tetap anggota DPR.


(2) KPU provinsi menetapkan daftar calon tetap anggota DPRD provinsi.


(3) KPU kabupaten/kota menetapkan daftar calon tetap anggota DPRD

kabupaten/kota.


(4) Daftar calon tetap sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat


(3) disusun berdasarkan nomor urut dan dilengkapi dengan pas foto diri

terbaru.


Pasal 66


(1) Daftar calon tetap anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 65 diumumkan oleh KPU, KPU

provinsi, dan KPU kabupaten/kota.


(2) KPU, KPU provinsi, dan KPU kabupaten/kota mengumumkan persentase

keterwakilan perempuan dalam daftar calon tetap partai politik masingmasing

pada media massa cetak harian nasional dan media massa

elektronik nasional.


(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai pedoman teknis pencalonan anggota DPR,

DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota ditetapkan oleh KPU.


Bagian Ketujuh

Tata Cara Pendaftaran Bakal Calon Anggota DPD



Pasal 67


(1) Perseorangan yang memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam

Pasal 12 dan Pasal 13 dapat mendaftarkan diri sebagai bakal calon anggota

DPD kepada KPU melalui KPU provinsi.

(2) Kelengkapan administrasi bakal calon anggota DPD sebagaimana dimaksud

pada ayat (1) dibuktikan dengan:

a. kartu tanda penduduk Warga Negara Indonesia;

b. bukti kelulusan berupa fotokopi ijazah, STTB, syahadah, sertifikat, atau

surat keterangan lain yang dilegalisasi oleh satuan pendidikan atau

program pendidikan menengah;

c. surat keterangan tidak tersangkut perkara pidana dari Kepolisian Negara

Republik Indonesia setempat;

d. surat keterangan berbadan sehat jasmani dan rohani;

e. surat tanda bukti telah terdaftar sebagai pemilih;

f. surat pernyataan tentang kesediaan untuk bekerja penuh waktu yang

ditandatangani di atas kertas bermeterai cukup;

g. surat pernyataan kesediaan untuk tidak berpraktik sebagai akuntan

publik, advokat/pengacara, notaris, dan pekerjaan penyedia barang dan

jasa yang berhubungan dengan keuangan negara serta pekerjaan lain

yang dapat menimbulkan konflik kepentingan dengan tugas, wewenang,

dan hak sebagai anggota DPD yang ditandatangani di atas kertas

bermeterai cukup;

h. surat pengunduran diri yang tidak dapat ditarik kembali sebagai pegawai

negeri sipil, anggota Tentara Nasional Indonesia, atau anggota Kepolisian

Negara Republik Indonesia, pengurus pada badan usaha milik negara

dan/atau badan usaha milik daerah, pengurus pada badan lain yang

anggarannya bersumber dari anggaran pendapatan dan belanja negara

dan/atau anggaran pendapatan dan belanja daerah; dan

i. surat penyataan tentang kesediaan hanya dicalonkan untuk 1 (satu)

lembaga perwakilan yang ditandatangani di atas kertas bermeterai cukup.


Bagian Kedelapan

Verifikasi Kelengkapan Administrasi

Bakal Calon Anggota DPD


Pasal 68

(1) KPU melakukan verifikasi kelengkapan dan kebenaran dokumen persyaratan

bakal calon anggota DPD.


(2) KPU provinsi dan KPU kabupaten/kota membantu pelaksanaan verifikasi

sebagaimana dimaksud pada ayat (1).


Pasal 69


(1) Persyaratan dukungan minimal pemilih sebagaimana dimaksud dalam Pasal

13 ayat (1) dibuktikan dengan daftar dukungan yang dibubuhi tanda tangan

atau cap jempol dan dilengkapi fotokopi kartu tanda Penduduk setiap

pendukung.


(2) Seorang pemilih tidak dibolehkan memberikan dukungan kepada lebih dari 1

(satu) orang bakal calon anggota DPD.


(3) Dalam hal ditemukan bukti adanya data palsu atau data yang sengaja

digandakan oleh bakal calon anggota DPD terkait dengan dokumen

persyaratan dukungan minimal pemilih, bakal calon anggota DPD dikenai

pengurangan jumlah dukungan minimal pemilih sebanyak 50 (lima puluh) kali

temuan bukti data palsu atau data yang digandakan.


Bagian Kesembilan

Pengawasan atas Verifikasi Kelengkapan Administrasi Calon Anggota DPD


Pasal 70


(1) Bawaslu, Panwaslu provinsi, Panwaslu kabupaten/kota melakukan

pengawasan atas pelaksanaan verifikasi kelengkapan persyaratan

administrasi bakal calon anggota DPD yang dilakukan oleh KPU, KPU

provinsi, dan KPU kabupaten/kota.


(2) Dalam hal pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menemukan

unsur kesengajaan atau kelalaian anggota KPU, KPU provinsi, dan KPU

kabupaten/kota sehingga merugikan bakal calon anggota DPD, maka

Bawaslu, Panwaslu provinsi, dan Panwaslu kabupaten/kota menyampaikan

temuan kepada KPU, KPU provinsi, dan KPU kabupaten/kota.


(3) KPU, KPU provinsi, dan KPU kabupaten/kota wajib menindaklanjuti temuan

Bawaslu, Panwaslu provinsi, dan Panwaslu kabupaten/kota sebagaimana

dimaksud pada ayat (2).


Bagian Kesepuluh

Penetapan Daftar Calon Sementara Anggota DPD


Pasal 71

(1) KPU menetapkan daftar calon sementara anggota DPD.


(2) Daftar calon sementara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditandatangani

oleh ketua dan anggota KPU.


(3) Daftar calon sementara anggota DPD sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

diumumkan oleh KPU sekurang-kurangnya pada 1 (satu) media massa cetak

harian dan media massa elektronik nasional dan 1 (satu) media massa cetak

harian dan media massa elektronik daerah serta sarana pengumuman

lainnya untuk mendapatkan masukan dan tanggapan dari masyarakat


(4) Masukan dan tanggapan dari masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat


(3) disampaikan kepada KPU paling lama 10 (sepuluh) hari sejak daftar

calon sementara diumumkan.


Pasal 72


(1) Masukan dan tanggapan dari masyarakat untuk perbaikan daftar calon

sementara anggota DPD sebagaimana dimaksud dalam Pasal 71 ayat (3)

disampaikan secara tertulis kepada KPU dengan disertai bukti identitas diri.


(2) KPU, KPU provinsi, dan KPU kabupaten/kota sebagaimana dimaksud pada

ayat (1) meminta klarifikasi kepada bakal calon anggota DPD atas masukan

dan tanggapan dari masyarakat.


Pasal 73


Dalam hal ditemukan dugaan telah terjadi pemalsuan dokumen atau penggunaan dokumen palsu dalam persyaratan administrasi bakal calon dan/atau calon anggota DPD, maka KPU dan KPU provinsi berkoordinasi dengan Kepolisian Negara Republik Indonesia untuk dilakukan proses lebih lanjut sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.


Pasal 74


Dalam hal putusan pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum tetap yang

menyatakan tidak terbukti adanya pemalsuan dokumen atau penggunaan

dokumen palsu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 73 dibacakan setelah KPU,

KPU provinsi, dan KPU kabupaten/kota menetapkan daftar calon tetap anggota

DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota, putusan tersebut tidak

memengaruhi daftar calon tetap.


Bagian Kesebelas

Penetapan dan Pengumuman Daftar Calon Tetap Anggota DPD


Pasal 75


(1) Daftar calon tetap anggota DPD ditetapkan oleh KPU.


(2) Daftar calon tetap anggota DPD sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

disusun berdasarkan abjad dan dilengkapi dengan pas foto diri terbaru.


(3) Daftar calon tetap anggota DPD sebagaimana dimaksud pada ayat (2)

diumumkan oleh KPU.









(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai pedoman teknis pencalonan anggota DPD

ditetapkan oleh KPU.

BAB VIII

KAMPANYE

Bagian Kesatu

Kampanye Pemilu


Pasal 76


Kampanye Pemilu dilakukan dengan prinsip bertanggung jawab dan merupakan

bagian dari pendidikan politik masyarakat.


Pasal 77


(1) Kampanye Pemilu dilaksanakan oleh pelaksana kampanye.


(2) Kampanye Pemilu diikuti oleh peserta kampanye.


(3) Kampanye Pemilu didukung oleh petugas kampanye.


Pasal 78


(1) Pelaksana kampanye Pemilu anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD

Kabupaten/kota terdiri atas pengurus partai politik, calon anggota DPR,

DPRD provinsi, DPRD kabupaten/kota, juru kampanye, orang-seorang, dan

organisasi yang ditunjuk oleh Peserta Pemilu anggota DPR, DPRD provinsi,

dan DPRD kabupaten/kota.


(2) Pelaksana kampanye Pemilu anggota DPD terdiri atas calon anggota DPD,

orang-seorang, dan organisasi yang ditunjuk oleh Peserta Pemilu anggota

DPD.


(3) Peserta kampanye terdiri atas anggota masyarakat.


(4) Petugas kampanye terdiri atas seluruh petugas yang memfasilitasi

pelaksanaan kampanye.

Pasal 79


(1) Pelaksana kampanye sebagaimana dimaksud dalam Pasal 78 harus

didaftarkan pada KPU, KPU provinsi, dan KPU kabupaten/kota.

(2) Pendaftaran pelaksana kampanye sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

ditembuskan kepada Bawaslu, Panwaslu provinsi, dan Panwaslu

kabupaten/kota.


Bagian Kedua

Materi Kampanye


Pasal 80


(1) Materi kampanye Partai Politik Peserta Pemilu yang dilaksanakan oleh calon

anggota DPR, anggota DPRD provinsi, dan anggota DPRD kabupaten/kota

meliputi visi, misi, dan program partai politik.


(2) Materi kampanye Perseorangan Peserta Pemilu yang dilaksanakan oleh

calon anggota DPD meliputi visi, misi, dan program yang bersangkutan.


Bagian Ketiga

Metode Kampanye


Pasal 81


Kampanye Pemilu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76 dapat dilakukan

melalui:

a. pertemuan terbatas;

b. pertemuan tatap muka;

c. media massa cetak dan media massa elektronik;

d. penyebaran bahan kampanye kepada umum;

e. pemasangan alat peraga di tempat umum;

f. rapat umum; dan

g. kegiatan lain yang tidak melanggar larangan kampanye dan peraturan

perundang-undangan.


Pasal 82


(1) Kampanye Pemilu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 81 huruf a sampai

dengan huruf e dilaksanakan sejak 3 (tiga) hari setelah calon Peserta Pemilu

ditetapkan sebagai Peserta Pemilu sampai dengan dimulainya masa tenang.


(2) Kampanye Pemilu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 81 huruf f

dilaksanakan selama 21 (dua puluh satu) hari dan berakhir sampai dengan

dimulainya masa tenang.


(3) Masa tenang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) berlangsung

selama 3 (tiga) hari sebelum hari/tanggal pemungutan suara.


Pasal 83


(1) Ketentuan mengenai pedoman pelaksanaan kampanye Pemilu secara

nasional diatur dengan peraturan KPU.

(2) Waktu, tanggal, dan tempat pelaksanaan kampanye Pemilu anggota DPR

dan DPD ditetapkan dengan keputusan KPU setelah KPU berkoordinasi

dengan Peserta Pemilu.

(3) Waktu, tanggal, dan tempat pelaksanaan kampanye Pemilu anggota DPRD

provinsi ditetapkan dengan keputusan KPU provinsi setelah KPU provinsi

berkoordinasi dengan Peserta Pemilu.


(4) Waktu, tanggal, dan tempat pelaksanaan kampanye Pemilu anggota DPRD

kabupaten/kota ditetapkan dengan keputusan KPU kabupaten/kota setelah

KPU kabupaten/kota berkoordinasi dengan Peserta Pemilu.



Bagian Keempat

Larangan dalam Kampanye


Pasal 84


(1) Pelaksana, peserta, dan petugas kampanye dilarang:

a. mempersoalkan dasar negara Pancasila, Pembukaan Undang-Undang

Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dan bentuk Negara

Kesatuan Republik Indonesia;

b. melakukan kegiatan yang membahayakan keutuhan Negara Kesatuan

Republik Indonesia;

c. menghina seseorang, agama, suku, ras, golongan, calon dan/atau

Peserta Pemilu yang lain;

d. menghasut dan mengadu domba perseorangan ataupun masyarakat;

e. mengganggu ketertiban umum;

f. mengancam untuk melakukan kekerasan atau menganjurkan

penggunaan kekerasan kepada seseorang, sekelompok anggota

masyarakat, dan/atau Peserta Pemilu yang lain;

g. merusak dan/atau menghilangkan alat peraga kampanye Peserta Pemilu;

h. menggunakan fasilitas pemerintah, tempat ibadah, dan tempat

pendidikan;

i. membawa atau menggunakan tanda gambar dan/atau atribut lain selain

dari tanda gambar dan/atau atribut Peserta Pemilu yang bersangkutan;

dan

j. menjanjikan atau memberikan uang atau materi lainnya kepada peserta

kampanye.


(2) Pelaksana kampanye dalam kegiatan kampanye dilarang mengikutsertakan:

a. Ketua, Wakil Ketua, ketua muda, hakim agung pada Mahkamah Agung,

dan hakim pada semua badan peradilan di bawahnya, dan hakim

konstitusi pada Mahkamah Konstitusi;

b. Ketua, Wakil Ketua, dan anggota Badan Pemeriksa Keuangan;

c. Gubernur, Deputi Gubernur Senior, dan Deputi Gubernur Bank Indonesia;

d. pejabat BUMN/BUMD;

e. pegawai negeri sipil;

f. anggota Tentara Nasional Indonesia dan Kepolisian Negara Republik

Indonesia;

g. kepala desa;

h. perangkat desa;

i. anggota badan permusyaratan desa; dan

j. Warga Negara Indonesia yang tidak memiliki hak memilih.


(3) Setiap orang sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a sampai dengan

huruf i dilarang ikut serta sebagai pelaksana kampanye.


(4) Sebagai peserta kampanye, pegawai negeri sipil dilarang menggunakan

atribut partai atau atribut pegawai negeri sipil.


(5) Sebagai peserta kampanye, pegawai negeri sipil dilarang mengerahkan

pegawai negeri sipil di lingkungan kerjanya dan dilarang menggunakan

fasilitas negara.


(6) Pelanggaran terhadap larangan ketentuan pada ayat (1) huruf c, huruf f,

huruf g, huruf i, dan huruf j, ayat (2), dan ayat (5) merupakan tindak pidana

Pemilu.


Pasal 85


(1) Kampanye Pemilu yang mengikutsertakan Presiden, Wakil Presiden,

menteri, gubernur, wakil gubernur, bupati, wakil bupati, walikota, dan wakil

walikota harus memenuhi ketentuan:

a. tidak menggunakan fasilitas yang terkait dengan jabatannya, kecuali

fasilitas pengamanan bagi pejabat negara sebagaimana diatur dalam

peraturan perundang-undangan; dan

b. menjalani cuti di luar tanggungan negara.


(2) Cuti dan jadwal cuti sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b

dilaksanakan dengan memperhatikan keberlangsungan tugas

penyelenggaraan negara dan penyelenggaraan pemerintahan daerah.


(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai keikutsertaan pejabat negara sebagaimana

dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan peraturan KPU.


Bagian Kelima

Sanksi atas Pelanggaran Larangan Kampanye


Pasal 86


(1) Dalam hal terdapat bukti permulaan yang cukup atas adanya pelanggaran

larangan kampanye oleh pelaksana dan peserta kampanye, maka KPU, KPU

provinsi, dan KPU kabupaten/kota menjatuhkan denda kepada pelaksana

dan peserta kampanye sebagaimana dimaksud dalam Pasal 78 ayat (2) dan

ayat (3).


(2) Denda sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibayarkan ke kas negara.


Pasal 87


Dalam hal terbukti pelaksana kampanye menjanjikan atau memberikan uang atau materi lainnya sebagai imbalan kepada peserta kampanye secara langsung

ataupun tidak langsung agar:

a. tidak menggunakan hak pilihnya;

b. menggunakan hak pilihnya dengan memilih Peserta Pemilu dengan cara

tertentu sehingga surat suaranya tidak sah;

c. memilih Partai Politik Peserta Pemilu tertentu;

d. memilih calon anggota DPR, DPRD provinsi, DPRD kabupaten/kota tertentu;

atau

e. memilih calon anggota DPD tertentu,

dikenai sanksi sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini.


Pasal 88


Putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap terhadap

pelanggaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 87 yang dikenai kepada

pelaksana kampanye yang berstatus sebagai calon anggota DPR, DPRD provinsi,


DPRD kabupaten/kota, dan DPD digunakan sebagai dasar KPU, KPU provinsi,

dan KPU kabupaten/kota untuk mengambil tindakan berupa:

a. pembatalan nama calon anggota DPR, DPD, DPRD provinsi, dan DPRD

kabupaten/kota dari daftar calon tetap; atau

b. pembatalan penetapan calon anggota DPR, DPD, DPRD provinsi, dan DPRD

kabupaten/kota sebagai calon terpilih.


Bagian Keenam

Pemberitaan, Penyiaran, dan Iklan Kampanye

Paragraf 1

Umum


Pasal 89


(1) Pemberitaan, penyiaran, dan iklan kampanye dapat dilakukan melalui media

massa cetak dan lembaga penyiaran sesuai dengan peraturan perundangundangan.


(2) Pemberitaan, penyiaran, dan iklan kampanye sebagaimana dimaksud pada

ayat (1) dilaksanakan dalam rangka penyampaian pesan kampanye Pemilu

oleh Peserta Pemilu kepada masyarakat.


(3) Pesan kampanye sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat berupa

tulisan, suara, gambar, tulisan dan gambar, atau suara dan gambar, yang

bersifat naratif, grafis, karakter, interaktif atau tidak interaktif, serta yang

dapat diterima melalui perangkat penerima pesan.


(4) Media massa cetak dan lembaga penyiaran dalam memberitakan,

menyiarkan, dan mengiklankan kampanye sebagaimana dimaksud pada ayat

(1) harus mematuhi larangan dalam kampanye sebagaimana dimaksud

dalam Pasal 84.


(5) Media massa cetak dan lembaga penyiaran sebagaimana dimaksud pada

ayat (1) selama masa tenang dilarang menyiarkan berita, iklan, rekam jejak

Peserta Pemilu, atau bentuk lainnya yang mengarah kepada kepentingan

kampanye yang menguntungkan atau merugikan Peserta Pemilu.


Pasal 90


(1) Lembaga penyiaran publik Televisi Republik Indonesia (TVRI), lembaga

penyiaran publik Radio Republik Indonesia (RRI), lembaga penyiaran publik

lokal, lembaga penyiaran swasta, dan lembaga penyiaran berlangganan

memberikan alokasi waktu yang sama dan memperlakukan secara

berimbang Peserta Pemilu untuk menyampaikan materi kampanye.


(2) Lembaga penyiaran komunitas dapat menyiarkan proses Pemilu sebagai

bentuk layanan kepada masyarakat, tetapi tidak boleh dimanfaatkan untuk

kepentingan kampanye bagi Peserta Pemilu.


(3) Televisi Republik Indonesia dan Radio Republik Indonesia menetapkan

standar biaya dan persyaratan iklan kampanye yang sama kepada Peserta

Pemilu.


Paragraf 2

Pemberitaan Kampanye


Pasal 91


(1) Pemberitaan kampanye dilakukan oleh lembaga penyiaran dengan cara

siaran langsung atau siaran tunda dan oleh media massa cetak.


(2) Media massa cetak dan lembaga penyiaran yang menyediakan rubrik khusus

untuk pemberitaan kampanye harus berlaku adil dan berimbang kepada

seluruh Peserta Pemilu.


Paragraf 3

Penyiaran Kampanye


Pasal 92

(1) Penyiaran kampanye dilakukan oleh lembaga penyiaran dalam bentuk siaran

monolog, dialog yang melibatkan suara dan/atau gambar pemirsa atau suara

pendengar, debat Peserta Pemilu, serta jajak pendapat.


(2) Pemilihan narasumber, tema dan moderator, serta tata cara

penyelenggaraan siaran monolog, dialog, dan debat diatur oleh lembaga

penyiaran.


(3) Narasumber penyiaran monolog, dialog, dan debat harus mematuhi larangan

dalam kampanye sebagaimana dimaksud dalam Pasal 84.


(4) Siaran monolog, dialog, dan debat yang diselenggarakan oleh lembaga

penyiaran dapat melibatkan masyarakat melalui telepon, layanan pesan

singkat, surat elektronik (e-mail), dan/atau faksimile.


Paragraf 4

Iklan Kampanye


Pasal 93


(1) Iklan kampanye Pemilu dapat dilakukan oleh Peserta Pemilu pada media

massa cetak dan/atau lembaga penyiaran dalam bentuk iklan komersial

dan/atau iklan layanan masyarakat.


(2) Iklan kampanye Pemilu dilarang berisikan hal yang dapat mengganggu

kenyamanan pembaca, pendengar, dan/atau pemirsa.


(3) Media massa cetak dan lembaga penyiaran wajib memberikan kesempatan

yang sama kepada Peserta Pemilu dalam pemuatan dan penayangan iklan

kampanye.


(4) Pengaturan dan penjadwalan pemuatan dan penayangan iklan kampanye

Pemilu sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilaksanakan oleh media

massa cetak dan lembaga penyiaran.


Pasal 94


(1) Media massa cetak dan lembaga penyiaran dilarang menjual blocking

segment atau blocking time untuk kampanye Pemilu.


(2) Media massa cetak dan lembaga penyiaran dilarang menerima program

sponsor dalam format atau segmen apa pun yang dapat dikategorikan

sebagai iklan kampanye Pemilu.


(3) Media massa cetak, lembaga penyiaran, dan Peserta Pemilu dilarang

menjual spot iklan yang tidak dimanfaatkan oleh salah satu Peserta Pemilu

kepada Peserta Pemilu yang lain.

Pasal 95


(1) Batas maksimum pemasangan iklan kampanye Pemilu di televisi untuk

setiap Peserta Pemilu secara kumulatif sebanyak 10 (sepuluh) spot

berdurasi paling lama 30 (tiga puluh) detik untuk setiap stasiun televisi setiap

hari selama masa kampanye.


(2) Batas maksimum pemasangan iklan kampanye Pemilu di radio untuk setiap

Peserta Pemilu secara kumulatif sebanyak 10 (sepuluh) spot berdurasi

paling lama 60 (enam puluh) detik untuk setiap stasiun radio setiap hari

selama masa kampanye.


(3) Batas maksimum pemasangan iklan kampanye Pemilu sebagaimana

dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) adalah untuk semua jenis iklan.


(4) Pengaturan dan penjadwalan pemasangan iklan kampanye Pemilu

sebagaimana dimaksud pada ayat (3) untuk setiap Peserta Pemilu diatur

sepenuhnya oleh lembaga penyiaran dengan kewajiban memberikan

kesempatan yang sama kepada setiap Peserta Pemilu sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 93 ayat (3).


Pasal 96


(1) Media massa cetak dan lembaga penyiaran melakukan iklan kampanye

Pemilu dalam bentuk iklan kampanye Pemilu komersial atau iklan kampanye

Pemilu layanan masyarakat dengan mematuhi kode etik periklanan dan

ketentuan peraturan perundang-undangan.


(2) Media massa cetak dan lembaga penyiaran wajib menentukan standar tarif

iklan kampanye Pemilu komersial yang berlaku sama untuk setiap Peserta

Pemilu.


(3) Tarif iklan kampanye Pemilu layanan masyarakat harus lebih rendah

daripada tarif iklan kampanye Pemilu komersial.


(4) Media massa cetak dan lembaga penyiaran wajib menyiarkan iklan

kampanye Pemilu layanan masyarakat non-partisan paling sedikit satu kali

dalam sehari dengan durasi 60 detik.


(5) Iklan kampanye Pemilu layanan masyarakat sebagaimana dimaksud pada

ayat (4) dapat diproduksi sendiri oleh media massa cetak dan lembaga

penyiaran atau dibuat oleh pihak lain.


(6) Penetapan dan penyiaran iklan kampanye Pemilu layanan masyarakat yang

diproduksi oleh pihak lain sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dilakukan

oleh media massa cetak dan lembaga penyiaran.


(7) Jumlah waktu tayang iklan kampanye Pemilu layanan masyarakat

sebagaimana dimaksud pada ayat (4) tidak termasuk jumlah kumulatif

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 95 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3).


Pasal 97


Media massa cetak menyediakan halaman dan waktu yang adil dan seimbang

untuk pemuatan berita dan wawancara serta untuk pemasangan iklan kampanye

bagi Peserta Pemilu.


Pasal 98


(1) Komisi Penyiaran Indonesia atau Dewan Pers melakukan pengawasan atas

pemberitaan, penyiaran dan iklan kampanye Pemilu yang dilakukan oleh

lembaga penyiaran atau oleh media massa cetak.


(2) Dalam hal terdapat bukti pelanggaran atas ketentuan sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 93, Pasal 94, Pasal 95, Komisi Penyiaran Indonesia

atau Dewan Pers menjatuhkan sanksi sebagaimana diatur dalam Undang-

Undang ini.


(3) Penjatuhan sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diberitahukan

kepada KPU dan KPU provinsi.


(4) Dalam hal Komisi Penyiaran Indonesia atau Dewan Pers tidak menjatuhkan

sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dalam jangka waktu 7 (tujuh)

hari sejak ditemukan bukti pelanggaran kampanye, KPU, KPU provinsi, dan

KPU kabupaten/kota menjatuhkan sanksi kepada pelaksana kampanye.


Pasal 99

(1) Sanksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 98 ayat (2) dapat berupa:

a. teguran tertulis;

b. penghentian sementara mata acara yang bermasalah;

c. pengurangan durasi dan waktu pemberitaan, penyiaran, dan iklan

kampanye Pemilu;

d. denda;

e. pembekuan kegiatan pemberitaan, penyiaran, dan iklan kampanye

Pemilu untuk waktu tertentu; atau

f. pencabutan izin penyelenggaraan penyiaran atau pencabutan izin

penerbitan media massa cetak.


(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara dan pemberian sanksi

sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh Komisi Penyiaran

Indonesia atau Dewan Pers bersama KPU.


Pasal 100


Ketentuan lebih lanjut mengenai pemberitaan, penyiaran, iklan kampanye, dan

pemberian sanksi diatur dengan peraturan KPU.


Bagian Ketujuh

Pemasangan Alat Peraga Kampanye


Pasal 101


(1) KPU, KPU provinsi, KPU kabupaten/kota, PPK, PPS, dan PPLN

berkoordinasi dengan pemerintah, pemerintah provinsi, pemerintah

kabupaten/kota, kecamatan, desa/kelurahan, dan kantor perwakilan Republik

Indonesia untuk menetapkan lokasi pemasangan alat peraga untuk

keperluan kampanye Pemilu.


(2) Pemasangan alat peraga kampanye Pemilu oleh pelaksana kampanye

sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan dengan

mempertimbangkan etika, estetika, kebersihan, dan keindahan kota atau

kawasan setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan.


(3) Pemasangan alat peraga kampanye Pemilu pada tempat-tempat yang

menjadi milik perseorangan atau badan swasta harus dengan izin pemilik

tempat tersebut.


(4) Alat peraga kampanye Pemilu harus sudah dibersihkan oleh Peserta Pemilu

paling lambat 1 (satu) hari sebelum hari/tanggal pemungutan suara.


(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai pemasangan dan pembersihan alat peraga

kampanye diatur dalam peraturan KPU.


Bagian Kedelapan

Peranan Pemerintah, Tentara Nasional Indonesia, dan

Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam Kampanye


Pasal 102


(1) Pemerintah, pemerintah provinsi, dan pemerintah kabupaten/kota,

kecamatan, dan desa/kelurahan memberikan kesempatan yang sama

kepada pelaksana kampanye dalam penggunaan fasilitas umum untuk

penyampaian materi kampanye.


(2) Pemerintah, pemerintah provinsi, pemerintah kabupaten/kota, kecamatan,

desa/kelurahan, Tentara Nasional Indonesia dan Kepolisian Negara Republik

Indonesia dilarang melakukan tindakan yang menguntungkan atau

merugikan salah satu pelaksana kampanye.


Bagian Kesembilan

Pengawasan atas Pelaksanaan Kampanye Pemilu

Pasal 103


Bawaslu, Panwaslu provinsi, Panwaslu kabupaten/kota, Panwaslu kecamatan,

Pengawas Pemilu Lapangan, dan Pengawas Pemilu Luar Negeri melakukan

pengawasan atas pelaksanaan kampanye Pemilu.


Pasal 104


(1) Pengawas Pemilu Lapangan melakukan pengawasan atas pelaksanaan

kampanye di tingkat desa/kelurahan.


(2) Pengawas Pemilu Lapangan menerima laporan dugaan adanya pelanggaran

pelaksanaan kampanye di tingkat desa/kelurahan yang dilakukan oleh PPS,

pelaksana kampanye, peserta kampanye, dan petugas kampanye.


Pasal 105


(1) Dalam hal terdapat bukti permulaan yang cukup bahwa PPS dengan sengaja

melakukan atau lalai dalam pelaksanaan kampanye yang mengakibatkan

terganggunya tahapan penyelenggaraan Pemilu di tingkat desa/kelurahan,

Pengawas Pemilu Lapangan menyampaikan laporan kepada Panwaslu

kecamatan.


(2) Dalam hal terdapat bukti permulaan yang cukup bahwa pelaksana

kampanye, peserta kampanye, atau petugas kampanye dengan sengaja

melakukan atau lalai dalam pelaksanaan kampanye yang mengakibatkan

terganggunya tahapan penyelenggaraan Pemilu di tingkat desa/kelurahan,

Pengawas Pemilu Lapangan menyampaikan laporan kepada PPS.



Pasal 106


(1) PPS wajib menindaklanjuti temuan dan laporan tentang dugaan kesengajaan

atau kelalaian dalam pelaksanaan kampanye di tingkat desa/kelurahan

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 105 ayat (2) dengan melakukan:

a. penghentian pelaksanaan kampanye Peserta Pemilu yang bersangkutan

yang terjadwal pada hari itu;

b. pelaporan kepada PPK dalam hal ditemukan bukti permulaan yang cukup

tentang adanya tindak pidana Pemilu terkait dengan pelaksanaan

kampanye;

c. pelarangan kepada pelaksana kampanye untuk melaksanakan kampanye

berikutnya; dan

d. pelarangan kepada peserta kampanye untuk mengikuti kampanye

berikutnya.


(2) PPK menindaklanjuti laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b

dengan melakukan tindakan hukum sebagaimana diatur dalam Undang-

Undang ini.


Pasal 107


Dalam hal ditemukan dugaan bahwa pelaksana kampanye, peserta kampanye,

dan petugas kampanye dengan sengaja atau lalai yang mengakibatkan

terganggunya tahapan penyelenggaraan Pemilu di tingkat desa/kelurahan dikenai tindakan hukum sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini.


Pasal 108


(1) Panwaslu kecamatan wajib menindaklanjuti laporan sebagaimana dimaksud

dalam Pasal 105 ayat (1) dengan melaporkan kepada PPK.


(2) PPK wajib menindaklanjuti laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

dengan meneruskan kepada KPU kabupaten/kota.


(3) KPU kabupaten/kota wajib menindaklanjuti laporan sebagaimana dimaksud

pada ayat (2) dengan memberikan sanksi administratif kepada PPS.


Pasal 109


(1) Panwaslu kecamatan melakukan pengawasan atas pelaksanaan kampanye

di tingkat kecamatan.


(2) Panwaslu kecamatan menerima laporan dugaan pelanggaran pelaksanaan

kampanye di tingkat kecamatan yang dilakukan oleh PPK, pelaksana

kampanye, peserta kampanye, dan petugas kampanye.


Pasal 110


(1) Dalam hal terdapat bukti permulaan yang cukup bahwa PPK melakukan

kesengajaan atau kelalaian dalam pelaksanaan kampanye yang

mengakibatkan terganggunya tahapan penyelenggaraan Pemilu di tingkat

kecamatan, Panwaslu kecamatan menyampaikan laporan kepada Panwaslu

kabupaten/kota.


(2) Dalam hal terdapat bukti permulaan yang cukup bahwa pelaksana

kampanye, peserta kampanye atau petugas kampanye melakukan

kesengajaan atau kelalaian dalam pelaksanaan kampanye yang

mengakibatkan terganggunya tahapan penyelenggaraan Pemilu di tingkat

kecamatan, Panwaslu kecamatan menyampaikan laporan kepada Panwaslu

kabupaten/kota dan menyampaikan temuan kepada PPK.


Pasal 111


(1) PPK wajib menindaklanjuti temuan dan laporan tentang dugaan kesengajaan

atau kelalaian dalam pelaksanaan kampanye di tingkat kecamatan

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 110 ayat (2) dengan melakukan:

a. penghentian pelaksanaan kampanye Peserta Pemilu yang bersangkutan

yang terjadwal pada hari itu;

b. pelaporan kepada KPU kabupaten/kota dalam hal ditemukan bukti

permulaan yang cukup adanya tindak pidana Pemilu terkait dengan

pelaksanaan kampanye;

c. pelarangan kepada pelaksana kampanye untuk melaksanakan kampanye

berikutnya; dan/atau

d. pelarangan kepada peserta kampanye untuk mengikuti kampanye

berikutnya.


(2) KPU kabupaten/kota wajib menindaklanjuti laporan sebagaimana dimaksud

pada ayat (1) huruf b dengan melakukan tindakan hukum sebagaimana

diatur dalam Undang-Undang ini.


Pasal 112


(1) Panwaslu kabupaten/kota wajib menindaklanjuti laporan sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 110 ayat (1) dengan melaporkan kepada KPU

kabupaten/kota.


(2) KPU kabupaten/kota wajib menindaklanjuti laporan sebagaimana dimaksud

pada ayat (1) dengan memberikan sanksi administratif kepada PPK.


Pasal 113


(1) Panwaslu kabupaten/kota melakukan pengawasan pelaksanaan kampanye

di tingkat kabupaten/kota, terhadap:

a. kemungkinan adanya kesengajaan atau kelalaian anggota KPU

kabupaten/kota, sekretaris dan pegawai sekretariat KPU kabupaten/kota

melakukan tindak pidana Pemilu atau pelanggaran administratif yang

mengakibatkan terganggunya kampanye yang sedang berlangsung; atau

b. kemungkinan adanya kesengajaan atau kelalaian pelaksana kampanye,

peserta kampanye dan petugas kampanye melakukan tindak pidana

Pemilu atau pelanggaran administratif yang mengakibatkan terganggunya

kampanye yang sedang berlangsung.

(2) Dalam melakukan pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1),

Panwaslu kabupaten/kota:

a. menerima laporan dugaan pelanggaran terhadap ketentuan pelaksanaan

kampanye Pemilu;

b. menyelesaikan temuan dan laporan pelanggaran kampanye Pemilu yang

tidak mengandung unsur pidana;

c. menyampaikan temuan dan laporan kepada KPU kabupaten/kota tentang

pelanggaran kampanye Pemilu untuk ditindaklanjuti;

d. meneruskan temuan dan laporan tentang pelanggaran tindak pidana

Pemilu kepada Kepolisian Negara Republik Indonesia;

e. menyampaikan laporan dugaan adanya tindakan yang mengakibatkan

terganggunya tahapan penyelenggaraan Pemilu oleh anggota KPU

kabupaten/kota, sekretaris dan pegawai sekretariat KPU kabupaten/kota

kepada Bawaslu; dan/atau

f. mengawasi pelaksanaan rekomendasi Bawaslu tentang pengenaan

sanksi kepada anggota KPU kabupaten/kota, sekretaris dan pegawai

sekretariat KPU kabupaten/kota yang terbukti melakukan tindakan yang

mengakibatkan terganggunya kampanye yang sedang berlangsung.


Pasal 114


(1) Panwaslu kabupaten/kota menyelesaikan laporan dugaan pelanggaran

administratif terhadap ketentuan pelaksanaan kampanye Pemilu

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 113 ayat (2) huruf a, pada hari yang

sama dengan diterimanya laporan.


(2) Dalam hal terdapat bukti permulaan yang cukup adanya pelanggaran

administratif oleh pelaksana dan peserta kampanye di tingkat

kabupaten/kota, Panwaslu kabupaten/kota menyampaikan temuan dan

laporan tersebut kepada KPU kabupaten/kota.


(3) KPU kabupaten/kota menetapkan penyelesaian laporan dan temuan yang

mengandung bukti permulaan yang cukup adanya pelanggaran administratif

oleh pelaksana dan peserta kampanye pada hari diterimanya laporan.


(4) Dalam hal Panwaslu kabupaten/kota menerima laporan dugaan pelanggaran

administratif terhadap ketentuan pelaksanaan kampanye Pemilu oleh

anggota KPU kabupaten/kota, sekretaris dan pegawai sekretariat KPU

kabupaten/kota, Panwaslu kabupaten/kota meneruskan laporan tersebut

kepada Bawaslu.


Pasal 115


(1) KPU bersama Bawaslu dapat menetapkan sanksi tambahan terhadap

pelanggaran administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 114 ayat (3)

selain yang diatur dalam Undang-Undang ini.


(2) Sanksi terhadap pelanggaran administratif sebagaimana dimaksud dalam

Pasal 114 ayat (4) selain yang diatur dalam Undang-Undang ini, ditetapkan

dalam kode etik yang disusun secara bersama oleh KPU dan Bawaslu

sesuai dengan peraturan perundang-undangan.


Pasal 116


Dalam hal Panwaslu kabupaten/kota menerima laporan dugaan adanya tindak

pidana dalam pelaksanaan kampanye Pemilu oleh anggota KPU kabupaten/kota,

sekretaris dan pegawai sekretariat KPU kabupaten/kota, pelaksana dan peserta

kampanye sebagaimana dimaksud dalam Pasal 113, Panwaslu kabupaten/kota

melakukan:

a. pelaporan tentang dugaan adanya tindak pidana Pemilu dimaksud kepada

Kepolisian Negara Republik Indonesia; atau

b. pelaporan kepada Bawaslu sebagai dasar untuk mengeluarkan rekomendasi

Bawaslu tentang sanksi.



Pasal 117


Panwaslu kabupaten/kota melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan tindak

lanjut rekomendasi Bawaslu tentang pengenaan sanksi sebagaimana dimaksud

dalam Pasal 116.


Pasal 118


(1) Panwaslu provinsi melakukan pengawasan pelaksanaan kampanye di tingkat

provinsi, terhadap:

a. kemungkinan adanya kesengajaan atau kelalaian anggota KPU provinsi,

sekretaris dan pegawai sekretariat KPU provinsi melakukan tindak pidana

Pemilu atau pelanggaran administratif yang mengakibatkan terganggunya

kampanye yang sedang berlangsung; atau

b. kemungkinan adanya kesengajaan atau kelalaian pelaksana kampanye,

peserta kampanye dan petugas kampanye melakukan tindak pidana

Pemilu atau pelanggaran administratif yang mengakibatkan terganggunya

kampanye yang sedang berlangsung.


(2) Dalam melakukan pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1),

Panwaslu provinsi:

a. menerima laporan dugaan pelanggaran terhadap ketentuan pelaksanaan

kampanye Pemilu;

b. menyelesaikan temuan dan laporan pelanggaran kampanye Pemilu yang

tidak mengandung unsur pidana;

c. menyampaikan temuan dan laporan kepada KPU provinsi tentang

pelanggaran kampanye Pemilu untuk ditindaklanjuti;

d. meneruskan temuan dan laporan tentang pelanggaran tindak pidana

Pemilu kepada Kepolisian Negara Republik Indonesia;

e. menyampaikan laporan kepada Bawaslu sebagai dasar untuk

mengeluarkan rekomendasi Bawaslu yang berkaitan dengan dugaan

adanya tindak pidana Pemilu atau pelanggaran administratif yang

mengakibatkan terganggunya tahapan penyelenggaraan kampanye

Pemilu oleh anggota KPU provinsi, sekretaris dan pegawai sekretariat

KPU provinsi; dan/atau

f. mengawasi pelaksanaan tindak lanjut rekomendasi Bawaslu tentang

pengenaan sanksi kepada anggota KPU provinsi, sekretaris dan pegawai

sekretariat KPU provinsi yang terbukti melakukan tindak pidana Pemilu

atau administratif yang mengakibatkan terganggunya kampanye yang

sedang berlangsung.


Pasal 119


(1) Panwaslu provinsi menyelesaikan laporan dugaan pelanggaran administratif

terhadap ketentuan pelaksanaan kampanye Pemilu sebagaimana dimaksud

dalam Pasal 118 ayat (2) huruf a pada hari yang sama dengan diterimanya

laporan.


(2) Dalam hal terdapat bukti permulaan yang cukup adanya pelanggaran

administratif oleh pelaksana dan peserta kampanye di tingkat provinsi,

Panwaslu provinsi menyampaikan temuan dan laporan tersebut kepada KPU

provinsi.


(3) KPU provinsi menetapkan penyelesaian laporan dan temuan yang

mengandung bukti permulaan yang cukup adanya pelanggaran administratif

oleh pelaksana dan peserta kampanye pada hari diterimanya laporan.


(4) Dalam hal Panwaslu provinsi menerima laporan dugaan pelanggaran

administratif terhadap ketentuan pelaksanaan kampanye Pemilu oleh

anggota KPU provinsi, sekretaris dan pegawai sekretariat KPU provinsi,

Panwaslu provinsi meneruskan laporan tersebut kepada Bawaslu.


Pasal 121


Dalam hal Panwaslu provinsi menerima laporan dugaan adanya tindak pidana

dalam pelaksanaan kampanye Pemilu oleh anggota KPU provinsi, sekretaris dan

pegawai sekretariat KPU provinsi, pelaksana dan peserta kampanye sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 119, Panwaslu provinsi melakukan:

a. pelaporan tentang dugaan adanya tindak pidana Pemilu dimaksud kepada

Kepolisian Negara Republik Indonesia; atau

b. pelaporan kepada Bawaslu sebagai dasar untuk mengeluarkan rekomendasi

Bawaslu tentang sanksi.


Panwaslu provinsi melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan tindak lanjut

rekomendasi Bawaslu tentang pengenaan sanksi sebagaimana dimaksud dalam

Pasal 120.


Pasal 123

(1) Bawaslu melakukan pengawasan pelaksanaan tahapan kampanye secara

nasional, terhadap:

a. kemungkinan adanya kesengajaan atau kelalaian anggota KPU, KPU

provinsi, KPU kabupaten/kota, Sekretaris Jenderal KPU, pegawai

Seretariat Jenderal KPU, sekretaris KPU provinsi, pegawai sekretariat

KPU provinsi, sekretaris KPU kabupaten/kota, dan pegawai sekretariat

KPU kabupaten/kota melakukan tindak pidana Pemilu atau pelanggaran

administratif yang mengakibatkan terganggunya tahapan kampanye yang

sedang berlangsung; atau

b. kemungkinan adanya kesengajaan atau kelalaian pelaksana kampanye,

peserta kampanye, dan petugas kampanye melakukan tindak pidana

Pemilu atau pelanggaran administratif yang mengakibatkan terganggunya

tahapan kampanye yang sedang berlangsung.


(2) Dalam melakukan pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1),

Bawaslu:

a. menerima laporan dugaan adanya pelanggaran terhadap ketentuan

pelaksanaan kampanye Pemilu;

b. menyelesaikan temuan dan laporan adanya pelanggaran kampanye

Pemilu yang tidak mengandung unsur pidana;

c. menyampaikan temuan dan laporan kepada KPU tentang adanya

pelanggaran kampanye Pemilu untuk ditindaklanjuti;

d. meneruskan temuan dan laporan tentang dugaan adanya tindak pidana

Pemilu kepada Kepolisian Negara Republik Indonesia;

e. memberikan rekomendasi kepada KPU tentang dugaan adanya tindakan

yang mengakibatkan terganggunya tahapan penyelenggaraan kampanye

Pemilu oleh anggota KPU, KPU provinsi, KPU kabupaten/kota, Sekretaris

Jenderal KPU, pegawai Seretariat Jenderal KPU, sekretaris KPU

provinsi, pegawai sekretariat KPU provinsi, sekretaris KPU

kabupaten/kota, dan pegawai sekretariat KPU kabupaten/kota

berdasarkan laporan Panwaslu provinsi dan Panwaslu kabupaten/kota;

dan/atau

f. mengawasi pelaksanaan tindak lanjut rekomendasi pengenaan sanksi

kepada anggota KPU, KPU provinsi, KPU kabupaten/kota, Sekretaris

Jenderal KPU, pegawai Seretariat Jenderal KPU, sekretaris KPU provinsi,

pegawai sekretariat KPU provinsi, sekretaris KPU kabupaten/kota, dan

pegawai sekretariat KPU kabupaten/kota yang terbukti melakukan

tindakan yang mengakibatkan terganggunya pelaksanaan kampanye

Pemilu yang sedang berlangsung.



Pasal 124


(1) Dalam hal Bawaslu menerima laporan dugaan adanya pelanggaran

administratif terhadap ketentuan pelaksanaan kampanye Pemilu

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 123 ayat (2) huruf a, Bawaslu

menetapkan penyelesaian pada hari yang sama diterimanya laporan.


2) Dalam hal terdapat bukti permulaan yang cukup tentang dugaan adanya

pelanggaran administratif oleh pelaksana dan peserta kampanye di tingkat

pusat, Bawaslu menyampaikan temuan dan laporan kepada KPU.


(3) Dalam hal KPU menerima laporan dan temuan yang mengandung bukti

permulaan yang cukup tentang dugaan adanya pelanggaran administratif

oleh pelaksana dan peserta kampanye sebagaimana dimaksud pada ayat

(2), KPU langsung menetapkan penyelesaian pada hari yang sama dengan

hari diterimanya laporan.


(4) Dalam hal Bawaslu menerima laporan dugaan pelanggaran administratif

terhadap ketentuan pelaksanaan kampanye Pemilu oleh anggota KPU, KPU

provinsi, KPU kabupaten/kota, Sekretaris Jenderal KPU, pegawai Sekretariat

Jenderal KPU, sekretaris KPU provinsi, pegawai sekretariat KPU provinsi,

sekretaris KPU kabupaten/kota, dan pegawai sekretariat KPU

kabupaten/kota, maka Bawaslu memberikan rekomendasi kepada KPU

untuk memberikan sanksi.




Pasal 125


(1) Sanksi terhadap pelanggaran administratif sebagaimana dimaksud dalam

Pasal 124 ayat (3) selain yang diatur dalam Undang-Undang ini ditetapkan

oleh KPU bersama Bawaslu.


(2) Sanksi terhadap pelanggaran administratif sebagaimana dimaksud dalam

Pasal 124 ayat (4) selain yang diatur dalam Undang-Undang ini ditetapkan

dalam kode etik yang disusun secara bersama oleh KPU dan Bawaslu

sesuai dengan peraturan perundang-undangan.


Pasal 126


Dalam hal Bawaslu menerima laporan dugaan adanya tindak pidana Pemilu yang

dilakukan oleh anggota KPU, KPU provinsi, KPU kabupaten/kota, Sekretaris

Jenderal KPU, pegawai Sekretariat Jenderal KPU, sekretaris KPU provinsi,

pegawai sekretariat KPU provinsi, sekretaris KPU kabupaten/kota, dan pegawai

sekretariat KPU kabupaten/kota, pelaksana dan peserta kampanye sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 123 ayat (1), dalam pelaksanaan kampanye Pemilu

Bawaslu melakukan:

a. pelaporan tentang dugaan adanya tindak pidana Pemilu dimaksud kepada

Kepolisian Negara Republik Indonesia; atau

b. pemberian rekomendasi kepada KPU untuk menetapkan sanksi.


Pasal 127

Bawaslu melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan tindak lanjut rekomendasi Bawaslu tentang pengenaan sanksi penonaktifan sementara dan/atau sanksi administratif kepada anggota KPU, KPU provinsi, KPU kabupaten/kota, Sekretaris Jenderal, pegawai Sekretariat Jenderal KPU, sekretaris KPU provinsi, pegawai sekretariat KPU provinsi, sekretaris KPU kabupaten/kota, dan pegawai secretariat KPU kabupaten/kota yang terbukti melakukan tindak pidana Pemilu atau pelanggaran administratif yang mengakibatkan terganggunya pelaksanaan kampanye yang sedang berlangsung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 126.


Pasal 128



Pengawasan oleh Bawaslu, Panwaslu provinsi, dan Panwaslu kabupaten/kota

serta tindak lanjut KPU, KPU provinsi, dan KPU kabupaten/kota terhadap temuan atau laporan yang diterima tidak memengaruhi jadwal pelaksanaan kampanye sebagaimana yang telah ditetapkan.


Bagian Kesepuluh

Dana Kampanye Pemilu


Pasal 129


(1) Kegiatan kampanye Pemilu anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD

kabupaten/kota didanai dan menjadi tanggung jawab Partai Politik Peserta

Pemilu masing-masing.


(2) Dana kampanye Pemilu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bersumber

dari:

a. partai politik;

b. calon anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota dari

partai politik yang bersangkutan; dan

c. sumbangan yang sah menurut hukum dari pihak lain.


(3) Dana kampanye Pemilu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat berupa

uang, barang, dan/atau jasa.


(4) Dana kampanye Pemilu berupa uang sebagaimana dimaksud pada ayat (3)

ditempatkan pada rekening khusus dana kampanye Partai Politik Peserta

Pemilu pada bank.


(5) Dana kampanye Pemilu berupa sumbangan dalam bentuk barang dan/atau

jasa sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dicatat berdasarkan harga pasar

yang wajar pada saat sumbangan itu diterima.


(6) Dana kampanye Pemilu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dicatat dalam

pembukuan penerimaan dan pengeluaran khusus dana kampanye Pemilu

yang terpisah dari pembukuan keuangan partai politik.


(7) Pembukuan dana kampanye Pemilu sebagaimana dimaksud pada ayat (6)

dimulai sejak 3 (tiga) hari setelah partai politik ditetapkan sebagai Peserta

Pemilu dan ditutup 1 (satu) minggu sebelum penyampaian laporan

penerimaan dan pengeluaran dana kampanye kepada kantor akuntan publik

yang ditunjuk KPU.

Pasal 130


Dana kampanye Pemilu yang bersumber dari sumbangan pihak lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 129 ayat (2) huruf c bersifat tidak mengikat dan dapat berasal dari perseorangan, kelompok, perusahaan, dan/atau badan usaha nonpemerintah.


Pasal 131


(1) Dana kampanye Pemilu yang berasal dari sumbangan pihak lain

perseorangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 129 ayat (2) huruf c tidak

boleh melebihi Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).


(2) Dana kampanye Pemilu yang berasal dari sumbangan pihak lain kelompok,

perusahan, dan/atau badan usaha nonpemerintah sebagaimana dimaksud

dalam Pasal 129 ayat (2) huruf c tidak boleh melebihi Rp5.000.000.000,00

(lima miliar rupiah).


(3) Pemberi sumbangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2)

harus mencantumkan identitas yang jelas.


Pasal 132


(1) Kegiatan kampanye Pemilu anggota DPD didanai dan menjadi tanggung

jawab calon anggota DPD masing-masing.


(2) Dana kampanye Pemilu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bersumber

dari:

a. calon anggota DPD yang bersangkutan; dan

b. sumbangan yang sah menurut hukum dari pihak lain.


(3) Dana kampanye sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat berupa uang,

barang dan/atau jasa.


(4) Dana kampanye Pemilu berupa uang sebagaimana dimaksud pada ayat (3)

ditempatkan pada rekening khusus dana kampanye Pemilu calon anggota

DPD yang bersangkutan pada bank.


(5) Dana kampanye Pemilu berupa sumbangan dalam bentuk barang dan/atau

jasa sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dicatat berdasarkan harga pasar

yang wajar pada saat sumbangan itu diterima.


(6) Dana kampanye Pemilu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dicatat dalam

pembukuan penerimaan dan pengeluaran khusus dana kampanye Pemilu

yang terpisah dari pembukuan keuangan pribadi calon anggota DPD yang

bersangkutan.


(7) Pembukuan dana kampanye Pemilu sebagaimana dimaksud pada ayat (6)

dimulai sejak 3 (tiga) hari setelah calon anggota DPD ditetapkan sebagai

Peserta Pemilu dan ditutup 1 (satu) minggu sebelum penyampaian laporan

penerimaan dan pengeluaran dana kampanye Pemilu kepada kantor akuntan

publik yang ditunjuk KPU.


Pasal 133


(1) Dana kampanye Pemilu calon anggota DPD yang berasal dari sumbangan

pihak lain perseorangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 132 ayat (2)

huruf b tidak boleh melebihi Rp250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta

rupiah).


(2) Dana kampanye Pemilu calon anggota DPD yang berasal dari sumbangan

pihak lain kelompok, perusahan dan/atau badan usaha nonpemerintah

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 132 ayat (2) huruf b tidak boleh

melebihi Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).


(3) Pemberi sumbangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2)

harus mencantumkan identitas yang jelas.


Pasal 134


(1) Partai Politik Peserta Pemilu sesuai dengan tingkatannya memberikan

laporan awal dana kampanye Pemilu dan rekening khusus dana kampanye

kepada KPU, KPU provinsi, dan KPU kabupaten/kota paling lambat 7 (tujuh)

hari sebelum hari pertama jadwal pelaksanaan kampanye dalam bentuk

rapat umum.


(2) Calon anggota DPD Peserta Pemilu memberikan laporan awal dana

kampanye Pemilu dan rekening khusus dana kampanye kepada KPU melalui

KPU provinsi paling lambat 7 (tujuh) hari sebelum hari pertama jadwal

pelaksanaan kampanye dalam bentuk rapat umum.


Pasal 135


(1) Laporan dana kampanye Partai Politik Peserta Pemilu yang meliputi

penerimaan dan pengeluaran disampaikan kepada kantor akuntan publik

yang ditunjuk oleh KPU paling lama 15 (lima belas) hari sesudah hari/tanggal

pemungutan suara.


(2) Laporan dana kampanye calon anggota DPD yang meliputi penerimaan dan

pengeluaran disampaikan kepada kantor akuntan publik yang ditunjuk oleh

KPU paling lama 15 (lima belas) hari sesudah hari/tanggal pemungutan

suara.


(3) Kantor akuntan publik menyampaikan hasil audit kepada KPU, KPU provinsi,

dan KPU kabupaten/kota paling lama 30 (tiga puluh) hari sejak diterimanya

laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2).


(4) KPU, KPU provinsi, dan KPU kabupaten/kota memberitahukan hasil audit

dana kampanye Peserta Pemilu masing-masing kepada Peserta Pemilu

paling lama 7 (tujuh) hari setelah KPU, KPU provinsi, dan KPU

kabupaten/kota menerima hasil audit dari kantor akuntan publik.


(5) KPU, KPU provinsi, dan KPU kabupaten/kota mengumumkan hasil

pemeriksaan dana kampanye kepada publik paling lambat 10 (sepuluh) hari

setelah diterimanya laporan hasil pemeriksaan.


Pasal 136

(1) KPU menetapkan kantor akuntan publik sebagaimana dimaksud dalam Pasal

135 ayat (1) dan ayat (2) yang memenuhi persyaratan di setiap provinsi.


(2) Kantor akuntan publik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit

memenuhi persyaratan sebagai berikut:

a. membuat pernyataan tertulis di atas kertas bermeterai cukup bahwa

rekan yang bertanggung jawab atas pemeriksaan laporan dana

kampanye tidak berafiliasi secara langsung ataupun tidak langsung

dengan partai politik dan calon anggota DPD Peserta Pemilu;

b. membuat pernyataan tertulis di atas kertas bermeterai cukup bahwa

rekan yang bertanggung jawab atas pemeriksaan laporan dana

kampanye bukan merupakan anggota atau pengurus partai politik.


(3) Biaya jasa akuntan publik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibebankan

pada anggaran pendapatan dan belanja negara.


Pasal 137


(1) Dalam hal kantor akuntan publik yang ditunjuk oleh KPU sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 135 ayat (1) dalam proses pelaksanaan audit

diketahui tidak memberikan informasi yang benar mengenai persyaratan

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 136 ayat (2), KPU membatalkan

penunjukan kantor akuntan publik yang bersangkutan.


(2) Kantor akuntan publik yang dibatalkan pekerjaannya sebagaimana dimaksud

pada ayat (1) tidak berhak mendapatkan pembayaran jasa sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 136 ayat (3).


(3) KPU menunjuk kantor akuntan publik pengganti untuk melanjutkan

pelaksanaan audit atas laporan dana kampanye partai yang bersangkutan.




Pasal 138

(1) Dalam hal pengurus partai politik Peserta Pemilu tingkat pusat, tingkat

provinsi, dan tingkat kabupaten/kota tidak menyampaikan laporan awal dana

kampanye kepada KPU, KPU provinsi, dan KPU kabupaten/kota sampai

batas waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 134 ayat (1), partai politik

yang bersangkutan dikenai sanksi berupa pembatalan sebagai Peserta

Pemilu pada wilayah yang bersangkutan.


(2) Dalam hal calon anggota DPD Peserta Pemilu tidak menyampaikan laporan

awal dana kampanye kepada KPU melalui KPU provinsi sampai batas waktu

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 134 ayat (2), calon anggota DPD yang

bersangkutan dikenai sanksi berupa pembatalan sebagai Peserta Pemilu.


(3) Dalam hal pengurus partai politik Peserta Pemilu tingkat pusat, tingkat

provinsi dan tingkat kabupaten/kota tidak menyampaikan laporan

penerimaan dan pengeluaran dana kampanye kepada kantor akuntan publik

yang ditunjuk oleh KPU sampai batas waktu sebagaimana dimaksud dalam

Pasal 135 ayat (1), partai politik yang bersangkutan dikenai sanksi berupa

tidak ditetapkannya calon anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD

kabupaten/kota menjadi calon terpilih.


(4) Dalam hal calon anggota DPD Peserta Pemilu tidak menyampaikan laporan

penerimaan dan pengeluaran dana kampanye kepada kantor akuntan publik

yang ditunjuk oleh KPU sampai batas waktu sebagaimana dimaksud dalam

Pasal 135 ayat (2), calon anggota DPD yang bersangkutan dikenai sanksi

berupa tidak ditetapkan menjadi calon terpilih.


Pasal 139


(1) Peserta Pemilu dilarang menerima sumbangan yang berasal dari:

a. pihak asing;

b. penyumbang yang tidak jelas identitasnya;

c. pemerintah, pemerintah daerah, badan usaha milik negara, dan badan

usaha milik daerah; atau

d. pemerintah desa dan badan usaha milik desa.


(2) Peserta Pemilu yang menerima sumbangan sebagaimana dimaksud pada

ayat (1) tidak dibenarkan menggunakan dana tersebut dan wajib

melaporkannya kepada KPU dan menyerahkan sumbangan tersebut kepada

kas negara paling lambat 14 (empat belas) hari setelah masa kampanye

berakhir.


(3) Peserta Pemilu yang tidak memenuhi sebagaimana dimaksud pada ayat (2)

dikenai sanksi sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini.


Pasal 140

\

Dalam hal terdapat bukti permulaan yang cukup bahwa pelaksana kampanye

Peserta Pemilu melanggar larangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 139,

KPU, KPU provinsi, dan KPU kabupaten/kota melakukan tindakan hukum

sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini.



BAB IX

PERLENGKAPAN PEMUNGUTAN SUARA


Pasal 141


(1) KPU bertanggung jawab dalam merencanakan dan menetapkan standar

serta kebutuhan pengadaan dan pendistribusian perlengkapan pemungutan

suara.


(2) Sekretaris Jenderal KPU, sekretaris KPU provinsi, dan sekretaris KPU

kabupaten/kota bertanggung jawab dalam pelaksanaan pengadaan dan

pendistribusian perlengkapan pemungutan suara sebagaimana dimaksud

pada ayat (1).


Pasal 142


(1) Jenis perlengkapan pemungutan suara terdiri atas:

a. kotak suara;

b. surat suara;

c. tinta;

d. bilik pemungutan suara;

e. segel;

f. alat untuk memberi tanda pilihan; dang. paku; dan

g. tempat pemungutan suara.


(2) Selain perlengkapan pemungutan suara sebagaimana dimaksud pada ayat

(1), untuk menjaga keamanan, kerahasiaan, dan kelancaran pelaksanaan

pemungutan suara dan penghitungan suara, diperlukan dukungan

perlengkapan lainnya.


(3) Bentuk, ukuran, dan spesifikasi teknis perlengkapan pemungutan suara

ditetapkan dengan peraturan KPU.


(4) Pengadaan perlengkapan pemungutan suara sebagaimana dimaksud pada

ayat (1) huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, dan huruf e dilaksanakan oleh

Sekretariat Jenderal KPU dengan berpedoman pada ketentuan peraturan

perundang-undangan.


(5) Pengadaan perlengkapan pemungutan suara sebagaimana dimaksud pada

ayat (1) huruf a, huruf d, huruf f, dan ayat (2), Sekretaris Jenderal KPU dapat

melimpahkan kewenangannya kepada sekretaris KPU provinsi.


(6) Pengadaan perlengkapan pemungutan suara sebagaimana dimaksud pada

ayat (1) huruf g dilaksanakan oleh KPPS bekerja sama dengan masyarakat.


(7) Perlengkapan pemungutan suara sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, dan huruf e harus sudah diterima KPPS

paling lambat 1 (satu) hari sebelum hari/tanggal pemungutan suara.


(8) Pendistribusian perlengkapan pemungutan suara dilakukan oleh Sekretariat

Jenderal KPU, sekretariat KPU provinsi, dan sekretariat KPU

kabupaten/kota.


(9) Dalam pendistribusian dan pengamanan perlengkapan pemungutan suara,

KPU dapat bekerja sama dengan pemerintah, pemerintah daerah, Tentara

Nasional Indonesia, dan Kepolisian Negara Republik Indonesia.


Pasal 143

(1) Surat suara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 142 ayat (1) huruf b untuk

calon anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota memuat

tanda gambar partai politik, nomor urut partai politik, nomor urut calon, dan

nama calon tetap partai politik untuk setiap daerah pemilihan.


(2) Surat suara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 142 ayat (1) huruf b untuk

calon anggota DPD berisi pas foto diri terbaru dan nama calon anggota DPD

untuk setiap daerah pemilihan.


(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai surat suara sebagaimana dimaksud pada

ayat (1) dan ayat (2) ditetapkan dalam peraturan KPU.


Pasal 144

(1) Jenis, bentuk, ukuran, warna, dan spesifikasi teknis lain surat suara

ditetapkan dalam peraturan KPU.


(2) Nomor urut tanda gambar partai politik dan calon anggota DPD sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 143 ditetapkan dengan keputusan KPU.


Pasal 145


(1) Pengadaan surat suara dilakukan di dalam negeri dengan mengutamakan

kapasitas cetak yang sesuai dengan kebutuhan surat suara dan hasil cetak

yang berkualitas baik.


(2) Jumlah surat suara yang dicetak sama dengan jumlah pemilih tetap

ditambah dengan 2% (dua perseratus) dari jumlah pemilih tetap sebagai

cadangan, yang ditetapkan dengan keputusan KPU.


(3) Selain menetapkan pencetakan surat suara sebagaimana diatur pada ayat

(2), KPU menetapkan besarnya jumlah surat suara untuk pelaksanaan

pemungutan suara ulang.


(4) Jumlah surat suara sebagaimana dimaksud pada ayat (3) ditetapkan oleh

KPU untuk setiap daerah pemilihan sebanyak 1.000 (seribu) surat suara

pemungutan suara ulang yang diberi tanda khusus, masing-masing surat

suara untuk anggota DPR, DPD, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota.


Pasal 146


(1) Perusahaan pencetak surat suara dilarang mencetak surat suara lebih dari

jumlah yang ditetapkan oleh KPU dan harus menjaga kerahasiaan,

keamanan, serta keutuhan surat suara.


(2) KPU meminta bantuan Kepolisian Negara Republik Indonesia untuk

mengamankan surat suara selama proses pencetakan berlangsung,

penyimpanan, dan pendistribusian ke tempat tujuan.


(3) KPU memverifikasi jumlah surat suara yang telah dicetak, jumlah yang sudah

dikirim dan/atau jumlah yang masih tersimpan dengan membuat berita acara

yang ditandatangani oleh pihak percetakan dan petugas KPU.


(4) KPU mengawasi dan mengamankan desain, film separasi, dan plat cetak

yang digunakan untuk membuat surat suara, sebelum dan sesudah

digunakan serta menyegel dan menyimpannya.


(5) Tata cara pelaksanaan pengamanan terhadap pencetakan, penghitungan,

penyimpanan, pengepakan, dan pendistribusian surat suara ke tempat tujuan

ditetapkan dengan peraturan KPU.


Pasal 147


Pengawasan atas pelaksanaan tugas dan wewenang KPU, KPU provinsi, dan

KPU kabupaten/kota serta Sekretariat Jenderal KPU, sekretariat KPU provinsi, dan sekretariat KPU kabupaten/kota mengenai pengadaan dan distribusi perlengkapan pemungutan suara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 142 dilaksanakan oleh Bawaslu dan Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia.


BAB X

PEMUNGUTAN SUARA


Pasal 149


(1) Pemungutan suara Pemilu anggota DPR, DPD, DPRD provinsi, dan DPRD

kabupaten/kota diselenggarakan secara serentak


(2) Hari, tanggal, dan waktu pemungutan suara pemilihan anggota DPR, DPD,

DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota untuk semua daerah pemilihan

ditetapkan dengan keputusan KPU.


Pasal 149


(1) Pemilih yang berhak mengikuti pemungutan suara di TPS meliputi:

a. pemilih yang terdaftar pada daftar pemilih tetap pada TPS yang

bersangkutan; dan

b. pemilih yang terdaftar pada daftar pemilih tambahan.


(2) Pemilih sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dapat menggunakan

haknya untuk memilih di TPS lain/TPSLN dengan menunjukkan surat

pemberitahuan dari PPS untuk memberikan suara di TPS lain/TPSLN.


(3) Dalam hal pada suatu TPS terdapat pemilih sebagaimana dimaksud pada

ayat (1) huruf b, KPPS pada TPS tersebut mencatat dan melaporkan kepada

KPU kabupaten/kota melalui PPK.


Pasal 150


(1) Pemilih untuk setiap TPS paling banyak 500 (lima ratus) orang.


(2) Jumlah surat suara di setiap TPS sama dengan jumlah pemilih yang

tercantum di dalam daftar pemilih tetap dan daftar pemilih tambahan

ditambah dengan 2% (dua perseratus) dari daftar pemilih tetap sebagai

cadangan.

(3) Penggunaan surat suara cadangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2)

dibuatkan berita acara.


(4) Format berita acara sebagaimana dimaksud pada ayat (3) ditetapkan dengan

peraturan KPU.


Pasal 151


(1) Pelaksanaan pemungutan suara dipimpin oleh KPPS.


(2) Pemberian suara dilaksanakan oleh pemilih.


(3) Pelaksanaan pemungutan suara disaksikan oleh saksi Peserta Pemilu.


(4) Penanganan ketenteraman, ketertiban, dan keamanan di setiap TPS

dilaksanakan oleh 2 (dua) orang petugas yang ditetapkan oleh PPS.


(5) Pengawasan pemungutan suara dilaksanakan oleh Pengawas Pemilu

Lapangan.


(6) Pemantauan pemungutan suara dilaksanakan oleh pemantau Pemilu yang

telah diakreditasi oleh KPU, KPU provinsi, dan KPU kabupaten/kota.


(7) Saksi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) harus menyerahkan mandat

tertulis dari Partai Politik Peserta Pemilu atau dari calon anggota DPD.



Pasal 152


(1) Dalam rangka persiapan pemungutan suara, KPPS melakukan kegiatan

yang meliputi:

a. penyiapan TPS;

b. pengumuman dengan menempelkan daftar pemilih tetap, daftar pemilih

tambahan, dan daftar calon tetap anggota DPR, DPD, DPRD provinsi,

dan DPRD kabupaten/kota di TPS; dan

c. penyerahan salinan daftar pemilih tetap dan daftar pemilih tambahan

kepada saksi yang hadir dan Pengawas Pemilu Lapangan.


(2) Dalam rangka pelaksanaan pemungutan suara, KPPS melakukan kegiatan

yang meliputi:

a. pemeriksaan persiapan akhir pemungutan suara;

b. rapat pemungutan suara;

c. pengucapan sumpah atau janji anggota KPPS dan petugas

ketenteraman, ketertiban, dan keamanan TPS;

d. penjelasan kepada pemilih tentang tata cara pemungutan suara; dan Elec

e. pelaksanaan pemberian suara.


Pasal 153

(1) Pemberian suara untuk Pemilu anggota DPR, DPD, DPRD provinsi, dan

DPRD kabupaten/kota dilakukan dengan memberikan tanda satu kali pada

surat suara.


(2) Memberikan tanda satu kali sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan

berdasarkan prinsip memudahkan pemilih, akurasi dalam penghitungan

suara, dan efisien dalam penyelenggaraan Pemilu.


(3) Ketentuan lebih lanjut tentang tata cara memberikan tanda diatur dengan

peraturan KPU.


Pasal 154


(1) Sebelum melaksanakan pemungutan suara, KPPS:

a. membuka kotak suara;

b. mengeluarkan seluruh isi kotak suara;

c. mengidentifikasi jenis dokumen dan peralatan;

d. menghitung jumlah setiap jenis dokumen dan peralatan;

e. memeriksa keadaan seluruh surat suara; dan

f. menandatangani surat suara yang akan digunakan oleh pemilih.

(2) Saksi Peserta Pemilu, pengawas Pemilu, pemantau Pemilu, dan warga

masyarakat berhak menghadiri kegiatan KPPS sebagaimana dimaksud pada

ayat (1).


(3) Ketua KPPS wajib membuat dan menandatangani berita acara kegiatan

sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan berita acara tersebut

ditandatangani oleh paling sedikit 2 (dua) orang anggota KPPS dan saksi

Peserta Pemilu yang hadir.


Pasal 155


(1) Dalam memberikan suara, pemilih diberi kesempatan oleh KPPS berdasarkan prinsip urutan kehadiran pemilih.


(2) Apabila pemilih menerima surat suara yang ternyata rusak, pemilih dapat

meminta surat suara pengganti kepada KPPS dan KPPS wajib memberikan

surat suara pengganti hanya 1 (satu) kali dan mencatat surat suara yang

rusak dalam berita acara.


(3) Apabila terdapat kekeliruan dalam memberikan suara, pemilih dapat meminta

surat suara pengganti kepada KPPS dan KPPS hanya memberikan surat

suara pengganti 1 (satu) kali.


Pasal 156


(1) Pemilih tunanetra, tunadaksa, dan yang mempunyai halangan fisik lain saat

memberikan suaranya di TPS dapat dibantu oleh orang lain atas permintaan

pemilih.CETRO (Center for Electoral Reform)

52

(2) Orang lain yang membantu pemilih dalam memberikan suaranya

sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib merahasiakan pilihan pemilih.


(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai pemberian bantuan kepada pemilih

ditetapkan dengan peraturan KPU.


Pasal 157


(1) Pemungutan suara bagi Warga Negara Indonesia yang berada di luar negeri

hanya memilih calon anggota DPR.


(2) Pemungutan suara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan di

setiap Perwakilan Republik Indonesia dan dilakukan pada waktu yang sama

atau waktu yang disesuaikan dengan waktu pemungutan suara di Indonesia.


(3) Dalam hal pemilih tidak dapat memberikan suara di TPSLN yang telah

ditentukan, pemilih dapat memberikan suara melalui pos yang disampaikan

kepada PPLN di Perwakilan Republik Indonesia setempat.

Pasal 158

(1) Pemilih yang berhak mengikuti pemungutan suara di TPSLN meliputi :

a. pemilih yang terdaftar pada daftar pemilih tetap pada TPSLN yang

bersangkutan; dan

b. pemilih yang terdaftar pada daftar pemilih tambahan.


(2) Pemilih sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dapat menggunakan

haknya untuk memilih di TPSLN lain/TPS dengan menunjukkan surat

pemberitahuan dari PPLN untuk memberikan suara di TPSLN lain/TPS.


(3) KPPSLN sebagaimana dimaksud pada ayat (2) mencatat dan melaporkan

kepada PPLN.


Pasal 159


Warga Negara Indonesia yang berada di luar negeri yang tidak terdaftar sebagai

pemilih tidak dapat menggunakan haknya untuk memilih.


Pasal 160


(1) Pelaksanaan pemungutan suara di TPSLN dipimpin oleh KPPSLN.


(2) Pemberian suara dilaksanakan oleh pemilih.


(3) Pelaksanaan pemungutan suara disaksikan oleh saksi Partai Politik Peserta

Pemilu.


(4) Pengawasan pemungutan suara dilaksanakan oleh Pengawas Pemilu Luar

Negeri.


(5) Pemantauan pemungutan suara dilaksanakan oleh pemantau Pemilu yang

telah diakreditasi oleh KPU.


(6) Saksi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) harus menyerahkan mandat

tertulis dari Partai Politik Peserta Pemilu.

CETRO (Center for Electoral Reform)

53

Pasal 161


(1) Dalam rangka persiapan pemungutan suara, KPPSLN melakukan kegiatan

yang meliputi:

a. penyiapan TPSLN;

b. pengumuman dengan menempelkan daftar pemilih tetap, daftar pemilih

tambahan, dan daftar calon tetap anggota DPR di TPSLN; dan

c. penyerahan salinan daftar pemilih tetap dan daftar pemilih tambahan

kepada saksi yang hadir dan Pengawas Pemilu Luar Negeri.


(2) Dalam rangka pelaksanaan pemungutan suara, KPPSLN melakukan

kegiatan yang meliputi:

a. pemeriksaan persiapan akhir pemungutan suara;

b. rapat pemungutan suara;

c. pengucapan sumpah atau janji anggota KPPSLN dan petugas

ketenteraman, ketertiban, dan keamanan TPSLN;

d. penjelasan kepada pemilih tentang tata cara pemungutan suara; dan

e. pelaksanaan pemberian suara.


Pasal 162


(1) Sebelum melaksanakan pemungutan suara, KPPSLN:

a. membuka kotak suara;

b. mengeluarkan seluruh isi kotak suara;

c. mengidentifikasi jenis dokumen dan peralatan;

d. menghitung jumlah setiap jenis dokumen dan peralatan;

e. memeriksa keadaan seluruh surat suara; dan

f. menandatangani surat suara yang akan digunakan oleh pemilih.


(2) Saksi Partai Politik Peserta Pemilu, Pengawas Pemilu Luar Negeri, pemantau

Pemilu, dan warga masyarakat berhak menghadiri kegiatan KPPSLN

sebagaimana dimaksud pada ayat (1).


(3) Ketua KPPSLN wajib membuat dan menandatangani berita acara kegiatan

sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan berita acara tersebut

ditandatangani oleh paling sedikit 2 (dua) orang anggota KPPSLN dan saksi

Partai Politik Peserta Pemilu yang hadir.


Pasal 163


(1) Dalam memberikan suara, pemilih diberi kesempatan oleh KPPSLN

berdasarkan prinsip urutan kehadiran pemilih.


(2) Apabila pemilih menerima surat suara yang ternyata rusak, pemilih dapat

meminta surat suara pengganti kepada KPPSLN dan KPPSLN wajib

memberikan surat suara pengganti hanya 1 (satu) kali dan mencatat surat

suara yang rusak dalam berita acara.


(3) Apabila terdapat kekeliruan dalam memberikan suara, pemilih dapat meminta

surat suara pengganti kepada KPPSLN dan KPPSLN hanya memberikan

surat suara pengganti 1 (satu) kali.

CETRO (Center for Electoral Reform)

54

Pasal 164


(1) Pemilih tunanetra, tunadaksa, dan yang mempunyai halangan fisik lain saat

memberikan suaranya di TPSLN dapat dibantu oleh orang lain atas

permintaan pemilih.


(2) Orang lain yang membantu pemilih dalam memberikan suaranya

sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib merahasiakan pilihan pemilih.


(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai pemberian bantuan kepada pemilih

ditetapkan dengan peraturan KPU.


Pasal 165


(1) Pemilih tidak boleh membubuhkan tulisan dan/atau catatan lain pada surat

suara.


(2) Surat suara yang terdapat tulisan dan/atau catatan lain dinyatakan tidak sah.


Pasal 166


(1) Pemilih yang telah memberikan suara, diberi tanda khusus oleh

KPPS/KPPSLN.


(2) Tanda khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dalam

peraturan KPU.


Pasal 167


(1) KPPS/KPPSLN dilarang mengadakan penghitungan suara sebelum

pemungutan suara berakhir.


(2) Ketentuan mengenai waktu berakhirnya pemungutan suara ditetapkan dalam

peraturan KPU.


Pasal 168


(1) KPPS/KPPSLN bertanggung jawab atas pelaksanaan pemungutan suara

secara tertib dan lancar.


(2) Pemilih melakukan pemberian suara dengan tertib dan bertanggung jawab

.

(3) Saksi melakukan tugasnya dengan tertib dan bertanggung jawab.


(4) Petugas ketertiban, ketenteraman dan keamanan wajib menjaga ketertiban,

ketenteraman dan keamanan di lingkungan TPS/TPSLN.


(5) Pengawas Pemilu Lapangan/Pengawas Pemilu Luar Negeri wajib melakukan

pengawasan atas pelaksanaan pemungutan suara dengan tertib dan

bertanggung jawab.

Pasal 169


(1) Warga masyarakat yang tidak memiliki hak pilih atau yang tidak sedang

melaksanakan pemberian suara dilarang berada di dalam TPS/TPSLN.

CETRO (Center for Electoral Reform)55

(2) Pemantau Pemilu dilarang berada di dalam TPS/TPSLN.


(3) Warga masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan pemantau

Pemilu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) memelihara ketertiban dan

kelancaran pelaksanaan pemungutan suara.


Pasal 170


(1) Dalam hal terjadi penyimpangan pelaksanaan pemungutan suara oleh

KPPS/KPPSLN, Pengawas Pemilu Lapangan/Pengawas Pemilu Luar Negeri

memberikan saran perbaikan disaksikan oleh saksi yang hadir dan petugas

ketenteraman, ketertiban, dan keamanan TPS/TPSLN.


(2) KPPS/KPPSLN seketika itu juga menindaklanjuti saran perbaikan yang

disampaikan oleh pengawas Pemilu sebagaimana dimaksud pada ayat (1).


Pasal 171


(1) Dalam hal terjadi pelanggaran ketenteraman, ketertiban, dan keamanan

pelaksanaan pemungutan suara oleh anggota masyarakat dan/atau oleh

pemantau Pemilu, petugas ketenteraman, ketertiban, dan keamanan

melakukan penanganan secara memadai.


(2) Dalam hal anggota masyarakat dan/atau pemantau Pemilu tidak mematuhi

penanganan oleh petugas ketenteraman, ketertiban, dan keamanan, yang

bersangkutan diserahkan kepada petugas Kepolisian Negara Republik

Indonesia.


BAB XI

PENGHITUNGAN SUARA

Bagian Kesatu

Penghitungan Suara di TPS/TPSLN


Pasal 172


(1) Penghitungan suara Partai Politik Peserta Pemilu dan suara calon anggota

DPR, DPD, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota di TPS dilaksanakan

oleh KPPS.


(2) Penghitungan suara Partai Politik Peserta Pemilu dan suara calon anggota

DPR di TPSLN dilaksanakan oleh KPPSLN.


(3) Penghitungan suara Partai Politik Peserta Pemilu dan suara calon anggota

DPR, DPD, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota di TPS disaksikan

oleh saksi Peserta Pemilu.


(4) Penghitungan suara Partai Politik Peserta Pemilu dan suara calon anggota

DPR di TPSLN disaksikan oleh saksi Peserta Pemilu.


(5) Penghitungan suara Partai Politik Peserta Pemilu dan suara calon anggota

DPR, DPD, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota di TPS diawasi oleh

Pengawas Pemilu Lapangan.


(6) Penghitungan suara Partai Politik Peserta Pemilu dan suara calon anggota

DPR di TPSLN diawasi oleh Pengawas Pemilu Luar Negeri.ectoral Reform)

56

(7) Penghitungan suara Partai Politik Peserta Pemilu dan suara calon anggota

DPR, DPD, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota di TPS dipantau oleh

pemantau Pemilu dan masyarakat.


(8) Penghitungan suara Partai Politik Peserta Pemilu dan suara calon anggota

DPR di TPSLN dipantau oleh pemantau Pemilu dan masyarakat.


(9) Saksi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan ayat (4) yang belum

menyerahkan mandat tertulis pada saat pemungutan suara harus

menyerahkan mandat tertulis dari Peserta Pemilu kepada ketua

KPPS/KPPSLN.


Pasal 173


(1) Penghitungan suara di TPS/TPSLN dilaksanakan setelah waktu pemungutan

suara berakhir.


(2) Penghitungan suara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dilakukan

dan selesai di TPS/TPSLN yang bersangkutan pada hari/tanggal

pemungutan suara.


Pasal 174


(1) KPPS melakukan penghitungan suara Partai Politik Peserta Pemilu dan

suara calon anggota DPR, DPD, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota

di dalam TPS.


(2) KPPSLN melakukan penghitungan suara Partai Politik Peserta Pemilu dan

suara calon anggota DPR di dalam TPSLN.


(3) Saksi menyaksikan dan mencatat pelaksanaan penghitungan suara Partai

Politik Peserta Pemilu dan suara calon anggota DPR, DPD, DPRD provinsi,

dan DPRD kabupaten/kota di dalam TPS/TPSLN.

(4) Pengawas Pemilu Lapangan mengawasi pelaksanaan penghitungan suara

Partai Politik Peserta Pemilu dan suara calon anggota DPR, DPD, DPRD

provinsi, dan DPRD kabupaten/kota di dalam TPS.


(5) Pengawas Pemilu Luar Negeri mengawasi pelaksanaan penghitungan suara

Partai Politik Peserta Pemilu dan suara calon anggota DPR di dalam TPSLN.


(6) Pemantau Pemilu memantau pelaksanaan penghitungan suara Partai Politik

Peserta Pemilu dan suara calon anggota DPR, DPD, DPRD provinsi, dan

DPRD kabupaten/kota di luar TPS.


(7) Pemantau Pemilu memantau pelaksanaan penghitungan suara Partai Politik

Peserta Pemilu dan suara calon anggota DPR di luar TPSLN.


(8) Warga masyarakat menyaksikan pelaksanaan penghitungan suara Partai

Politik Peserta Pemilu dan suara calon anggota DPR, DPD, DPRD provinsi,

dan DPRD kabupaten/kota di luar TPS.


(9) Warga masyarakat menyaksikan pelaksanaan penghitungan suara Partai

Politik Peserta Pemilu dan suara calon anggota DPR di luar TPSLN.


Pasal 175


CETRO (Center for Electoral Reform)

57

(1) Sebelum melaksanakan penghitungan suara, KPPS/KPPSLN menghitung:

a. jumlah pemilih yang memberikan suara berdasarkan salinan daftar

pemilih tetap;

b. jumlah pemilih yang berasal dari TPS/TPSLN lain;

c. jumlah surat suara yang tidak terpakai;

d. jumlah surat suara yang dikembalikan oleh pemilih karena rusak atau

salah dalam cara memberikan suara; dan

e. sisa surat suara cadangan.

(2) Penggunaan surat suara cadangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

huruf e dibuatkan berita acara yang ditandatangani oleh ketua

KPPS/KPPSLN dan oleh paling sedikit 2 (dua) orang anggota

KPPS/KPPSLN yang hadir.


Pasal 176

(1) Suara untuk Pemilu anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD

kabupaten/kota dinyatakan sah apabila:

a. surat suara ditandatangani oleh Ketua KPPS; dan

b. pemberian tanda satu kali pada kolom nama partai atau kolom nomor

calon atau kolom nama calon anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD

kabupaten/kota.


(2) Suara untuk Pemilu anggota DPD dinyatakan sah apabila:

a. surat suara ditandatangani oleh Ketua KPPS; dan

b. pemberian tanda satu kali pada foto salah satu calon anggota DPD.


(3) Ketentuan mengenai pedoman teknis pelaksanaan sebagaimana dimaksud

pada ayat (1) dan ayat (2) diatur lebih lanjut dengan peraturan KPU.


Pasal 177


(1) Ketua KPPS/KPPSLN melakukan penghitungan suara dengan suara yang

jelas dan terdengar dengan memperlihatkan surat suara yang dihitung.


(2) Penghitungan suara dilakukan secara terbuka dan di tempat yang terang

atau yang mendapat penerangan cahaya cukup.


(3) Penghitungan suara dicatat pada lembar/papan/layar penghitungan dengan

tulisan yang jelas dan terbaca.


(4) Format penulisan penghitungan suara sebagaimana dimaksud pada ayat (2)

ditetapkan dalam peraturan KPU.


Pasal 178


(1) Peserta Pemilu, saksi, Pengawas Pemilu Lapangan/Pengawas Pemilu Luar

Negeri dan masyarakat dapat menyampaikan laporan atas dugaan adanya

pelanggaran, penyimpangan dan/atau kesalahan dalam pelaksanaan

penghitungan suara kepada KPPS/KPPSLN.


(2) Peserta Pemilu dan warga masyarakat melalui saksi Peserta Pemilu atau

Pengawas Pemilu Lapangan/Pengawas Pemilu Luar Negeri yang hadir dapat

mengajukan keberatan terhadap jalannya penghitungan suara oleh

KPPS/KPPSLN apabila ternyata terdapat hal yang tidak sesuai dengan

peraturan perundang-undangan.


(3) Dalam hal keberatan yang diajukan melalui saksi Peserta Pemilu atau

Pengawas Pemilu Lapangan/Pengawas Pemilu Luar Negeri sebagaimana

dimaksud pada ayat (2) dapat diterima, KPPS/KPPSLN seketika itu juga

mengadakan pembetulan.


Pasal 179


(1) Hasil penghitungan suara di TPS/TPSLN dituangkan ke dalam berita acara

pemungutan dan penghitungan suara serta ke dalam sertifikat hasil

penghitungan suara Pemilu anggota DPR, DPD, DPRD provinsi, dan DPRD

kabupaten/kota dengan menggunakan format yang ditetapkan dalam

peraturan KPU.


(2) Berita acara pemungutan dan penghitungan suara serta sertifikat hasil

penghitungan suara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditandatangani

oleh seluruh anggota KPPS/KPPSLN dan saksi Peserta Pemilu yang hadir.


(3) Dalam hal terdapat anggota KPPS/KPPSLN dan saksi Peserta Pemilu yang

hadir tidak bersedia menandatangani sebagaimana dimaksud pada ayat (2),

berita acara pemungutan dan penghitungan suara serta sertifikat hasil

penghitungan suara ditandatangani oleh anggota KPPS/KPPSLN dan saksi

Peserta Pemilu yang hadir yang bersedia menandatangani.


Pasal 180


(1) KPPS/KPPSLN mengumumkan hasil penghitungan suara di TPS/TPSLN.


(2) KPPS wajib memberikan 1 (satu) eksemplar berita acara pemungutan dan

penghitungan suara serta sertifikat hasil penghitungan suara kepada saksi

Peserta Pemilu, Pengawas Pemilu Lapangan, PPS, dan PPK melalui PPS

pada hari yang sama.


(3) KPPSLN wajib memberikan 1 (satu) eksemplar berita acara pemungutan dan

penghitungan suara serta sertifikat hasil penghitungan suara kepada saksi

Peserta Pemilu, Pengawas Pemilu Luar Negeri dan PPLN pada hari yang

sama.


(4) KPPS/KPPSLN wajib menyegel, menjaga, dan mengamankan keutuhan

kotak suara setelah penghitungan suara.


(5) KPPS/KPPSLN wajib menyerahkan kotak suara tersegel yang berisi surat

suara, berita acara pemungutan suara serta sertifikat hasil penghitungan

suara kepada PPK melalui PPS atau kepada PPLN bagi KPPSLN pada hari

yang sama.


(6) Penyerahan kotak suara tersegel yang berisi surat suara, berita acara

pemungutan dan penghitungan suara serta sertifikat hasil penghitungan

suara kepada PPK sebagaimana dimaksud pada ayat (5) wajib diawasi oleh

Pengawas Pemilu Lapangan dan Panwaslu kecamatan serta wajib

dilaporkan kepada Panwaslu kabupaten/kota.


Pasal 181

CETRO (Center for Electoral Reform)

59

PPS wajib mengumumkan salinan sertifikat hasil penghitungan suara

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 180 ayat (2) dari seluruh TPS di wilayah

kerjanya dengan cara menempelkan salinan tersebut di tempat umum.


Bagian Kedua

Rekapitulasi Penghitungan Perolehan Suara di Kecamatan

Pasal 182


(1) PPK membuat berita acara penerimaan hasil penghitungan suara Partai

Politik Peserta Pemilu dan suara calon anggota DPR, DPD, DPRD provinsi,

dan DPRD kabupaten/kota dari TPS melalui PPS.


(2) PPK melakukan rekapitulasi hasil penghitungan perolehan suara Partai

Politik Peserta Pemilu dan suara calon anggota DPR, DPD, DPRD provinsi,

dan DPRD kabupaten/kota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam

rapat yang dihadiri saksi Peserta Pemilu dan Panwaslu kecamatan.


(3) Rekapitulasi penghitungan suara dilakukan dengan membuka kotak suara

tersegel untuk mengambil sampul yang berisi berita acara pemungutan suara

dan sertifikat hasil penghitungan suara, kemudian kotak ditutup dan disegel

kembali.


(4) PPK membuat berita acara rekapitulasi hasil penghitungan perolehan suara

Partai Politik Peserta Pemilu dan perolehan suara calon anggota DPR, DPD,

DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota dan membuat sertifikat

rekapitulasi hasil penghitungan perolehan suara.


(5) PPK mengumumkan hasil rekapitulasi penghitungan perolehan suara Partai

Politik Peserta Pemilu dan perolehan suara calon anggota DPR, DPD, DPRD

provinsi, dan DPRD kabupaten/kota sebagaimana dimaksud pada ayat (3) di

tempat umum.


(6) PPK menyerahkan berita acara rekapitulasi hasil penghitungan perolehan

suara Partai Politik Peserta Pemilu dan perolehan suara calon anggota DPR,

DPD, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota dan sertifikat rekapitulasi

hasil penghitungan perolehan suara tersebut kepada saksi Peserta Pemilu,

Panwaslu kecamatan, dan KPU kabupaten/kota.


Pasal 183


(1) Panwaslu kecamatan wajib menyampaikan laporan atas dugaan adanya

pelanggaran, penyimpangan dan/atau kesalahan dalam pelaksanaan

rekapitulasi hasil penghitungan perolehan suara Partai Politik Peserta Pemilu

dan perolehan suara calon anggota DPR, DPD, DPRD provinsi, dan DPRD

kabupaten/kota kepada PPK.


(2) Saksi dapat menyampaikan laporan dugaan adanya pelanggaran,

penyimpangan dan/atau kesalahan dalam pelaksanaan rekapitulasi hasil

penghitungan perolehan suara Partai Politik Peserta Pemilu dan perolehan

suara calon anggota DPR, DPD, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota

kepada PPK.


(3) PPK wajib langsung menindaklanjuti laporan sebagaimana dimaksud pada

ayat (1) pada hari pelaksanaan rekapitulasi hasil penghitungan perolehan

suara Partai Politik Peserta Pemilu dan perolehan suara calon anggota DPR,

DPD, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota kepada PPK.

CETRO (Center for Electoral Reform)

60

Pasal 184


(1) Rekapitulasi hasil penghitungan perolehan suara di PPK dituangkan ke

dalam berita acara rekapitulasi hasil penghitungan perolehan suara dan

sertifikat rekapitulasi hasil penghitungan perolehan suara Partai Politik

Peserta Pemilu dan perolehan suara calon anggota DPR, DPD, DPRD

provinsi, dan DPRD kabupaten/kota dengan menggunakan format yang

ditetapkan dalam peraturan KPU.


(2) Berita acara rekapitulasi hasil penghitungan perolehan suara dan sertifikat

rekapitulasi hasil penghitungan perolehan suara Partai Politik Peserta Pemilu

dan perolehan suara calon anggota DPR, DPD, DPRD provinsi, dan DPRD

kabupaten/kota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditandatangani oleh

seluruh anggota PPK dan saksi Peserta Pemilu yang hadir.


(3) Dalam hal terdapat anggota PPK dan saksi Peserta Pemilu yang hadir, tetapi

tidak bersedia menandatangani sebagaimana dimaksud pada ayat (2), berita

acara rekapitulasi hasil penghitungan perolehan suara dan sertifikat

rekapitulasi hasil penghitungan perolehan suara Partai Politik Peserta Pemilu

dan perolehan suara calon anggota DPR, DPD, DPRD provinsi, dan DPRD

kabupaten/kota ditandatangani oleh anggota PPK dan saksi Peserta Pemilu

yang hadir yang bersedia menandatangani.


Pasal 185


PPK wajib menyerahkan kepada KPU kabupaten/kota surat suara calon anggota

DPR, DPD, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota dari TPS dalam kotak

suara tersegel serta berita acara rekapitulasi hasil penghitungan perolehan suara

dan sertifikat rekapitulasi hasil penghitungan perolehan suara Partai Politik Peserta Pemilu di tingkat PPK yang dilampiri berita acara pemungutan suara dan sertifikat hasil penghitungan suara dari TPS.


Pasal 186


(1) PPLN melakukan rekapitulasi hasil penghitungan perolehan suara Partai

Politik Peserta Pemilu dan suara calon anggota DPR dari seluruh KPPSLN di

wilayah kerjanya serta melakukan penghitungan perolehan suara yang

diterima melalui pos dengan disaksikan oleh saksi Peserta Pemilu yang hadir

dan Pengawas Pemilu Luar Negeri.


(2) PPLN wajib membuat dan menyerahkan berita acara rekapitulasi hasil

penghitungan perolehan suara dan sertifikat rekapitulasi hasil penghitungan

perolehan suara dari seluruh KPPSLN di wilayah kerjanya kepada KPU.


Bagian Ketiga

Rekapitulasi Penghitungan Perolehan Suara di Kabupaten/Kota


Pasal 187


(1) KPU kabupaten/kota membuat berita acara penerimaan rekapitulasi hasil

penghitungan perolehan suara Partai Politik Peserta Pemilu dan perolehan

suara calon anggota DPR, DPD, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota

dari PPK.


(2) KPU kabupaten/kota melakukan rekapitulasi hasil penghitungan perolehan

suara Partai Politik Peserta Pemilu dan perolehan suara calon anggota DPR,

61 DPD, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota sebagaimana dimaksud

pada ayat (1) dalam rapat yang dihadiri saksi Peserta Pemilu dan Panwaslu

kabupaten/kota.


(3) KPU kabupaten/kota membuat berita acara rekapitulasi hasil penghitungan

perolehan suara dan membuat sertifikat rekapitulasi hasil penghitungan

perolehan suara Partai Politik Peserta Pemilu dan perolehan suara calon

anggota DPR, DPD, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota.


(4) KPU kabupaten/kota mengumumkan rekapitulasi hasil penghitungan

perolehan suara Partai Politik Peserta Pemilu dan perolehan suara calon

anggota DPR, DPD, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota

sebagaimana dimaksud pada ayat (3).


(5) KPU kabupaten/kota menetapkan rekapitulasi hasil penghitungan perolehan

suara Partai Politik Peserta Pemilu dan perolehan suara calon anggota

DPRD kabupaten/kota.


(6) KPU kabupaten/kota menyerahkan berita acara rekapitulasi hasil

penghitungan perolehan suara dan sertifikat rekapitulasi hasil penghitungan

perolehan suara Partai Politik Peserta Pemilu dan perolehan suara calon

anggota DPR, DPD, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota kepada

saksi Peserta Pemilu, Panwaslu kabupaten/kota, dan KPU provinsi.


Pasal 188


(1) Panwaslu kabupaten/kota wajib menyampaikan laporan atas dugaan adanya

pelanggaran, penyimpangan dan/atau kesalahan dalam pelaksanaan

rekapitulasi hasil penghitungan perolehan suara Partai Politik Peserta Pemilu

dan perolehan suara calon anggota DPR, DPD, DPRD provinsi, dan DPRD

kabupaten/kota kepada KPU kabupaten/kota.

(2) Saksi dapat menyampaikan laporan atas dugaan adanya pelanggaran,

penyimpangan dan/atau kesalahan dalam pelaksanaan rekapitulasi hasil

penghitungan perolehan suara Partai Politik Peserta Pemilu dan perolehan

suara calon anggota DPR, DPD, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota

kepada KPU kabupaten/kota.


(3) KPU kabupaten/kota wajib langsung menindaklanjuti laporan sebagaimana

dimaksud pada ayat (1) pada hari pelaksanaan rekapitulasi penghitungan

perolehan suara Partai Politik Peserta Pemilu dan perolehan suara calon

anggota DPR, DPD, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota.


Pasal 189


(1) Rekapitulasi hasil penghitungan perolehan suara di KPU kabupaten/kota

dituangkan ke dalam berita acara rekapitulasi hasil penghitungan perolehan

suara dan sertifikat rekapitulasi hasil penghitungan perolehan suara Partai

Politik Peserta Pemilu dan perolehan suara calon anggota DPR, DPD, DPRD

provinsi, dan DPRD kabupaten/kota dengan menggunakan format yang

ditetapkan dalam peraturan KPU.


(2) Berita acara rekapitulasi hasil penghitungan perolehan suara dan sertifikat

rekapitulasi hasil penghitungan perolehan suara Partai Politik Peserta Pemilu

dan perolehan suara calon anggota DPR, DPD, DPRD, provinsi dan DPRD

kabupaten/kota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditandatangani oleh

seluruh anggota KPU kabupaten/kota dan saksi Peserta Pemilu yang hadir.


62

(3) Dalam hal terdapat anggota KPU kabupaten/kota dan saksi Peserta Pemilu

yang hadir, tetapi tidak bersedia menandatangani sebagaimana dimaksud

pada ayat (2), berita acara rekapitulasi hasil penghitungan perolehan suara

dan sertifikat rekapitulasi hasil penghitungan perolehan suara Partai Politik

Peserta Pemilu dan perolehan suara calon anggota DPR, DPD, DPRD

provinsi, dan DPRD kabupaten/kota ditandatangani oleh anggota KPU

kabupaten/kota dan saksi Peserta Pemilu yang hadir yang bersedia

menandatangani.


Pasal 190


KPU kabupaten/kota menyimpan, menjaga dan mengamankan keutuhan kotak

suara setelah pelaksanaan rekapitulasi hasil penghitungan perolehan suara Partai Politik Peserta Pemilu dan perolehan suara calon anggota DPR, DPD, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota.


Bagian Keempat

Rekapitulasi Penghitungan Perolehan Suara di Provinsi


Pasal 191


(1) KPU provinsi membuat berita acara penerimaan rekapitulasi hasil

penghitungan perolehan suara Partai Politik Peserta Pemilu dan perolehan

suara calon anggota DPR, DPD, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota

dari KPU kabupaten/kota.


(2) KPU provinsi melakukan rekapitulasi hasil penghitungan perolehan suara

Partai Politik Peserta Pemilu dan perolehan suara calon anggota DPR, DPD,

DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota sebagaimana dimaksud pada

ayat (1) dalam rapat yang dihadiri saksi Peserta Pemilu.


(3) KPU provinsi membuat berita acara rekapitulasi hasil penghitungan

perolehan suara dan membuat sertifikat rekapitulasi hasil penghitungan

perolehan suara Partai Politik Peserta Pemilu dan perolehan suara calon

anggota DPR, DPD, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota.


(4) KPU provinsi mengumumkan rekapitulasi hasil penghitungan perolehan

suara Partai Politik Peserta Pemilu dan perolehan suara calon anggota DPR,

DPD, DPRD provinsi sebagaimana dimaksud pada ayat (3).


(5) KPU provinsi menetapkan rekapitulasi hasil penghitungan perolehan suara

Partai Politik Peserta Pemilu dan perolehan suara calon anggota DPRD

provinsi.


(6) KPU provinsi menyerahkan berita acara rekapitulasi hasil penghitungan

perolehan suara dan sertifikat rekapitulasi hasil penghitungan perolehan

suara Partai Politik Peserta Pemilu dan perolehan suara calon anggota DPR,

DPD, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota kepada saksi Peserta

Pemilu, Panwaslu provinsi, dan KPU.


Pasal 192


(1) Panwaslu provinsi wajib menyampaikan laporan atas dugaan adanya

pelanggaran, penyimpangan dan/atau kesalahan dalam pelaksanaan

rekapitulasi hasil penghitungan perolehan suara Partai Politik Peserta Pemilu

dan perolehan suara calon anggota DPR, DPD, DPRD provinsi, dan DPRD

kabupaten/kota kepada KPU provinsi.


(2) Saksi dapat menyampaikan laporan atas dugaan adanya pelanggaran,

penyimpangan dan/atau kesalahan dalam pelaksanaan rekapitulasi hasil

penghitungan perolehan suara Partai Politik Peserta Pemilu dan perolehan

suara calon anggota DPR, DPD, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota

kepada KPU provinsi.


(3) KPU provinsi wajib langsung menindaklanjuti laporan sebagaimana

dimaksud pada ayat (1) pada hari pelaksanaan rekapitulasi penghitungan

perolehan suara Partai Politik Peserta Pemilu dan perolehan suara calon

anggota DPR, DPD, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota.


Pasal 193


(1) Rekapitulasi hasil penghitungan perolehan suara di KPU provinsi dituangkan

ke dalam berita acara rekapitulasi hasil penghitungan perolehan suara dan

sertifikat rekapitulasi hasil penghitungan perolehan suara Partai Politik

Peserta Pemilu dan perolehan suara calon anggota DPR, DPD, DPRD

provinsi, dan DPRD kabupaten/kota dengan menggunakan format yang

ditetapkan dalam peraturan KPU.


(2) Berita acara rekapitulasi hasil penghitungan perolehan suara dan sertifikat

rekapitulasi hasil penghitungan perolehan suara Partai Politik Peserta Pemilu

dan perolehan suara calon anggota DPR, DPD, DPRD provinsi, dan DPRD

kabupaten/kota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditandatangani oleh

seluruh anggota KPU provinsi dan saksi Peserta Pemilu yang hadir.


(3) Dalam hal terdapat anggota KPU provinsi dan saksi Peserta Pemilu yang

hadir, tetapi tidak bersedia menandatangani sebagaimana dimaksud pada

ayat (2), berita acara rekapitulasi hasil penghitungan perolehan suara dan

sertifikat rekapitulasi hasil penghitungan perolehan suara Partai Politik

Peserta Pemilu dan perolehan suara calon anggota DPR, DPD, DPRD

provinsi, dan DPRD kabupaten/kota ditandatangani oleh anggota KPU

provinsi dan saksi Peserta Pemilu yang hadir yang bersedia

menandatangani.


Bagian Kelima

Rekapitulasi Penghitungan Perolehan Suara Secara Nasional


Pasal 194


(1) KPU membuat berita acara penerimaan rekapitulasi hasil penghitungan

perolehan suara Partai Politik Peserta Pemilu dan perolehan suara calon

anggota DPR, DPD, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota dari KPU

provinsi.


(2) KPU melakukan rekapitulasi hasil rekapitulasi penghitungan perolehan suara

Partai Politik Peserta Pemilu dan perolehan suara calon anggota DPR, DPD,

DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota sebagaimana dimaksud pada

ayat (1) dalam rapat yang dihadiri saksi Peserta Pemilu dan Bawaslu.


(3) KPU membuat berita acara rekapitulasi hasil penghitungan perolehan suara

dan membuat sertifikat rekapitulasi hasil penghitungan perolehan suara

Partai Politik Peserta Pemilu dan perolehan suara calon anggota DPR, DPD,

DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota.


(4) KPU mengumumkan rekapitulasi hasil penghitungan perolehan suara Partai

Politik Peserta Pemilu dan perolehan suara calon anggota DPR dan DPD

sebagaimana dimaksud pada ayat (3).


(5) KPU menetapkan rekapitulasi hasil penghitungan perolehan suara Partai

Politik Peserta Pemilu dan perolehan suara calon anggota DPR dan DPD.


(6) KPU menyerahkan berita acara rekapitulasi hasil penghitungan perolehan

suara dan sertifikat rekapitulasi hasil penghitungan perolehan suara Partai

Politik Peserta Pemilu dan perolehan suara calon anggota DPR, DPD, DPRD

provinsi, dan DPRD kabupaten/kota kepada saksi Peserta Pemilu dan

Bawaslu.


Pasal 195


(1) Bawaslu wajib menyampaikan laporan atas dugaan adanya pelanggaran,

penyimpangan dan/atau kesalahan dalam pelaksanaan rekapitulasi hasil

penghitungan perolehan suara Partai Politik Peserta Pemilu dan perolehan

suara calon anggota DPR, DPD, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota

kepada KPU.


(2) Saksi dapat menyampaikan laporan atas dugaan adanya pelanggaran,

penyimpangan dan/atau kesalahan dalam pelaksanaan rekapitulasi hasil

penghitungan perolehan suara Partai Politik Peserta Pemilu dan perolehan

suara calon anggota DPR, DPD, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota

kepada KPU.


(3) KPU wajib langsung menindaklanjuti laporan sebagaimana dimaksud pada

ayat (1) pada hari pelaksanaan rekapitulasi penghitungan perolehan suara

Partai Politik Peserta Pemilu dan perolehan suara calon anggota DPR, DPD,

DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota.


Pasal 196


(1) Rekapitulasi hasil penghitungan perolehan suara di KPU dituangkan ke

dalam berita acara rekapitulasi hasil penghitungan perolehan suara dan

sertifikat rekapitulasi hasil penghitungan perolehan suara Partai Politik

Peserta Pemilu dan perolehan suara calon anggota DPR, DPD, DPRD

provinsi, dan DPRD kabupaten/kota dengan menggunakan format yang

ditetapkan dalam peraturan KPU.


(2) Berita acara rekapitulasi hasil penghitungan perolehan suara dan sertifikat

rekapitulasi hasil penghitungan perolehan suara Partai Politik Peserta Pemilu

dan perolehan suara calon anggota DPR, DPD, DPRD provinsi, dan DPRD

kabupaten/kota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditandatangani oleh

seluruh anggota KPU dan saksi Peserta Pemilu yang hadir.

(3) Dalam hal terdapat anggota KPU dan saksi Peserta Pemilu yang hadir, tetapi

tidak bersedia menandatangani sebagaimana dimaksud pada ayat (2), berita

acara rekapitulasi hasil penghitungan perolehan suara dan sertifikat

rekapitulasi hasil penghitungan perolehan suara Partai Politik Peserta Pemilu

dan perolehan suara calon anggota DPR, DPD, DPRD provinsi, dan DPRD

kabupaten/kota ditandatangani oleh anggota KPU dan saksi Peserta Pemilu

yang hadir yang bersedia menandatangani.


Pasal 197

CETRO (Center for Electoral Reform)’65

Saksi Peserta Pemilu dalam rekapitulasi suara anggota DPR, DPD, DPRD

provinsi, dan DPRD kabupaten/kota di PPK, KPU kabupaten/kota, KPU provinsi,

dan KPU harus menyerahkan mandat tertulis dari Peserta Pemilu.


Bagian Keenam

Pengawasan dan Sanksi dalam

Penghitungan Suara dan Rekapitulasi Penghitungan Perolehan Suara


Pasal 198


(1) Bawaslu, Panwaslu provinsi, Panwaslu kabupaten/kota, Panwaslu

kecamatan dan Pengawas Pemilu Lapangan/Pengawas Pemilu Luar Negeri

melakukan pengawasan atas rekapitulasi penghitungan perolehan suara

yang dilaksanakan oleh KPU, KPU provinsi, KPU kabupaten/kota, PPK, dan

PPS/PPSLN.


(2) Pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan terhadap

kemungkinan adanya pelanggaran, penyimpangan dan/atau kesalahan oleh

anggota KPU, KPU provinsi, KPU kabupaten/kota, PPK/PPLN, PPS, dan

KPPS/KPPSLN dalam melakukan rekapitulasi penghitungan perolehan

suara.


(3) Dalam hal terdapat bukti permulaan yang cukup adanya pelanggaran,

penyimpangan dan/atau kesalahan dalam rekapitulasi penghitungan

perolehan suara, Bawaslu, Panwaslu provinsi, Panwaslu kabupaten/kota,

Panwaslu kecamatan, dan Pengawas Pemilu Lapangan/Pengawas Pemilu

Luar Negeri melaporkan adanya pelanggaran, penyimpangan dan/atau

kesalahan kepada Kepolisian Negara Republik Indonesia.


(4) Anggota KPU, KPU provinsi, KPU kabupaten/kota, PPK/PPLN, PPS, dan

KPPS/KPPSLN yang melakukan pelanggaran, penyimpangan dan/atau

kesalahan dikenai tindakan hukum sesuai dengan ketentuan dalam Undang-

Undang ini.


BAB XII

PENETAPAN HASIL PEMILU

Bagian Kesatu

Hasil Pemilu


Pasal 199


(1) Hasil Pemilu anggota DPR, DPD, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota

terdiri atas perolehan suara partai politik serta perolehan suara calon

anggota DPR, DPD, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota.

(2) KPU wajib menetapkan secara nasional hasil Pemilu anggota DPR, DPD,

DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota.


Bagian Kedua

Penetapan Perolehan Suara


Pasal 200


(1) Perolehan suara partai politik untuk calon anggota DPR dan perolehan suara

untuk calon anggota DPD ditetapkan oleh KPU dalam sidang pleno terbuka

yang dihadiri oleh para saksi Peserta Pemilu dan Bawaslu.


(2) Perolehan suara partai politik untuk calon anggota DPRD provinsi ditetapkan

oleh KPU provinsi dalam sidang pleno terbuka yang dihadiri oleh para saksi

Peserta Pemilu dan Panwaslu provinsi.


(3) Perolehan suara partai politik untuk calon anggota DPRD kabupaten/kota

ditetapkan oleh KPU kabupaten/kota dalam sidang pleno terbuka yang

dihadiri oleh para saksi Peserta Pemilu dan Panwaslu kabupaten/kota.


Pasal 201


(1) KPU menetapkan hasil Pemilu secara nasional dan hasil perolehan suara

partai politik untuk calon anggota DPR dan perolehan suara untuk calon

anggota DPD paling lambat 30 (tiga puluh) hari setelah hari/tanggal

pemungutan suara.


(2) KPU provinsi menetapkan hasil perolehan suara partai politik untuk calon

anggota DPRD provinsi paling lambat 15 (lima belas) hari setelah

hari/tanggal pemungutan suara.


(3) KPU kabupaten/kota menetapkan hasil perolehan suara partai politik untuk

calon anggota DPRD kabupaten/kota paling lambat 12 (dua belas) hari

setelah hari/tanggal pemungutan suara.


Pasal 202


(1) Partai Politik Peserta Pemilu harus memenuhi ambang batas perolehan suara

sekurang-kurangnya 2,5% (dua koma lima perseratus) dari jumlah suara sah

secara nasional untuk diikutkan dalam penentuan perolehan kursi DPR.


(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku dalam

penentuan perolehan kursi DPRD provinsi dan DPRD kabupaten/kota.


Pasal 203


(1) Partai Politik Peserta Pemilu yang tidak memenuhi ambang batas perolehan

suara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 202 ayat (1), tidak disertakan

pada penghitungan perolehan kursi DPR di masing-masing daerah pemilihan.


(2) Suara untuk penghitungan perolehan kursi DPR di suatu daerah pemilihan

ialah jumlah suara sah seluruh Partai Politik Peserta Pemilu dikurangi jumlah

suara sah Partai Politik Peserta Pemilu yang tidak memenuhi ambang batas

perolehan suara sebagaimana dimaksud`dalam Pasal 202 ayat (1).


(3) Dari hasil penghitungan suara sah yang diperoleh partai politik peserta pemilu

sebagaimana dimaksud pada ayat (2) di suatu daerah pemilihan ditetapkan

angka BPP DPR dengan cara membagi jumlah suara sah Partai Politik

Peserta Pemilu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dengan jumlah kursi di

satu daerah pemilihan.


BAB XIII

PENETAPAN PEROLEHAN KURSI DAN CALON TERPILIH

Bagian Kesatu

CETRO (Center for Electoral Reform)

67

Penetapan Perolehan Kursi


Pasal 204


(1) Perolehan kursi Partai Politik Peserta Pemilu untuk anggota DPR ditetapkan

oleh KPU.


(2) Perolehan kursi Partai Politik Peserta Pemilu untuk anggota DPRD provinsi

ditetapkan oleh KPU provinsi.


(3) Perolehan kursi Partai Politik Peserta Pemilu untuk anggota DPRD

kabupaten/kota ditetapkan oleh KPU kabupaten/kota.


Pasal 205


(1) Penentuan perolehan jumlah kursi anggota DPR Partai Politik Peserta

Pemilu didasarkan atas hasil penghitungan seluruh suara sah dari setiap

Partai Politik Peserta Pemilu yang memenuhi ketentuan Pasal 202 di daerah

pemilihan yang bersangkutan.


(2) Dari hasil penghitungan seluruh suara sah sebagaimana dimaksud pada ayat

(1) ditetapkan angka BPP DPR.


(3) Setelah ditetapkan angka BPP DPR dilakukan penghitungan perolehan kursi

tahap pertama dengan membagi jumlah suara sah yang diperoleh suatu

Partai Politik Peserta Pemilu di suatu daerah pemilihan dengan BPP DPR.


(4) Dalam hal masih terdapat sisa kursi dilakukan penghitungan perolehan kursi

tahap kedua dengan cara membagikan jumlah sisa kursi yang belum terbagi

kepada Partai Politik Peserta Pemilu yang memperoleh suara sekurangkurangnya 50% (lima puluh perseratus) dari BPP DPR.


(5) Dalam hal masih terdapat sisa kursi setelah dilakukan penghitungan tahap

kedua, maka dilakukan penghitungan perolehan kursi tahap ketiga dengan

cara seluruh sisa suara Partai Politik Peserta Pemilu dikumpulkan di provinsi

untuk menentukan BPP DPR yang baru di provinsi yang bersangkutan.


(6) BPP DPR yang baru di provinsi yang bersangkutan sebagaimana dimaksud

pada ayat (5) ditetapkan dengan membagi jumlah sisa suara sah seluruh

Partai Politik Peserta Pemilu dengan jumlah sisa kursi.


(7) Penetapan perolehan kursi Partai Politik Peserta Pemilu sebagaimana

dimaksud pada ayat (5) dilakukan dengan cara memberikan kursi kepada

partai politik yang mencapai BPP DPR yang baru di provinsi yang

bersangkutan.


Pasal 206


Dalam hal masih terdapat sisa kursi yang belum terbagi dengan BPP DPR yang

baru sebagaimana dimaksud dalam Pasal 205, penetapan perolehan kursi Partai

Politik Peserta Pemilu dilakukan dengan cara membagikan sisa kursi kepada

Partai Politik Peserta Pemilu di provinsi satu demi satu berturut-turut sampai

semua sisa kursi habis terbagi berdasarkan sisa suara terbanyak.


Pasal 207


Dalam hal masih terdapat sisa kursi yang belum terbagi sebagaimana dimaksud

dalam Pasal 206 dan sisa suara Partai Politik Peserta Pemilu sudah terkonversi

menjadi kursi, maka kursi diberikan kepada partai politik yang memiliki akumulasi

perolehan suara terbanyak secara berturut-turut di provinsi yang bersangkutan.


Pasal 208


Penetapan perolehan kursi Partai Politik Peserta Pemilu sebagaimana dimaksud

dalam Pasal 205 ayat (7) dan Pasal 206 dialokasikan bagi daerah pemilihan yang masih memiliki sisa kursi.

Pasal 209


Dalam hal daerah pemilihan adalah provinsi maka penghitungan sisa suara

dilakukan habis di daerah pemilihan tersebut.


Pasal 210


Ketentuan lebih lanjut penetapan perolehan kursi sebagaimana dimaksud dalam

Pasal 205, Pasal 206, Pasal 207, Pasal 208, dan Pasal 209 diatur dalam

peraturan KPU.


Pasal 211


(1) Perolehan kursi Partai Politik Peserta Pemilu untuk anggota DPRD provinsi

ditetapkan dengan cara membagi jumlah perolehan suara sah yang telah

ditetapkan oleh KPU provinsi dengan angka BPP DPRD di daerah pemilihan

masing-masing.


(2) BPP DPRD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan cara

membagi jumlah perolehan suara sah Partai Politik Peserta Pemilu untuk

anggota DPRD provinsi dengan jumlah kursi anggota DPRD provinsi di

daerah pemilihan masing-masing.


(3) Dalam hal masih terdapat sisa kursi setelah dialokasikan berdasarkan BPP

DPRD, maka perolehan kursi Partai Politik Peserta Pemilu dilakukan dengan

cara membagikan sisa kursi berdasarkan sisa suara terbanyak satu persatu

sampai habis.


Pasal 212


(1) Perolehan kursi Partai Politik Peserta Pemilu untuk anggota DPRD

kabupaten/kota ditetapkan dengan cara membagi jumlah perolehan suara

sah yang telah ditetapkan oleh KPU kabupaten/kota dengan angka BPP

DPRD di daerah pemilihan masing-masing.


(2) BPP DPRD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan cara

membagi jumlah perolehan suara sah Partai Politik Peserta Pemilu untuk

pemilihan anggota DPRD kabupaten/kota dengan jumlah kursi anggota

DPRD kabupaten/kota di daerah pemilihan masing-masing.


(3) Dalam hal masih terdapat sisa kursi setelah dialokasikan berdasarkan BPP

DPRD, maka perolehan kursi partai politik peserta pemilu dilakukan dengan

cara membagikan sisa kursi berdasarkan sisa suara terbanyak satu persatu

sampai habis.



Bagian Kedua

CETRO (Center for Electoral Reform)

69

Penetapan Calon Terpilih


Pasal 213


(1) Calon terpilih anggota DPR dan anggota DPD ditetapkan oleh KPU.


(2) Calon terpilih anggota DPRD provinsi ditetapkan oleh KPU provinsi.


(3) Calon terpilih anggota DPRD kabupaten/kota ditetapkan oleh KPU

kabupaten/kota.


Pasal 214


Penetapan calon terpilih anggota DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD kabupaten/kota dari Partai Politik Peserta Pemilu didasarkan pada perolehan kursi Partai Politik Peserta Pemilu di suatu daerah pemilihan, dengan ketentuan:

(1) pemilihan.

a. calon terpilih anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota

ditetapkan berdasarkan calon yang memperoleh suara sekurang-kurangnya

30% (tiga puluh perseratus) dari BPP;

b. dalam hal calon yang memenuhi ketentuan huruf a jumlahnya lebih banyak

daripada jumlah kursi yang diperoleh partai politik peserta pemilu, maka kursi

diberikan kepada calon yang memiliki nomor urut lebih kecil di antara calon

yang memenuhi ketentuan sekurang-kurangnya 30% (tiga puluh perseratus)

dari BPP;

c. dalam hal terdapat dua calon atau lebih yang memenuhi ketentuan huruf a

dengan perolehan suara yang sama, maka penentuan calon terpilih diberikan

kepada calon yang memiliki nomor urut lebih kecil di antara calon yang

memenuhi ketentuan sekurang-kurangnya 30% (tiga puluh perseratus) dari

BPP, kecuali bagi calon yang memperoleh suara 100% (seratus perseratus)

dari BPP;

d. dalam hal calon yang memenuhi ketentuan huruf a jumlahnya kurang dari

jumlah kursi yang diperoleh partai politik peserta pemilu, maka kursi yang

belum terbagi diberikan kepada calon berdasarkan nomor urut;

e. dalam hal tidak ada calon yang memperoleh suara sekurang-kurangnya 30%

(tiga puluh perseratus) dari BPP, maka calon terpilih ditetapkan berdasarkan

nomor urut;


Pasal 215


(2) Penetapan calon terpilih anggota DPD didasarkan pada nama calon yang

memperoleh suara terbanyak pertama, kedua, ketiga, dan keempat di

provinsi yang bersangkutan.


(3) Dalam hal perolehan suara calon terpilih keempat terdapat jumlah suara

yang sama, calon yang memperoleh dukungan pemilih yang lebih merata

penyebarannya di seluruh kabupaten/kota di provinsi tersebut ditetapkan

sebagai calon terpilih.


(4) KPU menetapkan calon pengganti antar waktu anggota DPD dari nama calon

yang memperoleh suara terbanyak kelima, keenam, ketujuh, dan kedelapan

di provinsi yang bersangkutan.

(Center for Electoral Reform)

70

BAB XIV

PEMBERITAHUAN CALON TERPILIH


Pasal 216


(1) Pemberitahuan calon terpilih anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD

kabupaten/kota dilakukan setelah ditetapkan oleh KPU, KPU provinsi, dan

KPU kabupaten/kota.


(2) Pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan secara

tertulis kepada pengurus Partai Politik Peserta Pemilu sesuai dengan

tingkatannya dengan tembusan kepada calon terpilih yang bersangkutan.


Pasal 217


(1) Pemberitahuan calon terpilih anggota DPD dilakukan setelah ditetapkan oleh

KPU.


(2) Pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan secara

tertulis kepada calon terpilih anggota DPD yang memperoleh suara

terbanyak pertama, kedua, ketiga, dan keempat dengan tembusan kepada

gubernur dan KPU provinsi yang bersangkutan.


BAB XV

PENGGANTIAN CALON TERPILIH


Pasal 218


(1) Penggantian calon terpilih anggota DPR, DPD, DPRD provinsi, dan DPRD

kabupaten/kota dilakukan apabila calon terpilih yang bersangkutan:

a. meninggal dunia;

b. mengundurkan diri;

c. tidak lagi memenuhi syarat untuk menjadi anggota DPR, DPD, DPRD

provinsi, atau DPRD kabupaten/kota;

d. terbukti melakukan tindak pidana Pemilu berupa politik uang atau

pemalsuan dokumen berdasarkan putusan pengadilan yang telah

mempunyai kekuatan hukum tetap.

(2) Dalam hal calon terpilih anggota DPR, DPD, DPRD provinsi, dan DPRD

kabupaten/kota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, huruf b, huruf

c, atau huruf d telah ditetapkan dengan keputusan KPU, KPU provinsi atau

KPU kabupaten/kota, keputusan penetapan yang bersangkutan batal demi

hukum.


(3) Calon terpilih anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota

sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diganti dengan calon dari daftar calon

tetap Partai Politik Peserta Pemilu pada daerah pemilihan yang sama

berdasarkan surat keputusan pimpinan partai politik yang bersangkutan.

nyesuaikan hasil lobby

(4) Calon terpilih anggota DPD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diganti

dengan calon yang memperoleh suara terbanyak berikutnya.


(5) KPU, KPU provinsi, atau KPU kabupaten/kota menetapkan calon anggota

DPR, DPD, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota sebagai calon terpilih

pengganti sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dengan keputusan KPU,

KPU provinsi, atau KPU kabupaten/kota .


BAB XVI

PEMUNGUTAN SUARA ULANG, PENGHITUNGAN SUARA ULANG,

DAN REKAPITULASI SUARA ULANG

Bagian Kesatu

Pemungutan Suara Ulang


Pasal 219


(1) Pemungutan suara di TPS dapat diulang apabila terjadi bencana alam

dan/atau kerusuhan yang mengakibatkan hasil pemungutan suara tidak

dapat digunakan atau penghitungan suara tidak dapat dilakukan.


(2) Pemungutan suara di TPS wajib diulang apabila dari hasil penelitian dan

pemeriksaan Pengawas Pemilu Lapangan terbukti terdapat keadaan sebagai

berikut:

a. pembukaan kotak suara dan/atau berkas pemungutan dan penghitungan

suara tidak dilakukan menurut tata cara yang ditetapkan dalam peraturan

perundang-undangan;

b. petugas KPPS meminta pemilih memberikan tanda khusus,

menandatangani, atau menuliskan nama atau alamatnya pada surat

suara yang sudah digunakan; dan/atau

c. petugas KPPS merusak lebih dari satu surat suara yang sudah

digunakan oleh pemilih sehingga surat suara tersebut menjadi tidak sah.


Pasal 220


(1) Pemungutan suara ulang diusulkan oleh KPPS dengan menyebutkan

keadaan yang menyebabkan diadakannya pemungutan suara ulang.


(2) Usul KPPS diteruskan kepada PPK untuk selanjutnya diajukan kepada KPU

kabupaten/kota untuk pengambilan keputusan diadakannya pemungutan

suara ulang.


(3) Pemungutan suara ulang di TPS dilaksanakan paling lama 10 (sepuluh) hari

setelah hari/tanggal pemungutan suara berdasarkan keputusan PPK.


Bagian Kedua

Penghitungan Suara Ulang

dan Rekapitulasi Suara Ulang


Pasal 221


(1) Penghitungan suara ulang berupa penghitungan ulang surat suara di TPS,

penghitungan suara ulang di PPK, dan rekapitulasi suara ulang di PPK, di

KPU kabupaten/kota, dan di KPU provinsi.


(2) Penghitungan suara di TPS dapat diulang apabila terjadi hal sebagai berikut:

a. kerusuhan yang mengakibatkan penghitungan suara tidak dapat

dilanjutkan;

b. penghitungan suara dilakukan secara tertutup;

c. penghitungan suara dilakukan di tempat yang kurang terang atau yang

kurang mendapat penerangan cahaya;

d. penghitungan suara dilakukan dengan suara yang kurang jelas;

e. penghitungan suara dicatat dengan tulisan yang kurang jelas;

f. saksi Peserta Pemilu, Pengawas Pemilu Lapangan, dan warga

masyarakat tidak dapat menyaksikan proses penghitungan suara secara

jelas;

g. penghitungan suara dilakukan di tempat lain di luar tempat dan waktu

yang telah ditentukan; dan/atau

h. terjadi ketidakkonsistenan dalam menentukan surat suara yang sah dan

surat suara yang tidak sah.


Pasal 222


(1) Dalam hal terjadi keadaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 221 ayat (2),

saksi Peserta Pemilu atau Pengawas Pemilu Lapangan dapat mengusulkan

penghitungan ulang surat suara di TPS yang bersangkutan.


(2) Penghitungan ulang surat suara di TPS harus dilaksanakan dan selesai pada

hari/tanggal yang sama dengan hari/tanggal pemungutan suara.


Pasal 223


Rekapitulasi hasil penghitungan suara di PPK, KPU kabupaten/kota, dan KPU

provinsi dapat diulang apabila terjadi keadaan sebagai berikut:

a. kerusuhan yang mengakibatkan rekapitulasi hasil penghitungan suara tidak

dapat dilanjutkan;

b. rekapitulasi hasil penghitungan suara dilakukan secara tertutup;

c. rekapitulasi hasil penghitungan suara dilakukan di tempat yang kurang terang atau kurang mendapatkan penerangan cahaya;

d. rekapitulasi hasil penghitungan suara dilakukan dengan suara yang kurang

jelas;

e. rekapitulasi hasil penghitungan suara dicatat dengan tulisan yang kurang jelas;

f. saksi Peserta Pemilu, Pengawas Pemilu Lapangan, pemantau Pemilu, dan

warga masyarakat tidak dapat menyaksikan proses rekapitulasi hasil

penghitungan suara secara jelas; dan/atau

g. rekapitulasi hasil penghitungan suara dilakukan di tempat lain di luar tempat dan waktu yang telah ditentukan.


Pasal 224


(1) Dalam hal terjadi keadaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 223, saksi

Peserta Pemilu atau Panwaslu kecamatan, Panwaslu kabupaten/kota, dan

Panwaslu provinsi dapat mengusulkan untuk dilaksanakan rekapitulasi hasil

penghitungan suara di PPK, KPU kabupaten/kota, dan KPU provinsi yang

bersangkutan.


(2) Rekapitulasi hasil penghitungan suara di PPK, KPU kabupaten/kota, dan KPU provinsi harus dilaksanakan dan selesai pada hari/tanggal pelaksanaan

rekapitulasi.

CETRO (Center for Electoral Reform)

73

Pasal 225


(1) Dalam hal terdapat perbedaan jumlah suara pada sertifikat hasil

penghitungan suara dari TPS dengan sertifikat hasil penghitungan suara

yang diterima PPK melalui PPS, saksi Peserta Pemilu tingkat kecamatan dan

saksi Peserta Pemilu di TPS, Panwaslu kecamatan, atau Pengawas Pemilu

Lapangan, maka PPK melakukan penghitungan suara ulang untuk TPS yang

bersangkutan.


(2) Penghitungan suara ulang di TPS dan rekapitulasi hasil penghitungan suara

ulang di PPK sebagaimana dimaksud dalam Pasal 221 ayat (2) dan Pasal

223 dilaksanakan paling lama 5 (lima) hari setelah hari/tanggal pemungutan

suara berdasarkan keputusan PPK.


Pasal 226


Penghitungan suara ulang untuk TPS yang bersangkutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 225 ayat (1) dilakukan dengan cara membuka kotak suara hanya dilakukan di PPK.


Pasal 227


(1) Dalam hal terjadi perbedaan jumlah suara pada sertifikat rekapitulasi hasil

penghitungan perolehan suara dari PPK dengan sertifikat rekapitulasi hasil

penghitungan perolehan suara yang diterima oleh KPU kabupaten/kota,

saksi Peserta Pemilu tingkat kabupaten/kota dan saksi Peserta Pemilu

tingkat kecamatan, Panwaslu kabupaten/Kota, atau Panwaslu kecamatan,

maka KPU kabupaten/kota melakukan pembetulan data melalui pengecekan

dan/atau rekapitulasi ulang data yang termuat pada sertifikat rekapitulasi

hasil penghitungan perolehan suara untuk PPK yang bersangkutan.


(2) Dalam hal terjadi perbedaan data jumlah suara pada sertifikat rekapitulasi

hasil penghitungan suara dari KPU kabupaten/kota dengan sertifikat

rekapitulasi hasil penghitungan suara yang diterima oleh KPU provinsi, saksi

Peserta Pemilu tingkat provinsi dan saksi Peserta Pemilu tingkat

kabupaten/kota, panitia pengawas Pemilu provinsi, atau panitia pengawas

Pemilu kabupaten/kota, maka KPU provinsi melakukan pembetulan data

melalui pengecekan dan/atau rekapitulasi ulang data yang termuat pada

sertifikat rekapitulasi hasil penghitungan perolehan suara untuk KPU

kabupaten/kota yang bersangkutan.


(3) Dalam hal terjadi perbedaan data jumlah suara pada sertifikat rekapitulasi

hasil penghitungan suara dari KPU provinsi dengan sertifikat rekapitulasi

hasil penghitungan suara yang diterima oleh KPU, saksi Peserta Pemilu

tingkat pusat dan saksi Peserta Pemilu tingkat provinsi, Badan Pengawas

Pemilu, atau panitia pengawas Pemilu provinsi, maka KPU melakukan

pembetulan data melalui pengecekan dan/atau rekapitulasi ulang data yang

termuat pada sertifikat rekapitulasi hasil penghitungan perolehan suara untuk

KPU provinsi yang bersangkutan.


BAB XVII

PEMILU LANJUTAN DAN PEMILU SUSULAN


Pasal 228


(1) Dalam hal di sebagian atau seluruh daerah pemilihan terjadi kerusuhan,

gangguan keamanan, bencana alam atau gangguan lainnya yang

mengakibatkan sebagian tahapan penyelenggaraan Pemilu tidak dapat

dilaksanakan, dilakukan Pemilu lanjutan.


(2) Pelaksanaan Pemilu lanjutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dimulai

dari tahap penyelenggaraan Pemilu yang terhenti.

Pasal 229


(1) Dalam hal di suatu daerah pemilihan terjadi kerusuhan, gangguan

keamanan, bencana alam atau gangguan lainnya yang mengakibatkan

seluruh tahapan penyelenggaraan Pemilu tidak dapat dilaksanakan,

dilakukan Pemilu susulan.


(2) Pelaksanaan Pemilu susulan dilakukan untuk seluruh tahapan

penyelengaraan Pemilu.


Pasal 230


(1) Pemilu lanjutan dan Pemilu susulan dilaksanakan setelah ada penetapan

penundaan pelaksanaan Pemilu.


(2) Penetapan penundaan pelaksanaan Pemilu dilakukan oleh:

a. KPU kabupaten/kota atas usul PPK apabila penundaan pelaksanaan

Pemilu meliputi satu atau beberapa desa/kelurahan;

b. KPU kabupaten/kota atas usul PPK apabila penundaan pelaksanaan

Pemilu meliputi satu atau beberapa kecamatan;

c. KPU provinsi atas usul KPU kabupaten/kota apabila penundaan

pelaksanaan Pemilu meliputi satu atau beberapa kabupaten/kota;

d. KPU atas usul KPU provinsi apabila penundaan pelaksanaan Pemilu

meliputi satu atau beberapa provinsi.


(3) Dalam hal Pemilu tidak dapat dilaksanakan di 40% (empat puluh perseratus)

jumlah provinsi atau 50% (lima puluh perseratus) dari jumlah pemilih terdaftar

secara nasional tidak dapat menggunakan haknya untuk memilih, penetapan

Pemilu lanjutan atau Pemilu susulan dilakukan oleh Presiden atas usul KPU.


(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara dan waktu pelaksanaan Pemilu

lanjutan atau Pemilu susulan diatur dalam peraturan KPU.


BAB XVIII

PEMANTAUAN PEMILU

Bagian Kesatu

Pemantau Pemilu


Pasal 231


(1) Pelaksanaan Pemilu dapat dipantau oleh pemantau Pemilu.


(2) Pemantau Pemilu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:

a. lembaga swadaya masyarakat pemantau Pemilu dalam negeri;

b. badan hukum dalam negeri;

c. lembaga pemantau pemilihan dari luar negeri;

CETRO (Center for Electoral Reform)

75

d. lembaga pemilihan luar negeri; dan

e. perwakilan negara sahabat di Indonesia.


Bagian Kedua

Persyaratan dan Tata Cara Menjadi Pemantau Pemilu


Pasal 232


(1) Pemantau Pemilu harus memenuhi persyaratan:

a. bersifat independen;

b. mempunyai sumber dana yang jelas; dan

c. terdaftar dan memperoleh akreditasi dari KPU, KPU provinsi, atau KPU

kabupaten/kota sesuai dengan cakupan wilayah pemantauannya.


(2) Selain memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (1),

pemantau dari luar negeri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 231 ayat (2)

huruf c, huruf d, dan huruf e harus memenuhi persyaratan khusus:

a. mempunyai kompetensi dan pengalaman sebagai pemantau Pemilu di

negara lain, yang dibuktikan dengan surat pernyataan dari organisasi

pemantau yang bersangkutan atau dari pemerintah negara lain tempat

yang bersangkutan pernah melakukan pemantauan;

b. memperoleh visa untuk menjadi pemantau Pemilu dari Perwakilan

Republik Indonesia di Luar Negeri;

c. memenuhi tata cara melakukan pemantauan yang diatur dalam peraturan

perundang-undangan.


Pasal 233


(1) Pemantau Pemilu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 231 ayat (2)

mengajukan permohonan untuk melakukan pemantauan Pemilu dengan

mengisi formulir pendaftaran yang disediakan oleh KPU, KPU provinsi, atau

KPU kabupaten/kota.


(2) Pemantau Pemilu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengembalikan

formulir pendaftaran kepada KPU, KPU provinsi, atau KPU kabupaten/kota

dengan menyerahkan kelengkapan administrasi yang meliputi:

a. profil organisasi/lembaga;

b. nama dan jumlah anggota pemantau;

c. alokasi anggota pemantau yang akan ditempatkan ke daerah;

d. rencana dan jadwal kegiatan pemantauan serta daerah yang ingin

dipantau;

e. nama, alamat, dan pekerjaan penanggung jawab pemantau yang

dilampiri pas foto diri terbaru;


(3) KPU, KPU provinsi, atau KPU kabupaten/kota meneliti kelengkapan

administrasi pemantau Pemilu sebagaimana dimaksud pada ayat (2).

(4) Pemantau Pemilu yang memenuhi persyaratan diberi tanda terdaftar sebagai

pemantau Pemilu serta mendapatkan sertifikat akreditasi.

ETRO (Center for Electoral Reform)

76

(5) Dalam hal pemantau Pemilu tidak memenuhi kelengkapan administrasi

sebagaimana dimaksud pada ayat (2), pemantau Pemilu yang bersangkutan

dilarang melakukan pemantauan Pemilu.


(6) Khusus pemantau yang berasal dari perwakilan negara sahabat di Indonesia

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 231 ayat (2) huruf e, yang

bersangkutan harus mendapatkan rekomendasi Menteri Luar Negeri.


(7) Tata cara akreditasi pemantau Pemilu diatur lebih lanjut dalam peraturan

KPU.


Bagian Ketiga

Wilayah Kerja Pemantau Pemilu


Pasal 234


(1) Pemantau Pemilu melakukan pemantauan pada satu daerah pemantauan

sesuai dengan rencana pemantauan yang telah diajukan kepada KPU, KPU

provinsi, atau KPU kabupaten/kota.


(2) Pemantau Pemilu yang melakukan pemantauan pada lebih dari satu provinsi

harus mendapatkan persetujuan KPU dan wajib melapor ke KPU provinsi

masing-masing.


(3) Pemantau Pemilu yang melakukan pemantauan pada lebih dari satu

kabupaten/kota pada satu provinsi harus mendapatkan persetujuan KPU

provinsi dan wajib melapor ke KPU kabupaten/kota masing-masing.


(4) Persetujuan atas wilayah kerja pemantau luar negeri dikeluarkan oleh KPU.


Bagian Keempat

Tanda Pengenal Pemantau Pemilu


Pasal 235


(1) Tanda pengenal pemantau Pemilu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 231

ayat (2) huruf a dan huruf b dikeluarkan oleh KPU, KPU provinsi, atau KPU

kabupaten/kota sesuai dengan wilayah kerja yang bersangkutan.


(2) Tanda pengenal pemantau Pemilu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 231

ayat (2) huruf c, huruf d, dan huruf e dikeluarkan oleh KPU.


(3) Tanda pengenal sebagaimana dimaksud pada ayat (2) terdiri atas:

a. tanda pengenal pemantau asing biasa; dan

b. tanda pengenal pemantau asing diplomat.


(4) Pada tanda pengenal pemantau Pemilu sebagaimana dimaksud pada ayat

(1) dan ayat (2) dimuat informasi tentang :

a. nama dan alamat pemantau Pemilu yang memberi tugas;

b. nama anggota pemantau yang bersangkutan;

c. pas foto diri terbaru anggota pemantau yang bersangkutan;

d. wilayah kerja pemantauan; dan

e. nomor dan tanggal akreditasi.O (Center for Electoral Reform)

77

(5) Tanda pengenal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) digunakan dalam

setiap kegiatan pemantauan Pemilu.


(6) Bentuk dan format tanda pengenal pemantau Pemilu diatur dalam peraturan

KPU.


Bagian Kelima

Hak dan Kewajiban Pemantau Pemilu


Pasal 236


(1) Pemantau Pemilu mempunyai hak:

a. mendapat perlindungan hukum dan keamanan dari Pemerintah

Indonesia;

b. mengamati dan mengumpulkan informasi proses penyelenggaraan

Pemilu;

c. memantau proses pemungutan dan penghitungan suara dari luar TPS;

d. mendapatkan akses informasi yang tersedia dari KPU, KPU provinsi, dan

KPU kabupaten/kota; dan

e. menggunakan perlengkapan untuk mendokumentasikan kegiatan

pemantauan sepanjang berkaitan dengan pelaksanaan Pemilu.


(2) Pemantau asing yang berasal dari perwakilan negara asing yang berstatus

diplomat berhak atas kekebalan diplomatik selama menjalankan tugas

sebagai pemantau Pemilu.


Pasal 237


Pemantau Pemilu mempunyai kewajiban:

a. mematuhi peraturan perundang-undangan dan menghormati kedaulatan

Negara Kesatuan Republik Indonesia;

b. mematuhi kode etik pemantau Pemilu yang diterbitkan oleh KPU;

c. melaporkan diri, mengurus proses akreditasi dan tanda pengenal ke KPU, KPU

provinsi atau KPU kabupaten/kota sesuai dengan wilayah kerja pemantauan;

d. menggunakan tanda pengenal selama menjalankan pemantauan;

e. menanggung semua biaya pelaksanaan kegiatan pemantauan;

f. melaporkan jumlah dan keberadaan personel pemantau Pemilu serta tenaga

pendukung administratif kepada KPU, KPU provinsi, atau KPU kabupaten/kota

sesuai dengan wilayah pemantauan;

g. menghormati kedudukan, tugas, dan wewenang penyelenggara Pemilu;

h. menghormati adat istiadat dan budaya setempat;

i. bersikap netral dan objektif dalam melaksanakan pemantauan;

j. menjamin akurasi data dan informasi hasil pemantauan yang dilakukan dengan

mengklarifikasikan kepada KPU, KPU provinsi atau KPU kabupaten/kota; dan

k. melaporkan hasil akhir pemantauan pelaksanaan Pemilu kepada KPU, KPU

provinsi, dan KPU kabupaten/kota.


Bagian Keenam

Larangan bagi Pemantau Pemilu


8

Pasal 238


Pemantau Pemilu dilarang:

a. melakukan kegiatan yang mengganggu proses pelaksanaan Pemilu;

b. memengaruhi pemilih dalam menggunakan haknya untuk memilih;

c. mencampuri pelaksanaan tugas dan wewenang penyelenggara Pemilu;

d. memihak kepada Peserta Pemilu tertentu;

e. menggunakan seragam, warna, atau atribut lain yang memberikan kesan

mendukung Peserta Pemilu;

f. menerima atau memberikan hadiah, imbalan, atau fasilitas apa pun dari atau

kepada Peserta Pemilu;

g. mencampuri dengan cara apa pun urusan politik dan pemerintahan dalam

negeri Indonesia;

h. membawa senjata, bahan peledak dan/atau bahan berbahaya lainnya selama

melakukan tugas pemantauan;

i. masuk ke dalam TPS;

j. melakukan kegiatan lain yang tidak sesuai dengan tujuan sebagai pemantau

Pemilu.


Bagian Ketujuh

Sanksi bagi Pemantau Pemilu


pasal 239


Pemantau Pemilu yang melanggar kewajiban dan larangan sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 237 dan Pasal 238 dicabut status dan haknya sebagai

pemantau Pemilu.


Pasal 240


(1) Pelanggaran oleh pemantau Pemilu atas kewajiban dan larangan

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 237 dan Pasal 238 dilaporkan kepada

KPU kabupaten/kota untuk ditindaklanjuti.


(2) Dalam hal pelanggaran atas kewajiban dan larangan sebagaimana dimaksud

dalam Pasal 237 dan Pasal 238 dilakukan oleh pemantau dalam negeri dan

terbukti kebenarannya, maka KPU, KPU provinsi, atau KPU kabupaten/kota

mencabut status dan haknya sebagai pemantau Pemilu.


(3) Dalam hal pelanggaran atas kewajiban dan larangan sebagaimana dimaksud

dalam Pasal 237 dan Pasal 238 dilakukan oleh pemantau asing dan terbukti

kebenarannya, maka KPU mencabut status dan haknya sebagai pemantau

Pemilu.


(4) Pelanggaran atas kewajiban dan larangan yang bersifat tindak pidana

dan/atau perdata yang dilakukan oleh pemantau Pemilu, pemantau Pemilu

yang bersangkutan dikenai sanksi sesuai peraturan perundang-undangan.


Pasal 241


Menteri yang membidangi hukum dan hak asasi manusia menindaklanjuti

penetapan pencabutan status dan hak pemantau asing sebagaimana dimaksud

dalam Pasal 240 ayat (3) setelah berkoordinasi dengan Menteri Luar Negeri sesuai dengan peraturan perundang-undangan.


Bagian Kedelapan

Pelaksanaan Pemantauan


Pasal 242


Sebelum melaksanakan pemantauan, pemantau Pemilu melapor kepada KPU,

KPU provinsi, KPU kabupaten/kota, dan Kepolisian Negara Republik Indonesia di daerah.


Pasal 243


Petunjuk teknis pelaksanaan pemantauan diatur dalam peraturan KPU dengan

memperhatikan pertimbangan dari Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia.


BAB XIX

PARTISIPASI MASYARAKAT

DALAM PENYELENGGARAAN PEMILU


Pasal 244


(1) Pemilu diselenggarakan dengan partisipasi masyarakat.

(2) Partisipasi masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan

dalam bentuk sosialisasi Pemilu, pendidikan politik bagi pemilih, survei atau

jajak pendapat tentang Pemilu, dan penghitungan cepat hasil Pemilu, dengan

ketentuan:

a. tidak melakukan keberpihakan yang menguntungkan atau merugikan

salah satu Peserta Pemilu.

b. tidak mengganggu proses penyelenggaraan tahapan Pemilu.

c. bertujuan meningkatkan partisipasi politik masyarakat secara luas.

d. mendorong terwujudnya suasana yang kondusif bagi penyelenggaraan

Pemilu yang aman, damai, tertib, dan lancar.


Pasal 245


(1) Partisipasi masyarakat dalam bentuk sosialisasi Pemilu, pendidikan politik

bagi pemilih, survei atau jajak pendapat tentang Pemilu, dan penghitungan

cepat hasil Pemilu wajib mengikuti ketentuan yang diatur oleh KPU.


(2) Pengumuman hasil survei atau jajak pendapat tidak boleh dilakukan pada

masa tenang.


(3) Pengumuman hasil penghitungan cepat hanya boleh dilakukan paling cepat

pada hari berikutnya dari hari/tanggal pemungutan suara.


(4) Pelaksana kegiatan penghitungan cepat wajib memberitahukan metodologi

yang digunakannya dan hasil penghitungan cepat yang dilakukannya bukan

merupakan hasil resmi penyelenggara Pemilu.


(5) Pelanggaran terhadap ketentuan ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) merupakan

tindak pidana Pemilu.


Pasal 246


Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan partisipasi masyarakat dalam

penyelenggaraan Pemilu diatur dalam peraturan KPU.


BAB XX

PENYELESAIAN PELANGGARAN PEMILU

DAN PERSELISIHAN HASIL PEMILU

Bagian Kesatu

Penyelesaian Pelanggaran Pemilu

Paragraf 1

Penanganan Laporan Pelanggaran Pemilu


Pasal 247


(1) Bawaslu, Panwaslu provinsi, Panwaslu kabupaten/kota, Panwaslu

kecamatan, Pengawas Pemilu Lapangan dan Pengawas Pemilu Luar Negeri

menerima laporan pelanggaran Pemilu pada setiap tahapan

penyelenggaraan Pemilu.


(2) Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat disampaikan oleh:

a. Warga Negara Indonesia yang mempunyai hak pilih;

b. pemantau Pemilu; atau

c. Peserta Pemilu.


(3) Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan secara tertulis

kepada Bawaslu, Panwaslu provinsi, Panwaslu kabupaten/kota, Panwaslu

kecamatan, Pengawas Pemilu Lapangan dan Pengawas Pemilu Luar Negeri

dengan paling sedikit memuat:

a. nama dan alamat pelapor;

b. pihak terlapor;

c. waktu dan tempat kejadian perkara; dan

d. uraian kejadian.


(4) Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan paling lama 3

(tiga) hari sejak terjadinya pelanggaran Pemilu.


(5) Bawaslu, Panwaslu provinsi, Panwaslu kabupaten/kota, Panwaslu

kecamatan, Pengawas Pemilu Lapangan dan Pengawas Pemilu Luar Negeri

mengkaji setiap laporan pelanggaran yang diterima.


(6) Dalam hal laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terbukti

kebenarannya, Bawaslu, Panwaslu provinsi, Panwaslu kabupaten/kota,

Panwaslu kecamatan, Pengawas Pemilu Lapangan dan Pengawas Pemilu

Luar Negeri wajib menindaklanjuti laporan paling lama 3 (tiga) hari setelah

laporan diterima.


(7) Dalam hal Bawaslu, Panwaslu provinsi, Panwaslu kabupaten/kota, Panwaslu

kecamatan, Pengawas Pemilu Lapangan dan Pengawas Pemilu Luar Negeri

memerlukan keterangan tambahan dari pelapor mengenai tindak lanjut

sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilakukan paling lama 5 (lima) hari

setelah laporan diterima.

81

(8) Laporan pelanggaran administrasi Pemilu diteruskan kepada KPU, KPU

provinsi, dan KPU kabupaten/kota.


(9) Laporan pelanggaran pidana Pemilu diteruskan kepada penyidik Kepolisian

Negara Republik Indonesia.


(10) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pelaporan pelanggaran Pemilu

diatur dalam peraturan Bawaslu.



Paragraf 2

Pelanggaran Administrasi Pemilu


Pasal 248


Pelanggaran administrasi Pemilu adalah pelanggaran terhadap ketentuan Undang-Undang ini yang bukan merupakan ketentuan pidana Pemilu dan terhadap ketentuan lain yang diatur dalam peraturan KPU.


Pasal 249


Pelanggaran administrasi Pemilu diselesaikan oleh KPU, KPU provinsi, dan KPU

kabupaten/kota berdasarkan laporan dari Bawaslu, Panwaslu provinsi, dan

Panwaslu kabupaten/kota sesuai dengan tingkatannya.


Pasal 250


KPU, KPU provinsi, dan KPU kabupaten/kota memeriksa dan memutus

pelanggaran administrasi Pemilu dalam waktu paling lama 7 (tujuh) hari sejak

diterimanya laporan dari Bawaslu, Panwaslu provinsi, Panwaslu kabupaten/kota.


Pasal 251


Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penyelesaian pelanggaran administrasi Pemilu diatur dalam peraturan KPU.


Paragraf 3

Pelanggaran Pidana Pemilu


Pasal 252


Pelanggaran pidana Pemilu adalah pelanggaran terhadap ketentuan pidana

Pemilu yang diatur dalam Undang-Undang ini yang penyelesaiannya dilaksanakan melalui pengadilan dalam lingkungan peradilan umum.


Pasal 253


(1) Penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia menyampaikan hasil

penyidikannya disertai berkas perkara kepada penuntut umum paling lama

14 (empat belas) hari sejak menerima laporan dari Bawaslu, Panwaslu

provinsi, Panwaslu kabupaten/kota.


(2) Dalam hal hasil penyidikan ternyata belum lengkap, dalam waktu paling lama

3 (tiga) hari penuntut umum mengembalikan berkas perkara kepada penyidik

kepolisian disertai petunjuk tentang hal yang harus dilakukan untuk

dilengkapi.

(3) Penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam waktu paling lama 3

(tiga) hari sejak tanggal penerimaan berkas sebagaimana dimaksud pada

ayat (2) harus sudah menyampaikan kembali berkas perkara tersebut kepada

penuntut umum.


(4) Penuntut umum melimpahkan berkas perkara sebagaimana dimaksud pada

ayat (1) kepada pengadilan negeri paling lama 5 (lima) hari sejak menerima

berkas perkara.


Pasal 254


(1) Pengadilan negeri dalam memeriksa, mengadili, dan memutus perkara

pidana Pemilu menggunakan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana,

kecuali ditentukan lain dalam Undang-Undang ini.


(2) Sidang pemeriksaan perkara pidana Pemilu sebagaimana dimaksud pada

ayat (1) dilakukan oleh hakim khusus.


(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai hakim khusus diatur dengan peraturan

Mahkamah Agung.


Pasal 255


(1) Pengadilan negeri memeriksa, mengadili, dan memutus perkara pidana

Pemilu paling lama 7 (tujuh) hari setelah pelimpahan berkas perkara.


(2) Dalam hal terhadap putusan pengadilan sebagaimana dimaksud pada ayat

(1) diajukan banding, permohonan banding diajukan paling lama 3 (tiga) hari

setelah putusan dibacakan.


(3) Pengadilan negeri melimpahkan berkas perkara permohonan banding

kepada pengadilan tinggi paling lama 3 (tiga) hari setelah permohonan

banding diterima.


(4) Pengadilan tinggi memeriksa dan memutus perkara banding sebagaimana

dimaksud pada ayat (2) paling lama 7 (tujuh) hari setelah permohonan

banding diterima.


(5) Putusan pengadilan tinggi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) merupakan

putusan terakhir dan mengikat serta tidak ada upaya hukum lain.


Pasal 256


(1) Putusan pengadilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 255 ayat (1) dan

ayat (4) harus sudah disampaikan kepada penuntut umum paling lambat 3

(tiga) hari setelah putusan dibacakan.


(2) Putusan pengadilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 255 harus

dilaksanakan paling lambat 3 (tiga) hari setelah putusan diterima oleh jaksa.


Pasal 257


(1) Putusan pengadilan terhadap kasus pelanggaran pidana Pemilu yang

menurut Undang-Undang ini dapat memengaruhi perolehan suara Peserta

Pemilu harus sudah selesai paling lama 5 (lima) hari sebelum KPU

menetapkan hasil Pemilu secara nasional.

83

(2) KPU, KPU provinsi, dan KPU kabupaten/kota wajib menindaklanjuti putusan

pengadilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1).


(3) Salinan putusan pengadilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus

sudah diterima KPU, KPU provinsi, atau KPU kabupaten/kota dan Peserta

Pemilu pada hari putusan pengadilan tersebut dibacakan.


Bagian Kedua

Perselisihan Hasil Pemilu


Pasal 258


(1) Perselisihan hasil Pemilu adalah perselisihan antara KPU dan Peserta

Pemilu mengenai penetapan perolehan suara hasil Pemilu secara nasional.


(2) Perselisihan penetapan perolehan suara hasil Pemilu secara nasional

sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah perselisihan penetapan

perolehan suara yang dapat memengaruhi perolehan kursi Peserta Pemilu.


Pasal 259


(1) Dalam hal terjadi perselisihan penetapan perolehan suara hasil Pemilu

secara nasional, Peserta Pemilu dapat mengajukan permohonan pembatalan

penetapan hasil penghitungan perolehan suara oleh KPU kepada Mahkamah

Kostitusi.


(2) Peserta Pemilu mengajukan permohonan kepada Mahkamah Konstitusi

sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling lama 3 X 24 (tiga kali dua puluh

empat) jam sejak diumumkan penetapan perolehan suara hasil Pemilu

secara nasional oleh KPU.


(3) KPU, KPU provinsi, dan KPU kabupaten/kota wajib menindaklanjuti putusan

Mahkamah Konstitusi.


BAB XXI

KETENTUAN PIDANA

Pasal 260

Setiap orang yang dengan sengaja menyebabkan orang lain kehilangan hak

pilihnya, dipidana penjara paling singkat 12 (dua belas) bulan dan paling lama 24

(dua puluh empat) bulan dan denda paling sedikit Rp12.000.000,00 (dua belas juta rupiah) dan paling banyak Rp24.000.000,00 (dua puluh empat juta rupiah).


Pasal 261


Setiap orang yang dengan sengaja memberikan keterangan yang tidak benar

mengenai diri sendiri atau diri orang lain tentang suatu hal yang diperlukan untuk

pengisian daftar pemilih, dipidana penjara paling singkat 3 (tiga) bulan dan paling

lama 12 (dua belas) bulan dan denda paling sedikit Rp3.000.000,00 (tiga juta

rupiah) dan paling banyak Rp12.000.000,00 (dua belas juta rupiah).


Pasal 262


Setiap orang yang dengan kekerasan atau dengan ancaman kekerasan atau

dengan menggunakan kekuasaan yang ada padanya pada saat pendaftaran

pemilih menghalang-halangi seseorang untuk terdaftar sebagai pemilih dalam

Pemilu menurut Undang-Undang ini, dipidana penjara paling singkat 12 (dua

belas) bulan dan paling lama 36 (tiga puluh enam) bulan dan denda paling sedikit Rp12.000.000,00 (dua belas juta rupiah) dan paling banyak Rp36.000.000,00 (tiga puluh enam juta rupiah).


Pasal 263


Petugas PPS/PPLN yang dengan sengaja tidak memperbaiki daftar pemilih

sementara setelah mendapat masukan dari masyarakat dan Peserta Pemilu

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 ayat (6), Pasal 37 ayat (2), dan Pasal 43

ayat (5) dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) bulan dan paling

lama 6 (enam) bulan dan denda paling sedikit Rp3.000.000,00 (tiga juta rupiah)

dan paling banyak Rp6.000.000,00 (enam juta rupiah).


Pasal 264


Setiap anggota KPU, KPU provinsi, KPU kabupaten/kota, PPK, PPS, dan PPLN

yang tidak menindaklanjuti temuan Bawaslu, Panwaslu provinsi, Panwaslu

kabupaten/kota, Panwaslu kecamatan, Pengawas Pemilu Lapangan dan

Pengawas Pemilu Luar Negeri dalam melakukan pemutakhiran data pemilih,

penyusunan dan pengumuman daftar pemilih sementara, perbaikan dan

pengumuman daftar pemilih sementara, penetapan dan pengumuman daftar

pemilih tetap, dan rekapitulasi daftar pemilih tetap yang merugikan Warga Negara Indonesia yang memiliki hak pilih sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49 ayat (2), dipidana dengan pidana penjara paling singkat 6 (enam) bulan dan paling lama 36 (tiga puluh enam) bulan dan denda paling sedikit Rp6.000.000,00 (enam juta rupiah) dan paling banyak Rp36.000.000,00 (tiga puluh enam juta rupiah).


Pasal 265


Setiap orang yang dengan sengaja melakukan perbuatan curang untuk

menyesatkan seseorang atau dengan memaksa atau dengan menjanjikan atau

memberikan uang atau materi lainnya untuk memperoleh dukungan bagi

pencalonan anggota DPD dalam Pemilu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13, dipidana penjara paling singkat 12 (dua belas) bulan dan paling lama 36 (tiga

puluh enam) bulan dan denda paling sedikit Rp12.000.000,00 (dua belas juta

rupiah) dan paling banyak Rp36.000.000,00 (tiga puluh enam juta rupiah).


Pasal 266


Setiap orang yang dengan sengaja membuat surat atau dokumen dengan maksud untuk memakai atau menyuruh orang memakai, atau setiap orang yang dengan sengaja menggunakan surat atau dokumen yang dipalsukan untuk menjadi bakal calon anggota DPR, DPD, DPRD provinsi, DPRD kabupaten/kota atau calon Peserta Pemilu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 63 dan dalam Pasal 73, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 36 (tiga puluh enam) bulan dan paling lama 72 (tujuh puluh dua) bulan dan denda paling sedikit Rp36.000.000,00 (tiga puluh enam juta rupiah) dan paling banyak Rp72.000.000,00 (tujuh puluh dua juta rupiah).


Pasal 267


Setiap anggota KPU, KPU provinsi, dan KPU kabupaten/kota yang tidak

menindaklanjuti temuan Bawaslu, Panwaslu provinsi, dan Panwaslu

kabupaten/kota dalam melaksanakan verifikasi partai politik calon Peserta Pemilu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (3), dipidana penjara paling singkat 6 (enam) bulan dan paling lama 36 (tiga puluh enam) bulan dan denda paling sedikit Rp6.000.000,00 (enam juta rupiah) dan paling banyak Rp36.000.000,00 (tiga puluh enam juta rupiah).


Pasal 268


Setiap anggota KPU, KPU provinsi, dan KPU kabupaten/kota yang tidak

menindaklanjuti temuan Bawaslu, Panwaslu provinsi dan Panwaslu

kabupaten/kota dalam pelaksanaan verifikasi partai politik calon Peserta Pemilu

dan verifikasi kelengkapan administrasi bakal calon anggota DPR, DPD, DPRD

provinsi, dan DPRD kabupaten/kota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60 ayat (3) dan dalam Pasal 70 ayat (3), dipidana dengan pidana penjara paling singkat 6 (enam) bulan dan paling lama 36 (tiga puluh enam) bulan dan denda paling sedikit Rp6.000.000,00 (enam juta rupiah) dan paling banyak Rp36.000.000,00 (tiga puluh enam juta rupiah).

Pasal 269


Setiap orang dengan sengaja melakukan kampanye di luar jadwal waktu yang

telah ditetapkan oleh KPU, KPU provinsi, dan KPU kabupaten/kota untuk masing-masing Peserta Pemilu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 82, dipidana penjara paling singkat 3 (tiga) bulan atau paling lama 12 (dua belas) bulan dan denda paling sedikit Rp3.000.000,00 (tiga juta rupiah) atau paling banyak Rp12.000.000,00 (dua belas juta rupiah).


Pasal 270


Setiap orang dengan sengaja melanggar larangan pelaksanaan kampanye Pemilu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 84 ayat (1) huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, huruf e, huruf f, huruf g, huruf h, atau huruf i dipidana penjara paling singkat 6 (enam) bulan dan paling lama 24 (dua puluh empat) bulan dan denda paling sedikit Rp6.000.000,00 (enam juta rupiah) dan paling banyak Rp24.000.000,00 (dua puluh empat juta rupiah).


Pasal 271


Setiap pelaksana kampanye yang melanggar larangan sebagaimana dimaksud

dalam Pasal 84 ayat (2), dikenai pidana penjara paling singkat 3 (tiga) bulan dan

paling lama 12 (dua belas) bulan dan denda paling sedikit Rp30.000.000,00 (tiga

puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah).


Pasal 272


Setiap Ketua/Wakil Ketua/Ketua Muda/hakim Agung/hakim Konstitusi, hakim-hakim pada semua badan peradilan, Ketua/Wakil Ketua dan anggota Badan

Pemeriksa Keuangan, Gubernur, Deputi Gubernur Senior, dan Deputi Gubernur

Bank Indonesia serta Pejabat BUMN/BUMD yang melanggar larangan

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 84 ayat (3) dikenai pidana penjara paling

singkat 6 (enam) bulan dan paling lama 24 (dua puluh empat) bulan dan denda

paling sedikit Rp25.000.000,00 (dua puluh lima juta rupiah) dan paling banyak

Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah).


Pasal 273


Setiap pegawai negeri sipil, anggota Tentara Nasional Indonesia dan Kepolisian

Negara Republik Indonesia, kepala desa, dan perangkat desa, dan anggota badan permusyaratan desa yang melanggar larangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 84 ayat (3) dan ayat (5) dikenai pidana penjara paling singkat 3 (tiga) bulan dan paling lama 12 (dua belas) bulan dan denda paling sedikit Rp3.000.000,00 (tiga juta rupiah) dan paling banyak Rp12.000.000,00 (dua belas juta rupiah).


Pasal 274


Pelaksana kampanye yang dengan sengaja menjanjikan atau memberikan uang

atau materi lainnya sebagai imbalan kepada peserta kampanye secara langsung

ataupun tidak langsung agar tidak menggunakan haknya untuk memilih, atau

memilih Peserta Pemilu tertentu, atau menggunakan haknya untuk memilih

dengan cara tertentu sehingga surat suaranya tidak sah sebagaimana dimaksud

dalam Pasal 87 dipidana dengan pidana penjara paling singkat 6 (enam) bulan dan paling lama 24 (dua puluh empat) bulan dan denda paling sedikit Rp6.000.000,00 (enam juta rupiah) dan paling banyak Rp24.000.000,00 (dua puluh empat juta rupiah).


Pasal 275


Anggota KPU, KPU provinsi, KPU kabupaten/kota, Sekretaris Jenderal KPU,

pegawai Sekretariat Jenderal KPU, sekretaris KPU provinsi, pegawai sekretariat

KPU provinsi, sekretaris KPU kabupaten/kota, dan pegawai sekretariat KPU

kabupaten/kota yang terbukti melakukan tindak pidana Pemilu dalam pelaksanaan kampanye Pemilu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 123 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling singkat 6 (enam) bulan dan paling lama 24 (dua puluh empat) bulan dan denda paling sedikit Rp6.000.000,00 (enam juta rupiah) dan paling banyak Rp24.000.000,00 (dua puluh empat juta rupiah).


Pasal 276


Setiap orang yang memberi atau menerima dana kampanye melebihi batas yang

ditentukan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 131 ayat (1) dan ayat (2) dan

Pasal 133 ayat (1) dan ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling singkat 6

(enam) bulan dan paling lama 24 (dua puluh empat) bulan dan denda paling sedikit Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dan paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).


Pasal 277


Pelaksana kampanye yang terbukti menerima sumbangan dan/atau bantuan

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 139 dipidana dengan pidana penjara paling

singkat 12 (dua belas) bulan dan paling lama 36 (tiga puluh enam) bulan dan

denda paling sedikit Rp12.000.000,00 (dua belas juta rupiah) dan paling banyak

Rp36.000.000,00 (tiga puluh enam juta rupiah).


Pasal 278


Setiap orang yang dengan sengaja mengacaukan, menghalangi, atau

mengganggu jalannya kampanye Pemilu dipidana dengan pidana penjara paling

singkat 6 (enam) bulan dan paling lama 24 (dua puluh empat) bulan dan denda

paling sedikit Rp6.000.000,00 (enam juta rupiah) dan paling banyak

Rp24.000.000,00 (dua puluh empat juta rupiah).


Pasal 297


(1) Pelaksana kampanye yang karena kelalaiannya mengakibatkan

terganggunya tahapan penyelenggaraan Pemilu di tingkat desa/kelurahan

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 105 dipidana dengan pidana penjara

paling singkat 3 (tiga) bulan dan paling lama 12 (dua belas) bulan dan denda

paling sedikit Rp3.000.000,00 (tiga juta rupiah) dan paling banyak

Rp12.000.000,00 (dua belas juta rupiah).


(2) Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan

karena kesengajaan, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 6 (enam) bulan dan paling lama 18 (delapan belas) bulan dan denda paling sedikit Rp6.000.000,00 (enam juta rupiah) dan paling banyak Rp18.000.000,00 (delapan belas juta rupiah).


Pasal 280


Setiap pelaksana, peserta, atau petugas kampanye yang terbukti dengan sengaja atau lalai yang mengakibatkan terganggunya tahapan penyelenggaraan Pemilu dipidana dengan pidana penjara paling singkat 6 (enam) bulan dan paling lama 24 (dua puluh empat) bulan dan denda paling sedikit Rp6.000.000,00 (enam juta rupiah) dan paling banyak Rp24.000.000,00 (dua puluh empat juta rupiah).


Pasal 281


Setiap orang yang dengan sengaja memberikan keterangan tidak benar dalam

laporan dana kampanye sebagaimana dimaksud dalam Pasal 134 dan Pasal 135

ayat (1) dan ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling singkat 6 (enam)

bulan dan paling lama 24 (dua puluh empat) bulan dan denda paling sedikit

Rp6.000.000,00 (enam juta rupiah) dan paling banyak Rp24.000.000,00 (dua

puluh empat juta rupiah).


Pasal 282


Setiap orang atau lembaga survei yang mengumumkan hasil survei atau hasil jejak pendapat dalam masa tenang, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) bulan dan paling lama 12 (dua belas) bulan dan denda paling sedikit Rp3.000.000,00 (tiga juta rupiah) dan paling banyak Rp12.000.000,00 (dua belas juta rupiah).


Pasal 283


Ketua KPU yang dengan sengaja menetapkan jumlah surat suara yang dicetak

melebihi jumlah yang ditentukan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 145 ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) dipidana dengan pidana penjara paling singkat 12 (dua

belas) bulan dan paling lama 24 (dua puluh empat) bulan dan denda paling sedikit Rp120.000.000,00 (seratus dua puluh juta rupiah) dan paling banyak

Rp240.000.000,00 (dua ratus empat puluh juta rupiah).


Pasal 284


Setiap perusahaan pencetak surat suara yang dengan sengaja mencetak surat

suara melebihi jumlah yang ditetapkan oleh KPU sebagaimana dimaksud dalam

Pasal 146 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling singkat 24 (dua puluh

empat) bulan dan paling lama 48 (empat puluh delapan) bulan dan denda paling

sedikit Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) dan paling banyak

Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah).


Pasal 285


Setiap perusahaan pencetak surat suara yang tidak menjaga kerahasian,

keamanan, dan keutuhan surat suara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 146

ayat (1), dipidana dengan pidana penjara paling singkat 24 (dua puluh empat)

bulan dan paling lama 48 (empat puluh delapan) bulan dan denda paling sedikit

Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah).


Pasal 286

ETRO (Center for Electoral Reform)

Setiap orang yang dengan sengaja pada saat pemungutan suara menjanjikan atau memberikan uang atau materi lainnya kepada pemilih supaya tidak menggunakan hak pilihnya atau memilih Peserta Pemilu tertentu atau menggunakan hak pilihnya dengan cara tertentu sehingga surat suaranya tidak sah, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 12 (dua belas) bulan dan paling lama 36 (tiga puluh enam) bulan dan denda paling sedikit Rp6.000.000,00 (enam juta rupiah) dan paling banyak Rp36.000.000,00 (tiga puluh enam juta

rupiah).


Pasal 287


Setiap orang yang dengan sengaja menggunakan kekerasan atau ancaman

kekerasan dan/atau menghalangi seseorang yang akan melakukan haknya untuk

memilih atau melakukan kegiatan yang menimbulkan gangguan ketertiban dan

ketenteraman pelaksanaan pemungutan suara dipidana dengan pidana penjara

paling singkat 6 (enam) bulan dan paling lama 24 (dua puluh empat) bulan dan

denda paling sedikit Rp6.000.000,00 (enam juta rupiah) dan paling banyak

Rp24.000.000,00 (dua puluh empat juta rupiah).



Pasal 288


Setiap orang yang dengan sengaja melakukan perbuatan yang menyebabkan

suara seorang pemilih menjadi tidak bernilai atau menyebabkan Peserta Pemilu

tertentu mendapat tambahan suara atau perolehan suara Peserta Pemilu menjadi berkurang, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 12 (dua belas) bulan dan paling lama 36 (tiga puluh enam) bulan dan denda paling sedikit Rp12.000.000, 00 (dua belas juta rupiah) dan paling banyak Rp36.000.000,00 (tiga puluh enam juta rupiah).


Pasal 289


Setiap orang yang dengan sengaja pada saat pemungutan suara mengaku dirinya sebagai orang lain, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 6 (enam) bulan dan paling lama 18 (delapan belas) bulan dan denda paling sedikit Rp6.000.000,00 (enam juta rupiah) dan paling banyak Rp18.000.000,00 (delapan belas juta rupiah).


Pasal 290


Setiap orang yang pada waktu pemungutan suara dengan sengaja memberikan

suaranya lebih dari satu kali di satu atau lebih TPS, dipidana dengan pidana

penjara paling singkat 6 (enam) bulan dan paling lama 18 (delapan belas) bulan

dan denda paling sedikit Rp6.000.000,00 (enam juta rupiah) dan paling banyak

Rp18.000.000,00 (delapan belas juta rupiah).


Pasal 291


Setiap orang yang dengan sengaja menggagalkan pemungutan suara, dipidana

dengan pidana penjara paling singkat 24 (dua puluh empat) bulan dan paling lama 60 (enam puluh) bulan dan denda paling sedikit Rp24.000.000,00 (dua puluh empat juta rupiah) dan paling banyak Rp60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah).


Pasal 292


Seorang majikan/atasan yang tidak memberikan kesempatan kepada seorang

pekerja untuk memberikan suaranya pada pemungutan suara, kecuali dengan

alasan bahwa pekerjaan tersebut tidak bisa ditinggalkan, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 6 (enam) bulan dan paling lama 12 (dua belas) bulan dan denda paling sedikit Rp6.000.000,00 (enam juta rupiah) dan paling banyak Rp12.000.000,00 (dua belas juta rupiah).

89

Pasal 293


Setiap orang yang dengan sengaja merusak atau menghilangkan hasil

pemungutan suara yang sudah disegel, dipidana dengan pidana penjara paling

singkat 12 (dua belas) bulan dan paling lama 36 (tiga puluh enam) bulan dan

denda paling sedikit Rp12.000.000,00 (dua belas juta rupiah) dan paling banyak

Rp36.000.000,00 (tiga puluh enam juta rupiah).


Pasal 294


Ketua dan anggota KPPS/KPPSLN yang dengan sengaja tidak memberikan surat suara pengganti hanya satu kali kepada pemilih yang menerima surat suara yang rusak dan tidak mencatat surat suara yang rusak dalam berita acara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 155 ayat (2), dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) bulan dan paling lama 12 (dua belas) bulan dan denda paling sedikit Rp3.000.000,00 (tiga juta rupiah) dan paling banyak Rp12.000.000,00 (dua belas juta rupiah).


Pasal 295


Setiap orang yang bertugas membantu pemilih yang dengan sengaja

memberitahukan pilihan pemilih kepada orang lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 156 ayat (2), dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) bulan dan paling lama 12 (dua belas) bulan dan denda paling sedikit Rp3.000.000,00 (tiga juta rupiah) dan paling banyak Rp12.000.000,00 (dua belas juta rupiah).


Pasal 296


(1) Dalam hal KPU kabupaten/kota tidak menetapkan pemungutan suara ulang

di TPS sementara persyaratan dalam Undang-Undang ini telah terpenuhi

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 220 ayat (2), anggota KPU

kabupaten/kota dipidana dengan pidana penjara paling singkat 6 (enam)

bulan dan paling lama 24 (dua puluh empat) bulan dan denda paling sedikit

Rp6.000.000,00 (enam juta rupiah) dan paling banyak Rp24.000.000,00 (dua

puluh empat juta rupiah).


(2) Ketua dan anggota KPPS yang dengan sengaja tidak melaksanakan

ketetapan KPU kabupaten/kota untuk melaksanakan pemungutan suara

ulang di TPS dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) bulan

dan paling lama 12 (dua belas) bulan dan denda paling sedikit

Rp3.000.000,00 (tiga juta rupiah) dan paling banyak Rp12.000.000,00 (dua

belas juta rupiah).


Pasal 297


Setiap orang yang karena kelalaiannya menyebabkan rusak atau hilangnya berita acara pemungutan dan penghitungan suara dan sertifikat hasil penghitungan suara yang sudah disegel, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 12 (dua belas) bulan dan paling lama 60 (enam puluh) bulan dan denda paling sedikit Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).


Pasal 298


Setiap orang yang dengan sengaja mengubah berita acara hasil penghitungan

suara dan/atau sertifikat hasil penghitungan suara, dipidana dengan pidana

penjara paling singkat 12 (dua belas) bulan dan paling lama 60 (enam puluh)

bulan dan denda paling sedikit Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) dan

paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).


Pasal 299


(1) Anggota KPU, KPU provinsi, KPU kabupaten/kota, dan PPK yang karena

kelalaiannya mengakibatkan hilang atau berubahnya berita acara hasil

rekapitulasi penghitungan perolehan suara dan/atau sertifikat penghitungan

suara, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 6 (enam) bulan dan

paling lama 12 (dua belas) bulan dan denda paling sedikit Rp6.000.000,00

(enam juta rupiah) dan paling banyak Rp12.000.000,00 (duabelas juta

rupiah).


(2) Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan

karena kesengajaan, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 12 (dua

belas) bulan dan paling lama 24 (dua puluh empat) bulan dan denda paling

sedikit Rp12.000.000,00 (dua belas juta rupiah) dan paling banyak

Rp24.000.000,00 (dua puluh empat juta rupiah).


Pasal 300


Setiap orang yang dengan sengaja merusak, mengganggu, atau mendistorsi

sistem informasi penghitungan suara hasil Pemilu, dipidana dengan pidana

penjara paling singkat 60 (enam puluh) bulan dan paling lama 120 (seratus dua

puluh) bulan dan denda paling sedikit Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah)

dan paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).


Pasal 301


Ketua dan anggota KPPS/KPPSLN yang dengan sengaja tidak membuat dan

menandatangani berita acara perolehan suara Peserta Pemilu dan calon anggota DPR, DPD, dan DPRD sebagaimana dimaksud dalam Pasal 154 ayat (3) dipidana dengan pidana penjara paling singkat 12 (dua belas) bulan dan paling lama 36 (dua belas) bulan dan denda paling sedikit Rp6.000.000,00 (enam juta rupiah) dan paling banyak Rp12.000.000,00 (dua belas juta rupiah).


Pasal 302


Setiap KPPS/KPPSLN yang dengan sengaja tidak memberikan salinan satu

eksemplar berita acara pemungutan dan penghitungan suara, dan sertifikat hasil

penghitungan suara kepada saksi Peserta Pemilu, Pengawas Pemilu Lapangan,

PPS, dan PPK melalui PPS sebagaimana dimaksud dalam Pasal 180 ayat (2) dan ayat (3), dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) bulan dan paling lama 12 (dua belas) bulan dan denda paling sedikit Rp3.000.000,00 (tiga juta rupiah) dan paling banyak Rp12.000.000,00 (dua belas juta rupiah).


Pasal 303


Setiap KPPS/KPPSLN yang tidak menjaga, mengamankan keutuhan kotak suara, dan menyerahkan kotak suara tersegel yang berisi surat suara, berita acara pemungutan suara, dan sertifikat hasil penghitungan suara, kepada PPK melalui PPS atau kepada PPLN bagi KPPSLN pada hari yang sama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 180 ayat (4) dan ayat (5), dipidana dengan pidana penjara paling singkat 6 (enam) bulan dan paling lama 18 (delapan belas) bulan dan denda paling sedikit Rp6.000.000,00 (enam juta rupiah) dan paling banyak Rp18.000.000,00 (delapan belas juta rupiah).


Pasal 304


Setiap Pengawas Pemilu Lapangan yang tidak mengawasi penyerahan kotak

suara tersegel kepada PPK dan Panwaslu kecamatan yang tidak mengawasi

penyerahan kotak suara tersegel kepada KPU kabupaten/kota sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 180 ayat (6), dipidana dengan pidana penjara paling

singkat 6 (enam) bulan dan paling lama 24 (dua puluh empat) bulan dan denda

paling sedikit Rp6.000.000,00 (enam juta rupiah) dan paling banyak

Rp24.000.000,00 (dua puluh empat juta rupiah).


Pasal 305


Setiap PPS/PPLN yang tidak mengumumkan hasil penghitungan suara dari

seluruh TPS/TPSLN di wilayah kerjanya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 181, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) bulan dan paling lama 12 (dua belas) bulan dan denda paling sedikit Rp3.000.000,00 (tiga juta rupiah) dan paling banyak Rp12.000.000,00 (dua belas juta rupiah).


Pasal 306


Dalam hal KPU tidak menetapkan perolehan hasil Pemilu anggota DPR, DPD,

DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota secara nasional sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 199 ayat (2), anggota KPU dipidana dengan pidana penjara paling singkat 24 (dua puluh empat) bulan dan paling lama 60 (enam puluh) bulan dan denda paling sedikit Rp240.000.000,00 (dua ratus empat puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah).


Pasal 307


Setiap orang atau lembaga yang melakukan penghitungan cepat yang

mengumumkan hasil penghitungan cepat pada hari/tanggal pemungutan suara,

dipidana dengan pidana penjara paling singkat 6 (enam) bulan dan paling lama 18 (delapan belas) bulan dan denda paling sedikit Rp6.000.000,00 (enam juta rupiah) dan paling banyak Rp18.000.000,00 (delapan belas juta rupiah).


Pasal 308


Setiap orang atau lembaga yang melakukan penghitungan cepat yang tidak

memberitahukan bahwa hasil penghitungan cepat bukan merupakan hasil resmi

Pemilu, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 6 (enam) bulan dan paling lama 18 (delapan belas) bulan dan denda paling sedikit Rp6.000.000,00 (enam juta rupiah) dan paling banyak Rp18.000.000,00 (delapan belas juta rupiah).


Pasal 309


Ketua dan anggota KPU, KPU provinsi, dan KPU kabupaten/kota yang tidak

melaksanakan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap sebagaimana dimaksud dalam Pasal 257 dipidana dengan pidana penjara paling singkat 12 (dua belas) bulan dan paling lama 24 (dua puluh empat) bulan dan denda paling sedikit Rp12.000.000,00 (dua belas juta rupiah) dan paling banyak Rp24.000.000,00 (dua puluh empat juta rupiah).


Pasal 310

92

Ketua dan anggota Bawaslu, Panwaslu provinsi, Panwaslu kabupaten/kota,

Panwaslu kecamatan, dan/atau Pengawas Pemilu Lapangan/pengawas Pemilu

Luar Negeri yang dengan sengaja tidak menindaklanjuti temuan dan/atau laporan pelanggaran Pemilu yang dilakukan oleh anggota KPU, KPU provinsi, KPU kabupaten/kota, PPK, PPS/PPLN, dan/atau KPPS/KPPSLN dalam setiap tahapan penyelenggaraan Pemilu dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) bulan dan paling lama 36 (tiga puluh enam) bulan dan denda paling sedikit Rp3.000.000,00 (tiga juta rupiah) dan paling banyak Rp36.000.000,00 (tiga puluh enam juta rupiah).


Pasal 311


Dalam hal penyelenggara Pemilu melakukan pelanggaran pidana Pemilu

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 260, Pasal 261, Pasal 262, Pasal 265, Pasal 266, Pasal 269, Pasal 270, Pasal 276, Pasal 278, Pasal 281, Pasal 286, Pasal 287, Pasal 288, Pasal 289, Pasal 290, Pasal 291, Pasal 293, Pasal 295, Pasal 297, Pasal 298, dan Pasal 300, maka pidana bagi yang bersangkutan ditambah 1/3 (satu pertiga) dari ketentuan pidana yang ditetapkan dalam pasal-pasal tersebut.

BAB XXII

KETENTUAN LAIN-LAIN


Pasal 312


Ketentuan mengenai keikutsertaan partai politik lokal di Aceh dalam Pemilu

anggota DPRD provinsi dan DPRD kabupaten/kota sepanjang tidak diatur khusus dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh, berlaku ketentuan Undang-Undang ini.


Pasal 313


Hasil perolehan suara dari pemilih di luar negeri dimasukkan sebagai perolehan

suara untuk daerah pemilihan Provinsi DKI Jakarta II.


Pasal 314


(1) Dalam hal terdapat daerah pemilihan anggota DPRD provinsi yang sama

dengan daerah pemilihan anggota DPR pada Pemilu 2004, maka daerah

pemilihan DPRD provinsi tersebut disesuaikan dengan perubahan daerah

pemilihan anggota DPR.


(2) Ketentuan lebih lanjut tentang penyesuaian perubahan daerah pemilihan

sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan peraturan KPU.


BAB XXIII

KETENTUAN PERALIHAN


Pasal 315


Partai Politik Peserta Pemilu tahun 2004 yang memperoleh sekurang-kurangnya

3% (tiga perseratus) jumlah kursi DPR atau memperoleh sekurang-kurangnya

4% (empat perseratus) jumlah kursi DPRD provinsi yang tersebar sekurangkurangnya di 1/2 (setengah) jumlah provinsi seluruh Indonesia, atau memperoleh sekurang-kurangnya 4% (empat perseratus) jumlah kursi DPRD kabupaten/kota yang tersebar sekurang-kurangnya di 1/2 (setengah) jumlah kabupaten/kota seluruh Indonesia, ditetapkan sebagai Partai Politik Peserta Pemilu setelah Pemilu tahun 2004.


Pasal 316


Partai Politik Peserta Pemilu 2004 yang tidak memenuhi ketentuan Pasal 315

dapat mengikuti Pemilu 2009 dengan ketentuan:

a. bergabung dengan Partai Politik Peserta Pemilu yang memenuhi ketentuan

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 315; atau

b. bergabung dengan partai politik yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 315 dan selanjutnya menggunakan nama dan tanda

gambar salah satu partai politik yang bergabung sehingga memenuhi

perolehan minimal jumlah kursi; atau

c. bergabung dengan partai politik yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 315 dengan membentuk partai politik baru dengan

nama dan tanda gambar baru sehingga memenuhi perolehan minimal jumlah

kursi; atau

d. memiliki kursi di DPR RI hasil Pemilu 2004; atau

e. memenuhi persyaratan verifikasi oleh KPU untuk menjadi Partai Politik

Peserta Pemilu sebagaimana ditentukan dalam Undang-Undang ini.


Pasal 317


Untuk Pemilu tahun 2009 KPU melakukan penataan ulang daerah pemilihan bagi

provinsi dan kabupaten/kota induk serta provinsi dan kabupaten/kota yang

dibentuk setelah Pemilu tahun 2004.


Pasal 318


Dalam Pemilu tahun 2009, anggota Tentara Nasional Indonesia dan anggota

Kepolisian Negara Republik Indonesia tidak menggunakan haknya untuk memilih.


BAB XXIV

KETENTUAN PENUTUP


Pasal 319


Dengan berlakunya Undang-Undang ini, Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003

tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (Lembaran Negara Tahun 2003 Nomor 37, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4277) sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2006 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2006 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Tahun 2006 Nomor 60, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4631), dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.


Pasal 320


Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-

Undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.

Disahkan di Jakarta

pada tanggal 31 Maret 2008


PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,


H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO


Diundangkan di Jakarta

pada tanggal 31 Maret 2008


MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA

REPUBLIK INDONESIA


ANDI MATALATTA


LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2008 NOMOR 51

Label:

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda