Kamis, 11 Desember 2008

PP NOMOR 28 TAHUN 1985 TTG PERLINDUNGAN HUTAN

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 28 TAHUN 1985
TENTANG
PERLINDUNGAN HUTAN
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang:
Bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 15 Undang-undang Nomor 5
Tahun 1967 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kehutanan (Lembaran
Negara Tahun 1967 Nomor 8, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2823),
dipandang perlu untuk mengeluarkan Peraturan Pemerintah tentang
Perlindungan Hutan;
Mengingat:
1. Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945;
2. Undang-undang Nomor 5 Tahun 1967 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok
Kehutanan (Lembaran Negara Tahun 1967 Nomor 8, Tambahan Lembaran
Negara Nomor 2823);
MEMUTUSKAN:
Menetapkan:
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
TENTANG
PERLINDUNGAN HUTAN.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Selain pengertian-pengertian sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang
Nomor 5 Tahun 1967 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kehutanan, dalam
Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan :
1. Pemegang Hak Pengusahaan Hutan adalah badan hukum Indonesia yang
diberi hak pengusahaan hutan oleh Menteri;
Co mpiled by: 21 Yayasan Titian 2
2. Penataan batas adalah kegiatan yang meliputi proyeksi batas,
pemancangan tanda batas, pengukuran, dan pemetaan serta pembuatan
berita acara tata batas;
3. Pemungutan hasil hutan adalah kegiatan untuk mengambil kayu dan
hasil hutan lainnya dan mengangkutnya ke tempat pengumpulan;
4. Pejabat yang berwenang adalah pejabat yang berdasarkan ketentuan
peraturan perundang-undangan yang berlaku mempunyai wewenang untuk
memberikan izin;
5. Menteri adalah Menteri yang bertanggung jawab dalam bidang
kehutanan.
Pasal 2
Tujuan perlindungan hutan adalah untuk menjap kelestarian hutan agar
dapat memenuhi fungsinya.
Pasal 3
Untuk mencapai tujuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dilakukan
segala usaha, kegiatan, tindakan untuk mencegah dan membatasi kerusakankerusakan
hutan dan hasil hutan yang disebabkan oleh perbuatan manusia
ternak, kebakaran, daya-daya alam, hama dan penyakit, serta untuk
mempertahankan dan menjaga hak-hak Negara atas hutan dan hasil hutan.
BAB II
PERLINDUNGAN KAWASAN HUTAN,
HUTAN CADANGAN, DAN HUTAN LAINNYA
Pasal 4
1. Penataan batas dilakukan terhadap setiap areal hutan yang telah
ditunjuk sebagai kawasan hutan sesuai dengan peraturan perundangundangan
yang berlaku.
2. Kecuali dengan kewenangan yang sah menurut peraturan perundangundangan
yang berlaku setiap orang dilarang memotong, memindahkan,
merusak atau menghilangkan tanda batas kawasan hutan.
Pasal 5
1. Penggunaan kawasan hutan harus sesuai dengan fungsi dan
peruntukannya sebagaimana ditetapkan dalam Pasal 3 dan Pasal 4
Undang-undang Nomor 5 Tahun 1967.
2. Penggunaan kawasan hutan yang menyimpang dari ketentuan ayat (1)
harus mendapat persetujuan Menteri.
Pasal 6
1. Kawasan hutan dan hutan cadangan dilarang dikerjakan atau diduduki
tanpa izin Menteri.
2. Hutan lainnya dikerjakan oleh yang berhak sesuai dengan petunjuk
Menteri.
Co mpiled by: 21 Yayasan Titian 3
BAB III
PERLINDUNGAN TANAH HUTAN
Pasal 7
1. Kegiatan eksplorasi dan eksploitasi yang bertujuan untuk mengambil
bahan-bahan galian yang dilakukan di dalam kawasan hutan atau hutan
cadangan, diberikan oleh instansi yang berwenang setelah mendapat
persetujuan Menteri.
2. Dalam hal penetapan areal yang bersangkutan sebagai kawasan hutan
dilakukan setelah pemberian izin eksplorasi dan eksploitasi, maka
pelaksanaan lebih lanjut kegiatan eksplorasi dan eksploitasi
tersebut harus sesuai dengan petunjuk Menteri.
3. Di dalam kawasan hutan dan hutan cadangan dilarang melakukan
pemungutan hasil hutan dengan menggunakan alat-alat yang tidak
sesuai dengan kondisi tanah dan lapangan atau melakukan perbuatan
lain yang dapat menimbulkan kerusakan tanah dan tegakan.
4. Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) diatur
lebih lanjut oleh Menteri dengan memperhatikan kepentingankepentingan
sektor lain yang bersangkutan.
Pasal 8
1. Kelestarian sumber air di dalam kawasan hutan, hutan cadangan, dan
hutan lainnya harus dipertahankan.
2. Siapapun dilarang melakukan penebangan pohon dalam radius/ jarak
tertentu dari mata air, tepi jurang, waduk, sungai, dan anak sungai
yang terletak di dalam kawasan hutan, hutan cadangan dan hutan
lainnya.
3. Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) diatur lebih lanjut
oleh Menteri setelah mendengar pendapat Menteri yang bertanggung
jawab dalam bidang pengairan.
BAB IV
PERLINDUNGAN TERHADAP KERUSAKAN HUTAN
Pasal 9
1. Selain dari petugas-petugas kehutanan atau orang-orang yang karena
tugasnya atau kepentingannya dibenarkan berada di dalam kawasan
hutan, siapapun dilarang membawa alat-alat yang lazim digunakan
untuk memotong, menebang, dan membelah pohon di dalam kawasan hutan.
2. Setiap orang dilarang melakukan penebangan pohon-pohon dalam hutan
tanpa izin dari pejabat yang berwenang.
3. Setiap orang dilarang mengambil/memungut hasil hutan lainnya tanpa
izin dari pejabat yang berwenang.
Pasal 10
1. Setiap orang dilarang membakar hutan kecuali dengan kewenangan yang
sah.
Co mpiled by: 21 Yayasan Titian 4
2. Masyarakat di sekitar hutan mempunyai kewajiban ikut serta dalam
usaha pencegahan dan pemadaman kebakaran hutan.
3. Ketentuan-ketentuan tentang usaha pencegahan dan pemadaman kebakaran
hutan diatur dengan Peraturan Daerah Tingkat I dengan memperhatikan
petunjuk Menteri.
Pasal 11
1. Penggembalaan ternak dalam hutan, pengambilan rumput, dan makanan
ternak lainnya serta serasah dari dalam hutan hanya dapat dilakukan
di tempat-tempat yang ditunjuk khusus untuk keperluan tersebut oleh
pejabat yang berwenang.
2. Ketentuan-ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur
dengan Peraturan Daerah Tingkat I dengan memperhatikan petunjuk
Menteri.
Pasal 12
Usaha-usaha untuk mencegah dan membatasi kerusakan hutan dan hasil hutan
yang disebabkan daya alam, hama, dan penyakit diatur lebih lanjut oleh
Menteri.
BAB V
PERLINDUNGAN HASIL HUTAN
Pasal 13
1. Untuk melindungi hak-hak Negara yang berkenaan dengan hasil hutan,
maka terhadap semua hasil hutan harus diadakan pengukuran dan
pengujian.
2. Hasil pengukuran dan pengujian terhadap hasil hutan adalah merupakan
dasar perhitungan penetapan besarnya pungutan Negara yang dikenakan
terhadapnya.
3. Ketentuan mengenai pengukuran dan pengujian hasil hutan diatur lebih
lanjut oleh Menteri.
Pasal 14
1. Untuk membuktikan sahnya hasil hutan dan telah dipenuhinya
kewajiban-kewajiban pungutan Negara yang dikenakan terhadapnya
hingga dapat digunakan atau diangkut, maka hasil hutan tersebut
harus mempunyai surat keterangan sahnya hasil hutan.
2. Ketentuan mengenai surat keterangan sahnya hasil hutan serta tata
cara untuk memperolehnya diatur oleh Menteri.
BAB VI
PELAKSANAAN PERLINDUNGAN HUTAN
Pasal 15
1. Instansi-instansi Kehutanan di Daerah Tingkat I bertanggung jawab
atas perlindungan hutan baik di dalam maupun di luar kawasan hutan.
2. Tanpa mengurangi kewenangan instansi Kehutanan dalam bidang
perlindungan hutan Pemegang Hak Pengusahaan Hutan bertanggung jawab
atas perlindungan hutan di areal hak pengusahaan hutannya masingmasing.
Co mpiled by: 21 Yayasan Titian 5
Pasal 16
1. Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu di lingkungan Instansi
Kehutanan diberikan wewenang Kepolisian Khusus sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 18 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1967.
2. Pejabat yang diberi wewenang Kepolisian Khusus sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) berwenang untuk :
a. mengadakan patroli/perondaan di dalam kawasan hutan dan wilayah
sekitar hutan (kring);
b. memeriksa surat-surat atau dokumen yang berkaitan dengan
pengangkutan hasil hutan di dalam kawasan hutan atau wilayah
sekitar hutan (kring) dan daerah-daerah lain yang oleh
Pemerintah Daerah ditentukan sebagai wilayah kewenangan Pejabat
tersebut untuk memeriksa hasil hutan;
c. menerima laporan tentang telah terjadinya tindak pidana yang
menyangkut hutan dan kehutanan;
d. mencari keterangan dan barang bukti terjadinya tindak pidana di
bidang kehutanan;
e. dalam hal tertangkap tangan, wajib menangkap tersangka untuk
diserahkan kepada penyidik POLRI;
f. membuat dan menandatangani laporan tentang terjadinya tindak
pidana di bidang kehutanan.
3. Unit Organisasi dan tata kerja Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur lebih lanjut oleh Menteri
bersama Panglima Angkatan Bersenjata dalam hal ini Kepala Kepolisian
Republik Indonesia.
Pasal 17
1. Sebagian dari pejabat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (2)
adalah Pejabat Penyidik Pegawai Negeri Sipil tertentu di bidang
Kehutanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf b
Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana j o.
Pasal 2 Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983 tentang Pelaksanaan
Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana, yang karena kewajibannya
berwenang untuk :
a. menerima laporan atau pengaduan tentang telah terjadinya tindak
pidana yang menyangkut hutan dan kehutanan;
b. menyuruh berhenti dan memeriksa tanda pengenal seorang yang
berada dalam kawasan hutan dan wilayah sekitar hutan;
c. melakukan penggeledahan dan penyitaan barang bukti tindak pidana
di bidang kehutanan;
d. memanggil seseorang untuk didengar keterangannya dan diperiksa
sebagai tersangka atau saksi atas tindak pidana di bidang
kehutanan;
e. membuat dan menandatangani Berita Acara;
f. mengadakan penghentian penyidikan apabila tidak terdapat cukup
bukti tentang adanya tindak pidana di bidang kehutanan;
Co mpiled by: 21 Yayasan Titian 6
g. meminta petunjuk dan bantuan penyidikan kepada. penyidik POLRI
2. Tata cara pengangkatan Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan yang berlaku.
BAB VII
KETENTUAN PIDANA
Pasal 18
1. Barang siapa dengan sengaja melanggar ketentuan Pasal 6 ayat (1)
atau Pasal 9 ayat (2) dalam hutan yang telah ditetapkan sebagai
hutan lindung dan Pasal 10 ayat (1) dihukum dengan pidana penjara
selama-lamanya 10 (sepuluh) tahun atau denda sebanyak-banyaknya Rp.
100.000.000,- (seratus juta rupiah).
2. Barang siapa dengan sengaja melanggar ketentuan Pasal 6 ayat (1)
atau Pasal 9 ayat (2) di dalam hutan yang bukan hutan lindung,
dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya 5(lima) tahun atau
dengan sebanyak-banyak Rp. 20.000.000,- (dua puluh juta rupiah).
3. Barang siapa :
a. melanggar ketentuan Pasal 5 ayat (2), atau Pasal 7 ayat (1),
ayat (2), dan ayat (3) atau Pasal 8 ayat (2); atau
b. karena kelalaiannya menimbulkan kebakaran hutan; dipidana dengan
pidana kurungan selama-lamanya 1 (satu) tahun atau denda
sebanyak-banyaknya Rp. 1.000.000,- (satu juta rupiah).
4. Barang siapa dengan sengaja :
a. melanggar ketentuan Pasal 4 ayat (2);
b. melanggar ketentuan Pasal 9 ayat (3);
c. melanggar ketentuan Pasal 11 ayat (1);
d. memiliki dan/atau menguasai dan/atau mengangkut hasil hutan
tanpa disertai surat keterangan sahnya hasil hutan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 14 ayat (1), sedang hasil hutan yang
berbentuk bahan mentah tersebut sudah dipindahkan dari tempat
pemungutannya; dipidana dengan pidana kurungan selama-lamanya 1
(satu) tahun atau denda sebanyak-banyaknya Rp. 5.000.000,- (lima
juta rupiah).
5. Barang siapa dengan sengaja melanggar ketentuan Pasal 6 ayat (2)
atau Pasal 9 ayat (1), dipidana dengan pidana kurungan selamalamanya
6 (enam) bulan atau denda sebanyak-banyaknya Rp. 2.500.000,-
(dua juta lima ratus ribu rupiah).
6. Perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (1), ayat (2),
dan ayat (3) adalah kejahatan, sedangkan perbuatan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 18 ayat (4) dan ayat (5) adalah pelanggaran.
7. Semua benda yang diperoleh dari dan semua alat atau benda yang
dipergunakan untuk melakukan perbuatan pidana sebagaimana dimaksud
dalam pasal ini dapat dirampas untuk Negara.
Co mpiled by: 21 Yayasan Titian 7
BAB VIII
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 19
Pada saat mulai berlakunya Peraturan Pemerintah ini, semua peraturan
perundang-undangan yang setingkat atau lebih rendah tentang perlindungan
hutan tetap berlaku, sepanjang tidak bertentangan dengan Peraturan
Pemerintah ini atau belum diubah atau diganti berdasarkan Peraturan
Pemerintah ini.
BAB IX
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 20
Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan
Pemerintah ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik
Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 7 Juni 1985
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
SOEHARTO
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 7 Juni 1985
MENTERI/SEKRETARIS NEGARA
REPUBLIK INDONESIA
SUDHARMONO, S.H.
Co mpiled by: 21 Yayasan Titian 8
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 28 TAHUN 1985
TENTANG
PERLINDUNGAN HUTAN
I. UMUM
Hutan adalah sumberdaya alam yang merupakan karunia Tuhan Yang Maha Esa
yang mempunyai fungsi sangat penting untuk pengaturan tata air,
pencegahan bahaya banjir dan erosi, pemeliharaan kesuburan tanah dan
pelestarian lingkungan hidup, sehingga untuk dapat dimanfaatkan secara
lestari, hutan harus dilindungi dari kerusakan-kerusakan yang disebabkan
oleh perbuatan manusia dan ternak, kebakaran, daya-daya alam, hama dan
penyakit. Selain itu hutan adalah kekayaan alam milik bangsa dan negara
yang tidak ternilai, sehingga hak-hak bangsa dan negara atas hutan dan
hasilnya perlu dijaga dan dipertahankan, agar hutan tersebut dapat
memenuhi fungsinya bagi kepentingan bangsa dan negara itu sendiri.
Usaha-usaha untuk melindungai dan mengamankan hutan merupakan salah satu
unsur penting dalam rangka pengurusan hutan sebagaimana dimaksud dalam
Undang-undang Nomor 5 Tahun 1967 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok
Kehutanan dengan tujuan agar hutan secara lestari dapat memenuhi
fungsinya. Tindakan-tindakan perlindungan hutan selama ini diatur dalam
beberapa peraturan perundang-undangan yang selain bermacam ragam
coraknya, juga tidak sesuai lagi dengan perkembangan keadaan pada waktu
ini, sehingga oleh karena itu peraturan perundang-undangan tentang
Perlindungan Hutan perlu dituangkan dalam suatu Peraturan Pemerintah,
sebagai pelaksanaan dari BAB V Undang-undang Nomor 5 Tahun 1967 tentang
Ketentuan-ketentuan Pokok Kehutanan.
Sebagaimana ditentukan dalam Pasal 15 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1967
tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kehutanan, maka perlindungan hutan
meliputi usaha-usaha untuk :
a. mencegah dan membatasi kerusakan-kerusakan hutan dan hasil hutan
yang disebabkan oleh perbuatan manusia dan ternak, kebakaran,
daya-daya alam, hama dan penyakit.
b. mempertahankan dan menjaga hak-hak negara atas hutan dan hasil
hutan.
Usaha-usaha tersebut di atas dapat dibedakan dalam dua bagian ialah :
a. usaha perlindungan hutan atau dapat disebut usaha pengamanan
teknis kehutanan;
b. usaha pengamanan hutan atau dapat disebut usaha pengamanan
polisionil terhadap hutan.
Co mpiled by: 21 Yayasan Titian 9
Untuk dapat mengadakan perlindungan dan pengamanan terhadap hutan serta
hasil hutan termasuk suaka-suaka alam dan hutan wisata perlu diketahui
pelbagai macam kerusakan-kerusakan/kerugian- kerugian yang ditimbulkan
pelbagai macam gangguan.
Dapat dijelaskan bahwa pelbagai macam kerusakan-kerusakan/ kerugiankerugian
akibat gangguan tersebut antara lain meliputi :
a. pengrusakan terhadap hutan akibat pengerjaan/pendudukan tanah
hutan secara tidak sah dan adanya penggunaan kawasan hutan yang
menyimpang dari fungsinya serta pengusahaan hutan yang tidak
bertanggung jawab;
b. pengrusakan tanah hutan akibat adanya pengambilan batu, pasir,
tanah, dan bahan galian lainnya serta adanya penggunaan alatalat
yang tidak sesuai dengan kondisi tanah/ tegakan;
c. pengrusakan tegakan hutan misalnya pencurian kayu, penebangan
tanpa izin;
d. kerusakan akibat penggembalaan ternak dalam hutan dan akibat
kebakaran;
e. kerusakan hasil hutan akibat perbuatan manusia, gangguan hama,
dan penyakit serta daya-daya alam.
Gangguan-gangguan tersebut di atas disebabkan oleh barbagai faktor
antara lain seperti bertambahnya penduduk yang sangat pesat dengan
penyebaran yang tidak merata, semakin berkurangnya tanah pertanian
disertai oleh keadaan sosial ekonomi rakyat di sekitar hutan, adanya
perladangan yang berpindah-pindah, sempitnya lapangan pekerjaan,
kurangnya kesadaran masyarakat akan arti dan pentingnya fungsi hutan dan
lain-lain.
Dengan penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa upaya perlindungan
hutan dan kehutanan banyak menghadapi ancaman, tantangan, hambatan dan
gangguan, sehingga oleh karena itu peraturan pelaksanaannya perlu segera
dikeluarkan untuk dapat mengambil langkah-langkah penanggulangannya.
Adapun penanggulangan tersebut dapat dilakukan dalam bentuk-bentuk
tindakan yang sifatnya preventif dan represif sesuai dengan tujuan yang
hendak dicapai dengan Peraturan Pemerintah ini.
Kelestarian dan fungsi hutan adalah merupakan salah satu sumber
kehidupan seluruh masyarakat, maka perlindungan hutan untuk mencapai
tujuan tersebut bukan menjadi tanggung jawab Pemerintah saja, melainkan
menjadi tanggung jawab pula seluruh masyarakat, terutama yang langsung
berkepentingan dengan hutan dan kehutanan, maka untuk itu masyarakat
diikut-sertakan dalam upaya perlindungan hutan yang diatur dengan
Peraturan Pemerintah ini.
II. PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Huruf a
Cukup jelas.
Co mpiled by: 21 Yayasan Titian 10
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Cukup jelas.
Huruf g
Cukup jelas.
Huruf h
Cukup jelas.
Huruf i
Untuk mendapatkan kepastian hukum mengenai status dan batas
kawasan hutan diperlukan adanya penataan batas yang dilakukan oleh
Panitia Tata Batas.
Penataan batas ini meliputi pekerjaan-pekerjaan survai areal,
pemancangan tanda batas, pengukuran, pemetaan, dan pembuatan
berita acara.
Huruf j
Kegiatan mengambil kayu dan hasil hutan lainnya dilakukan dengan
berbagai cara, mulai dari cara biasa dengan memakai alat kampak
dan gergaji listrik ("chain saw") sampai menggunakan traktor,
sedang kegiatan pengangkutannya dengan menggunakan trailer dan
lain-lainnya.
Kegiatan pengambilan dan pengangkutan ini harus sesuai dengan
persyaratan-persyaratan teknis yang berlaku.
Huruf k
Cukup jelas.
Huruf l
Cukup jelas.
Pasal 2
Cukup jelas.
Pasal 3
Cukup jelas.
Co mpiled by: 21 Yayasan Titian 11
Pasal 4
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 5
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Untuk kepentingan umum maka tanpa mengubah statusnya sebagai
kawasan hutan terpaksa dilakukan penyimpangan fungsi dan,
peruntukannya, misalnya areal hutan dipakai untuk kepentingan umum
antara lain untuk waduk, jalan, pekuburan, dan instalasi "micro
wave".
Pasal 6
Ayat (1)
Mengerjakan hutan meliputi kegiatan eksploitasi hutan dan tanah
hutan.
Ayat (2)
Petunjuk Menteri tersebut diperlukan agar supaya dapat dilakukan
pengawasan atas terlaksananya fungsi hutan yang bersangkutan dalam
rangka usaha pengawetan tanah, pengaturan tata air, dan lingkungan
hidup.
Pasal 7
Ayat (1)
Instansi yang berwenang dalam ayat ini adalah instansi yang berhak
untuk mengeluarkan izin eksplorasi dan eksploitasi bahan galian.
Bahan galian meliputi juga pasir, tanah, batu dan lain-lainnya.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Dalam pengertian kondisi tanah dan lapangan, termasuk keadaan
fotografi, sifat-sifat tanah, dan iklim.
Pengertian tegakan adalah keseluruhan pohon yang ada di dalam
hutan.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Co mpiled by: 21 Yayasan Titian 12
Pasal 8
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Jurang yang harus dilindungi adalah lereng yang puncak kemiringan
minimum 45% (empat puluh lima persen) dan mempunyai cukup
kedalaman sehingga berkurangnya tumbuh-tumbuhan di sekitarnya akan
mengakibatkan longsornya lereng tersebut.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 9
Ayat (1)
Orang yang karena kepentingan dibenarkan berada dalam hutan,
misalnya penduduk yang karena tempat tinggalnya berada di dalam
atau harus melalui hutan.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Hasil hutan lainnya antara lain daun, kayu bakar, rotan, arang,
buah tengkawang, dan sebagainya.
Pasal 10
Ayat (1)
Pembakaran hutan dengan kewenangan yang sah misalnya pembakaran
hutan untuk kepentingan membuat padang rumput untuk kepentingan
satwa atau persiapan penanaman pohon hutan.
Ayat (2)
Hutan sebagai kekayaan yang memberikan manfaat sosial ekonomi dan
berfungsi menjaga keseimbangan lingkungan hidup, perlu di jaga dan
dipelihara kelestariannya oleh setiap anggota masyarakat. Oleh
karena itu setiap orang dan terutama bagi yang tinggal di sekitar
hutan wajib membantu mencegah dan memadamkan kebakaran hutan.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 11
Ayat (1)
Penggembalaan ternak secara tidak terkendali dapat merusak hutan,
baik berupa kerusakan tanah ataupun berupa kerusakan tanaman muda
oleh karena itu perlu diatur dengan menyediakan tempat- tempat
khusus, yang ditunjuk oleh pejabat kehutanan yang berwenang untuk
keperluan penggembalaan, pengambilan rumput, dan makanan ternak.
Co mpiled by: 21 Yayasan Titian 13
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 12
Cukup jelas.
Pasal 13
Ayat (1)
Pemerintah berkepentingan terhadap iuran hasil hutan yang besarnya
tergantung pada hasil pengukuran dan pengujian, di samping itu
pengukuran dan pengujian diperlukan juga untuk usaha-usaha
peningkatan mutu hasil hutan dan pencegahan pemborosan hasil hutan
serta untuk mengawasi ketentuan-ketentuan pengusahaan hutan.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 14
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 15
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan Instansi-instansi Kehutanan di Daerah Tingkat
I adalah meliputi :
Kantor Wilayah Departemen Kehutanan, Dinas Kehutanan, Unit Perum-
Perhutani dan Unit Pelaksana Teknis di lingkungan Departemen
Kehutanan.
Ayat (2)
Disamping memungut hasil hutan, pemegang Hak Pengusahaan Hutan
berkewajiban pula untuk menjaga agar supaya hutan tidak menjadi
rusak.
Pasal 16
Ayat (1)
Disamping tugasnya untuk mengurus hutan, maka Pejabat Pegawai
Negeri Sipil tertentu di bidang kehutanan mempunyai tugas pula
untuk melindungi hutan dan hasil hutan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 15 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1967.
Co mpiled by: 21 Yayasan Titian 14
Karena itu maka Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu di bidang
Kehutanan diberi wewenang Kepolisian Khusus sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 18 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1967.
Pejabat yang diberi wewenang Kepolisian Khusus tersebut selain
bertugas di wilayah kerjanya dapat pula digerakkan dan
dikendalikan sesuai dengan kebutuhan. Adanya pejabat yang diberi
wewenang Kepolisian Khusus tersebut adalah sangat penting untuk
melaksanakan perlindungan hutan, karena hutan adalah milik Negara.
Digerakkannya dan dikendalikannya pejabat-pejabat tersebut ke
wilayah hutan tertentu ini dimungkinkan oleh karena wilayah hutan
adalah demikian luasnya dengan jumlah aparatur personil yang
sangat terbatas serta kondisi lapangan yang sulit dijangkau secara
biasa.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 17
Ayat (1)
Berdasarkan Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981, Penyidik Pegawai
Negeri Sipil tertentu mempunyai wewenang sesuai dengan Undangundang
yang menjadi dasar hukumnya masing-masing. Dalam Undangundang
Nomor 5 Tahun 1967 kewenangan Pejabat Penyidik Pegawai
Negeri Sipil di bidang Kehutanan belum diatur walaupun menurut
Penjelasan Pasal 18 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1967 dinyatakan
adanya Pejabat Penyidik Pegawai Negeri Sipil di bidang Kehutanan
(Magistrat Pembantu).
Berhubung dengan itu maka dalam Peraturan Pemerintah ini perlu
diatur wewenang Penyidik Pegawai Negeri Sipil di bidang kehutanan
secara terbatas.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku
ialah Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana
dan Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983 tentang Pelaksanaan
Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana.
Pasal 18
Ayat (1)
Sanksi pidana atau denda yang dikenakan cukup berat, karena
dimaksudkan untuk melindungi kelestarian hutan lindung pada
khususnya, dan kelestarian alam pada umumnya.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Co mpiled by: 21 Yayasan Titian 15
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Ayat (7)
Cukup jelas.
Pasal 19
Dengan berlakunya Peraturan Pemerintah ini, maka semua peraturan
perundang-undangan mengenai perlindungan hutan yang sudah ada
tetap berlaku, sepanjang peraturan perundang-undangan tersebut
tidak bertentangan dengan ketentuan dalam Peraturan Pemerintah ini
atau belum dikeluarkan peraturan perundang-undangan baru sebagai
pelaksanaan Peraturan Pemerintah ini.
Pasal 20
Cukup jelas.

Label:

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda