Minggu, 07 Desember 2008

UNDANG UNDANG KORUPSI

PEMBERANTASAN TINDAK
PIDANA KORUPSI
Undang-Undang No. 3 Tahun 1971 Tanggal 29 Maret 1971
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDENREPUBLIK INDONESIA,
Menimbang :
a. bahwa perbuatan-perbuatan korupsi sangat merugikan keuangan/
perekonomian negara dan menghambat pembangunan Nasional;
b. bahwa Undang-undang No. 24 Prp. tahun 1960 tentang Pengusutan,
Penuntutan dan Pemeriksaan Tindak Pidana Korupsi berhubung
dengan perkembangan masyarakat kurang mencukupi untuk dapat
mencapai hasil yang diharapkan, dan oleh karenanya Undang-undang
tersebut perlu diganti.
Mengingat :
1. Pasal-pasal 5 ayat (1), 20 ayat (1) dan Pasal 24 Undang-Undang
Dasar 1945;
2. Undang-undang No. 13 tahun 1961 tentang Ketentuan-ketentuan
Pokok Kepolisian Negara;
3. Undang-undang No. 15 tahun 1961 tentang Ketentuan-ketentuan
Pokok Kejaksaan RepublikIndonesia;
4. Undang-undang No. 14 tahun 1967 tentang Pokok-pokok Perbankan;
5. Undang-undang No. 18 tahun 1961 tentang Ketentuan-ketentuan
Pokok Kepegawaian.
2
Dengan Persetujuan :
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT GOTONG ROYONG
MEMUTUSKAN:
I. Mencabut : Undang-undang No. 24 Prp.tahun 1960.
II. Menetapkan : Undang-undang tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi.
BABI
KETENTUANUMUM
Pasal 1
Dihukum karena tindak pidana korupsi ialah:
(1)a. barangsiapa dengan melawan hukum melakukan perbuatan
memperkaya diri sendiri atau orang lain, atau suatu Badan,
yang secara langsung atau tidak langsung merugikan
keuangan negara dan atau perekonomian negara, atau
diketahui atau patut disangka olehnya bahwa perbuatan
tersebut merugikan keuangan negara atau perekonomian
negara;
b. barang siapa dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau
orang lain atau suatu Badan, menyalahgunakan kewenangan,
kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau
kedudukan, yang secara langsung atau tidak langsung dapat
merugikan keuangan negara atau perekonomian negara;
c. barang siapa melakukan kejahatan tercantum dalam Pasalpasal
209, 210, 387, 388, 415, 416,417, 418, 419, 420, 423, dan
435 K.U.H.P.;
d. barang siapa memberi hadiah atau janji kepada pegawai negeri
seperti dimaksud dalam Pasal 2 dengan mengingat sesuatu
kekuasaan atau sesuatu wewenang yang melekat pada
jabatannya atau kedudukannya atau oleh si pemberi hadiah
atau janji dianggap melekat pada jabatan atau kedudukan itu;
e. barang siapa tanpa alasan yang wajar, dalam waktu yang
sesingkat-singkatnya setelah menerima pemberian atau janji
yang diberikan kepadanya, seperti yang tersebut dalam Pasalpasal
418, 419 dan 420 K.U.H.P. tidak melaporkan pemberian
atau janji tersebut kepada yang berwajib.
3
(2) barangsiapa melakukan percobaan atau permufakatan untuk
melakukan tindak pidana-tindak pidana tersebut dalam ayat (1) a, b, c,
d, e pasal ini.
Pasal 2
Pegawai negeri yang dimaksud oleh Undang-undang ini, meliputi juga
orang-orang yang menerima gaji atau upah dari keuangan negara atau
daerah atau yang menerima gaji atau upah dari suatu badan/badan hukum
yang menerima bantuan dari keuangan negara atau daerah, atau badan
hukum lain yang mempergunakan modal dan kelonggaran-kelonggaran dari
negara atau masyarakat.
BAB II
TENTANG PENYIDIKAN DAN PENUNTUTAN
TINDAK PIDANA KORUPSI
Pasal 3
Penyidikandan penuntutan tindak pidana korupsi dijalankan menurut
ketentuan-ketentuan yang berlaku, sekedar tidak ditentukan lain dalam
Undang-undang ini.
Pasal 4
Perkarakorupsi harus didahulukan dari perkara-perkara yang lain untuk
diajukan ke Pengadilan guna diperiksa dan diselesaikan dalam waktu yang
sesingkat-singkatnya.
Pasal 5
Penyidik wajib dengan inisiatif sendiri melakukan tindakan yang
dianggap perlu untuk penyidikan, segera setelah ia menerima laporan-laporan
atau timbul dugaan yang beralasan dari penyidik tentang adanya tindak
pidana korupsi.
4
Pasal 6
Setiap tersangka wajib memberi keterangan tentang seluruh hartabendanya
dan harta-benda isteri/suami, anak dan setiap orang serta badan
yang diketahui atau yang diduga olehnya mempunyai hubungan dengan
perkara yang bersangkutan apabila diminta oleh penyidik.
Pasal 7
(1) Kecuali ayah, ibu, nenek, kakek, saudara kandung, isteri/suami, anak
cucu dari tersangka, maka setiap orang wajib memberi keterangan
menurut pengetahuannya masing-masing sebagai saksi atau ahli
kepada petugas penyidik dalam perkara yang bersangkutan.
(2) Orang yangdibebaskan dari memberi keterangan sebagai saksi seperti
tersebut dalam ayat (1) pasal ini, dapat diperiksa sebagai saksi apabila
tersangka mengijinkan, dan orang itu sendiri menghendakinya.
(3) Sekalipuntanpa ijin dari tersangka, orang yang tersebut dalam ayat (2)
pasal ini, dapatdiperkenankan oleh penyidik untuk memberi
keterangan.
Pasal 8
Kewajiban memberikan kesaksian yang dimaksud dalam Pasal 7
Undang-undang ini, berlaku juga bagi mereka yang menurut ketentuanketentuan
hukum yang berlaku harus merahasiakan pengetahuannya
berhubung dengan martabat jabatan atau pekerjaannya, kecuali petugas
agama.
Pasal 9
(1) Dengan tidak mengurangi ketentuan-ketentuan hukum yang berlaku
mengenai rahasia Bankseperti yang dimaksud Pasal 37 ayat (2)
Undang-undang tentang Pokok-pokok Perbankan, maka dalam perkara
korupsi atas permintaan Jaksa Agung, Menteri Keuangan dapat
memberi ijin kepada Jaksa untuk minta keterangan kepada Bank
tentang keadaan keuangan dari tersangka.
(2) Dengan ijin Menteri Keuangan seperti tersebut dalam ayat (1), Bank
wajib memperlihatkan surat-surat Bank, dan memberikan keterangan
tentang keadaan keuangan dari tersangka.
(3) Ketentuan mengenai perincian tersebut dalam kedua ayat (1) dan(2)
diatas, harus diberikan dalam jangka waktu 14 (empat belas) hari sejak
tanggal penerimaan permintaan ijin itu oleh Menteri Keuangan.
Pasal 10
5
Dalam pemeriksaan pendahuluan saksi dilarang menyebut
nama/alamat atau hal-hal lain yang memberi kemungkinan dapat diketahuinya
pelapor.
Pasal 11
(1) Untuk kelancaran serta keseksamaan pemeriksaan perkara yang
bersangkutan, penyidik dapat setiap waktu meminta kepada tersangka
dan setiap orang yang ada hubungannya denganperkara itu untuk
memperlihatkan kepadanya segala surat dan barang-barang lain yang
dipandang perlu untuk diperiksa dan penyidik dapat menyitanya.
(2) Merekayang menurut ketentuan-ketentuan hukum harus merahasiakan
pengetahuannya berhubung dengan martabat, jabatan atau
pekerjaannya tidak dapat menolak untuk memperlihatkan surat-surat
atau bagian surat-surat atau bagian surat-surat yang dimaksud dalam
ayat (1) pasal ini kecuali petugas agama.
Pasal 12
Penyidik berhak membuka, memeriksa dan menyita surat-surat dan
kiriman-kiriman melalui Badan Pos, Telekomunikasi dan lain-lainnya yang
dicurigai mempunyai hubungan dengan perkara pidana korupsi yang sedang
diperiksa.
Pasal 13
(1) Penyidik setiap waktu berwenang memasuki setiap tempat yang
dipandangnya perlu dalam hubungannya dengan tugas pemeriksaa,
dan jika keadaan mengharuskannya, dibantu oleh alat kekuasaan
negara.
(2) Dalam hal penghuni sebuah rumah menolak untuk dimasuki rumahnya,
penyidik hanya dapat masuk bersama-sama dua orang saksi. Dalam
waktu 2 X 24 jam tentang pemasukan rumah itu dibuat berita acaranya
dan sehelai tembusannya disampaikan kepada penghuni rumah yang
bersangkutan untuk kepentingannya.
(3) Kewajiban untuk membuat berita-acara seperti tersebut di atas berlaku
juga untuk pensitaan yang dimaksud dalam Pasal 64 ayat (2) R.I.B.
6
BAB III
PEMERIKSAAN DI MUKA PENGADILAN
Pasal 14
Perkara korupsi dan diadili oleh Pengadilan Negeri menurut Undangundang
dan Hukum Acara yang berlaku, sekedar dalam Undang-undang ini
tidak ditentukan lain.
Pasal 15
Surat tuduhan dibuat dengan perumusan secara singkat tentang
perbuatan yang dituduhkan dengan menguraikan waktu dan tempat
perbuatan itu dilakukan.
Pasal 16
Bilamana pada permulaan sidang, tuduhan tidak dapat cukup
dimengerti oleh terdakwa, maka Penuntut Umum atas permintaan Hakim
wajib memberi keterangan lebih lanjut atas surat tuduhan tersebut apabila
menurut pandangan Hakim terdakwa dapat dirugikan dalam pembelaannya.
Pasal 17
(1) Hakimdapat memperkenankan terdakwa untuk kepentingan
pemeriksaan memberikan keterangan tentang pembuktian bahwa ia
tidak bersalah melakukan tindak pidanakorupsi.
(2) Keterangan tentang pembuktian yang dikemukakan oleh terdakwa
bahwa ia tidak bersalah seperti dimaksud dalam ayat (1) hanya dapat
dikerkenankan dalam hal:
a. apabila terdakwa menerangkan dalam pemeriksaan, bahwa
perbuatannya itu menurut keinsyafan yang wajar tidak
merugikan keuangan atau perekonomian negara, atau
b. apabila terdakwa menerangkan dalam pemeriksaan, bahwa
perbuatannya itu dilakukan demi kepentingan umum.
(3) Dalam hal terdakwa dapat memberi keterangan tentang pembuktian
seperti dimaksud dalam ayat (1) maka keterangan tersebut
dipergunakan sebagai hal yang setidak-tidaknya menguntungkan
7
baginya. Dalam hal demikian Penuntut Umum tetap mempunyai
kewenangan untuk memberikan pembuktian yang berlawanan.
(4) Apabila terdakwa tidak dapat memberikan keterangan tentang
pembuktian seperti dimaksud dalam ayat (1) maka keterangan tersebut
dipandang sebagai hal yang setidak-tidaknya merugikan baginya.
Dalam hal demikian Penuntut Umum tetap diwajibkan memberi
pembuktian bahwa terdakwa bersalah melakukan tindak pidana
korupsi.
Pasal 18
(1) Setiap terdakwa wajib memberi keterangan tentang seluruh hartabendanya
dan harta-benda isteri/suami, anak dan setiap orang, serta
badan yang diduga mempunyai hubungan dengan perkara yang
bersangkutan apabila diminta oleh Hakim.
(2) Bila terdakwa tidak dapat memberi keterangan yang memuaskan
sidang pengadilan tentang sumber kekayaan yang tidak seimbang
dengan penghasilannya atau sumber penambahan kekayaannya maka
keterangan tersebut dapat digunakan untuk memperkuat keterangan
setiap saksi bahwa terdakwa telah melakukan tindak pidana korupsi.
Pasal 19
(1) Dalam pemeriksaan di muka Pengadilan saksi dilarang menyebut
nama/alamat atau hal-hal yang memberi kemungkinan dapat
diketahuinya pelapor.
(2) Pada saat pemeriksaan akan dimulai, Hakim memberikan peringatan
lebih dahulu kepada saksi tentang adanya larangan tersebut dalam
ayat (1) pasal ini.
Pasal 20
(1) Kecuali ayah, ibu, nenek, kakek, suadara kandung dan isteri/suami
anak cucu dari terdakwa, maka setiap orang wajib memberikan
keterangan menurut pengetahuannya masing-masing sebagai saksi
atau ahli kepada Hakim dalam perkara bersangkutan.
(2) Orang yang dibebaskan dari memberikan keterangan sebagai saksi
seperti tersebut dalam ayat (1) pasal ini dapat diperiksa sebagai saksi
dengan pintu tertutup apabila terdakwa dan Penuntut Umum
mengijinkan, dan orang-orang itu sendiri menghendakinya.
(3) Sekalipun tanpa ijin dari terdakwa dan Penuntut Umum, orang yang
tersebut dalam ayat (2)pasal ini dapat diperkenankan oleh Hakim untuk
memberi keterangan di luar sumpah dengan pintu tertutup.
8
Pasal 21
Apabila Hakim meminta, kewajiban memberi kesaksian dalam Pasal 20
ayat (1) Undang-undang ini, berlaku juga bagi mereka, yang menurut
ketentuan hukum yang berlaku harus merahasiakan pengetahuannya
berhubung dengan martabat, jabatan atau pekerjaannya, kecuali petugas
agama.
Pasal 22
(1) Dengan tidak mengurangi ketentuan-ketentuan hukum yang berlaku
mengenai rahasia Bank seperti yang dimaksud Pasal 37 ayat (2)
Undang-undang tentang Pokok-pokok Perbankan, maka dalam perkara
korupsi atas permintaan Mahkamah Agung, Menteri Keuangan dapat
memberi ijin kepada Hakim untuk minta keterangan kepada Bank
tentang keadaan keuangan dari terdakwa.
(2) Dengan ijin Menteri Keuangan seperti tersebut dalam ayat (1), Bank
wajib memperlihatkan surat-surat Bank, dan memberikan keterangan
tentang keadaan keuangan dari terdakwa.
(3) Ketentuan-ketentuan mengenai perijinan tersebut dalam kedua ayat
(1)dan (2) diatas harus diberikan dalam jangka waktu 14 (empat belas)
hari sejak tanggal penerimaan ijin itu olehMenteri Keuangan.
Pasal 23
(1) Jika terdakwa setelah dipanggil dengan semestinya tidak hadir dalam
sidang pengadilan tanpa memberi alasan yang sah, maka perkara
dapat diperiksa dan diputus oleh Hakim tanpa kehadirannya.
(2) Bila terdakwa hadir pada sidang-sidang selanjutnya sebelum putusan
dijatuhkan, ia wajib diperiksa/didengar dan sidang dilanjutkan.
(3) Putusan Pengadilan diumumkan oleh Panitera dalam papan
pengumuman Pengadilan/KantorPemerintah Daerah.
(4) Terhadap putusan Pengadilan yang dijatuhkan tanpa kehadiran
terdakwa, terdakwa atau kuasanya dapat memajukan banding.
(5) a. Jika ada alasan yang cukup menduga, bahwa seorang yang
meninggal dunia, sebelum atas perkaranya ada putusan yang
tidak dapat diubah lagi, telah melakukan suatu tindak pidana
korupsi, maka Hakim atas tuntutan Penuntut Umum, dengan
putusan Pengadilan dapat memutuskan perampasan barangbarang
yang telah disita.
b. Ketentuantersebut pada ayat (4) tidak berlaku bagi orang yang
meninggal dunia dimaksud sub a.
9
(6) Setiap orang yang berkepentingan dapat memajukan surat keberatan
kepada Pengadilan yang telah menjatuhkan putusan dimaksud ayat (5)
dalam waktu tiga bulan setelah pengumuman tersebut dalam ayat (3).
BAB IV
TENTANG MENGADILI ANGGOTA ANGKATAN
BERSENJATA REPUBLIK INDONESIA
Pasal 24
(1) Penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan di sidang Pengadilan
terhadap tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh Anggota Angkatan
Bersenjata Republik Indonesia yang ada di bawah kekuasaan
Pengadilan Militer masing-masing dilakukan oleh petugas yang
ditentukan dalam aturan Acara Pidana masing-masing.
(2) Penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan di sidang Pengadilan,
dijalankan menurut Acara Pidana yang berlaku kecuali ditentukan lain
dalam Undang-undang ini.
Pasal 25
(1) Tindak Pidana Korupsi yang dilakukan oleh seorang yang harus diadili
oleh Pengadilan dalam lingkungan Peradilan Militer bersama-sama
dengan seorang yang harus diadili oleh Pengadilan dalam lingkungan
Peradilan Umum, diadili oleh Pengadilan dalam lingkungan Peradilan
Umum dengan kekecualian yang ditetapkan dalam Pasal 22 Undangundang
No. 14 tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok
Kekuasaan Kehakiman.
(2) Dalam hal perkara tersebut dalam ayat (1) pasal ini diadili oleh
Pengadilan dalam lingkungan “Peradilan Umum”, maka diangkat
Hakim Angkatan Bersenjata sebagai Hakim Anggota.
(3) Dalam hal perkara tersebut dalam ayat (1) pasal ini diadili oleh
Pengadilan dalam lingkungan Peradilan Militer, maka diangkat Hakim
dari Pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum sebagai Hakim
Perwira.
Pasal 26
Jaksa Agung selaku penegak Hukum dan Penuntut Umum tertinggi
memimpin/mengkoordineer tugas kepolisian represif/justisiel dalam
penyidikan perkara-perkara korupsi yang diduga atau mengandung petunjuk
telah dilakukan oleh seorang yang harus diadili oleh Pengadilan dalam
lingkungan Peradilan Militer maupun oleh seorang yang harus diadili oleh
Pengadilan dalam lingkungan Peradilan Militer maupun oleh seorang yang
harus diadili oleh Pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum.
10
Pasal 27
Bila Jaksa Agung berpendapat bahwa ada cukup alasan untuk
mengajukan perkara korupsi di muka Pengadilan maka ketentuan
sebagaimana termaktub dalam Pasal 10 Undang-undang No. 1 Drt. Tahun
1958 tentang Perubahan Undang-undang No. 6 tahun 1950 (Lembaran-
Negara 1950No.53) yang mengatur tentang Hukum Acara Pidana pada
Pengadilan Ketentaraan, tidak dipergunakan.
BAB V
TENTANG KETENTUAN-KETENTUAN PIDANA
Pasal 28
Barangsiapa melakukan tindak pidana korupsi yang dimaksud Pasal 1
ayat (1) sub a, b, c, d, e dan ayat (2)Undang-undang ini, dihukum dengan
hukuman penjara seumur hidup atau penjaraselama-lamanya 20 tahun dan/
atau denda setinggi-tingginya 3 0 (tiga puluh) juta rupiah.
Selain dari pada itu dapat dijatuhkan juga hukuman tambahan tersebut
dapat Pasal 34 sub a, b, dan c Undang-undang ini.
Pasal 29
Barang siapa dengan sengaja menghalangi, mempersulit, secara
langsung tidak langsung penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan dimuka
Pengadilan terhadap terdakwa maupun para saksi dalam perkara korupsi
diancam dengan hukuman penjara selama-lamanya 12 tahun dan/atau denda
setinggi-tingginya 5 (lima)juta rupiah.
Pasal 30
Barang siapa yang menurut Pasal 6, 7, 8, 9, 18, 20, 21, dan 22
Undang-undang ini wajib memberi keterangan dengan sengaja tidak memberi
keterangan atau memberi keterangan yang tidak benar, diancam dengan
hukuman penjara selama-lamanya 12 tahun dan/atau denda setinggitingginya
5 (lima) juta rupiah.
Pasal 31
Saksi yang tidak memenuhi ketentuan termaksud Pasal 10 dan 19
Undang-undang ini diancam dengan hukuman penjara selama-lamanya 3
tahun dan/atau denda setinggi-tingginya 2 (dua) juta rupiah.
11
Pasal 32
Pelanggaran Pasal 220, 231, 421,422, 429 dan Pasal 430 K.U.H.P.
dalamperkara korupsi diancam dengan hukuman penjara selama-lamanya 6
(enam) tahundan/atau denda setinggi-tingginya 4 (empat)juta rupiah.
Pasal 33
Perbuatan-perbuatan yang diancam dengan hukuman yang tersebut
dalam Pasal 28 sampai dengan Pasal 32 Undang-undang ini adalah
kejahatan.
Pasal 34
Selain ketentuan-ketentuan Pidana yang dimaksud dalam K.U.H.P.
maka sebagai hukuman tambahan adalah:
a. perampasan barang-barang tetap maupun tak tetap yang berujud dan
yang tak berujud, dengan mana atau mengenai mana tindak pidana itu
dilakukan atau yang seluruhnya atau sebagian diperolehnya dengan
tindak pidana korupsi itu, begitu pula harga lawan barang-barang yang
menggantikan barang-barang itu, baik apakah barang-barang atau
harga lawan itu kepunyaan si terhukum ataupun bukan;
b. Perampasan barang-barang tetap maupun tak tetap yang berujud dan
tak berujud yangtermaksud perusahaan si terhukum, dimana tindak
pidana korupsi itu dilakukan begitu pula harga lawan barang-barang
yang menggantikan barang-barang itu, baik apakah barang-barang
atau harga lawan itu kepunyaan si terhukum ataupun bukan,akan
tetapi tindak pidananya bersangkutan dengan barang-barang yang
dapat dirampas menurut ketentuan tersebut sub a pasal ini.
c. Pembayaran uang pengganti yang jumlahnya sebanyak-banyaknya
sama dengan harta-benda yang diperoleh dari korupsi.
Pasal 35
(1) Perampasan barang-barang bukan kepunyaan si terhukum tidak
dijatuhkan, apabila hak-hak pihak ketiga dengan iktikad baik akan
terganggu.
(2) Jika didalam putusan perampasan barang-barang itu termasuk juga
barang-barang pihakketiga yang mempunyai iktikad baik, maka mereka
ini dapat mengajukan suratkeberatan terhadap perampasan barangbarangnya
kepada Pengadilan yangbersangkutan, dalam waktu tiga
bulan setelah pengumuman Hakim.
12
Dalam hal itu Jaksa diminta keterangannya, tetapi pihak yang
berkepentingan harus pula didengar keterangannya.
BAB VI
PERATURANPERALIHAN
Pasal 36
Terhadap segala tindak pidana korupsi yang telah dilakukan sebelum
saat Undang-undang ini berlaku, tetapi diperiksa dan diadili setelah Undangundang
ini berlaku maka diperlukan Undang-undang yang berlaku pada saat
tindak pidana dilakukan.
BAB VII
PERATURANPENUTUP
Pasal37
Undang-undang ini disebut Undang-undang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi tahun 1971 dan mulai berlaku pada hari diundangkan.
Agar supaya setiap orang dapat mengetahuinya, memerintahkan
pengundangan Undang-undang ini dengan penempatan dalam Lembaran-
Negara Republik Indonesia.
Disahkan di Jakarta,
Pada tanggal 29 Maret 1971.
Presiden Republik Indonesia,
SOEHARTO
JenderalT.N.I.
Diundangkan di Jakarta,
Pada tanggal 29 Maret 1971.
Sekretaris Negara
Republik Indonesia,
ALAMSJAH
Letnan Jenderal T.N.I.
13
PENJELASAN ATAS
UNDANG-UNDANGNo. 3 TAHUN 1971
tentang
PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI
PENJELASAN PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Tindak pidana korupsi pada umumnya memuat aktivitas yang
merupakan manifestasi dari perbuatankorupsi dalam arti yang luas
mempergunakan kekuasaan atau pengaruh yang melekat pada seorang
pegawai negeri atau kedudukan istimewa yang dipunyai seseorang di dalam
jabatan umum yang secara tidak patut atau menguntungkan diri
sendirimaupun orang yang menyuap sehingga dikwalifiseer sebagai tindak
pidana korupsi dengan segala akibat hukumnya yang berhubungan dengan
Hukum Pidananya dan Acaranya.
Ayat (1)
Sub.a.
Ayat ini tidak menjadikan perbuatan melawan hukum sebagai suatu
perbuatan yang dapat dihukum, melainkan melawan hukum ini adalah sarana
untuk melakukan perbuatan yang dapat dihukum yaitu “memperkaya diri
sendiri” atau “orang lain” atau “suatu badan.”
Perkataan “memperkaya diri sendiri” atau “orang lain” atau “suatu
badan” dalam ayat ini dapat dihubungkan dengan Pasal 18 ayat(2), yang
memberi kewajiban kepada terdakwa untuk memberikan keterangan tentang
sumber kekayaannya sedemikian rupa, sehingga kekayaan yang tak
seimbang dengan penghasilannya atau penambahan kekayaan tersebut,
dapat digunakan untuk memperkuat keterangan saksi lain bahwa terdakwa
telah melakukan tindak pidana korupsi. Keuangan negara seperti yang
dimaksud oleh Undang-undang ini meliputi juga keuangan daerah atau suatu
badan/badan hukum yang menggunakan modal atau kelonggarankelonggaran
dari negara atau masyarakat dengan dana-dana yang diperoleh
dari masyarakat tersebut untuk kepentingan sosial, kemanusiaan dan lainlain.
Tidak termasuk “keuangan negara” dalam undang-undang ini ialah
keuangan dari badan/badan hukum yang seluruhnya modal diperoleh dari
swasta misalnya P.T., Firma, C.V. dan lain-lain.
14
Yang dimaksud dengan perbuatan-perbuatan yang dapat merugikan
perekonomian negara ialah pelanggaran-pelanggaran pidana terhadap
peraturan-peraturan yang dikeluarkan oleh Pemerintah dalam bidang
kewenangannya seperti dimaksud dalam Ketetapan MPRS No.
XXIII/MPRS/1966.
Sub. b.
Tindakpidana korupsi ini memuat sebagai
perbuatan pidana unsur “menyalah-gunakan kewenangan” yang ia peroleh
karena jabatannya, yang semuanya itu menyerupai unsur dalam Pasal 52
K.U.H.P. yang selain dari itu memuat pula unsur yang “secara langsung atau
tidak langsung dapat merugikan keuangan negara” serta dengan “tujuan
menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu badan.”
Ketentuan dalam sub b. ini adalah luas dalam rumusannya karena
mempergunakan istilah umum “menyalah-gunakan” dan tidak mengadakan
perincian seperti halnya dengan Pasal 52 K.U.H.P. dengan kata “…oleh
karena melakukan tindakpidana……….yang ia peroleh karena jabatannya.”
Sub. c.
Dengan perumusan Pasal 1 ayat (1) a dan b, maka istilah korupsi
dalam Undang-undang ini dipergunakan dalam arti yang luas, hingga adalah
layak apabila Pasal-pasal K.U.H.P. seperti tersebut dalam sub. c.,
dikwalifikasikan sebagai tindak pidana korupsi.
Sub. d.
DalamK.U.H.P. tidak diancam dengan hukuman
orang-orang yang memberi hadiah kepada pegawai yang dimaksud dalam
Pasal 418 K.U.H.P., juga tidak diancam dengan hukuman orang-orang yang
memberi hadiah kepada pegawai negeri seperti dimaksud dalam Pasal-pasal
Undang-undang ini.
Untuk mengisi kekosongan itu maka diadakan tindak pidana korupsi
yang tercantum dalamPasal 1 ayat (1) d.
Sub. e.
Ketentuan dalam sub. c. ini dimaksudkan untuk memidanakan
seseorang yang tidak melaporkan pemberian atau janji yang diperolehya
dengan melakukan tindak-pidana-tindak-pidana yang dimaksud dalam Pasal
418, 419, 420 K.U.H.P.
Apabila tidak semua unsur dari tindak pidana tersebut dipenuhi dan
pelaporan itu misalnya dilakukan dengan tujuan semata-mata agar supaya
diketahui tentang peristiwa penyuapan, maka ada kemungkinan bahwa si
penerima itu dapat dilepaskan dari penuntutan berdasarkan pasal-pasal
tersebut di atas. Hal demikian tidak berarti bahwa tiap pelaporan tentang
15
penerimaan pemberian/janji itu membebaskan terdakwa dari kemungkinan
penuntutan, apabila semua unsur dari tindak pidana dalam Pasal 418, 419,
420 K.U.H.P. dipenuhi.
Ayat (2).
Karena tindak pidana korupsi sangat merugikan
keuangan/perekonomian negara, maka percobaan untuk melakukan tindak
pidana tersebut dijadikan delik tersendiri dan diancam dengan hukuman sama
dengan ancaman bagi tindak pidana itu sendiri yang telah selesaidilakukan.
Demikian pula mengingat sifat dari tindak pidana korupsi itu,
maka permufakatan jahat untuk melakukan tindak pidana korupsi meskipun
masih merupakan tindakan persiapan sudah dapat dipidana penuh sebagai
suatu tindak pidana tersendiri.
Pasal 2
Pengertian pegawai negeri dalam pasal ini tidak hanya mencakup
pengertian pegawai negeri dalam Pasal 92K.U.H.P. dan pengertian pegawai
negeri menurut hukum Administrasi seperti diatur dalam Undang-undang No.
18 tahun 1961 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kepegawaian, yang
meliputi orang-orang yang menerima gajih atau upah dari keuangan negara
atau daerah, tetapi selain dari itu juga meliputi orang-orang yang menerima
gajih atau upah dari suatu badan/badan-hukum yang menerimabantuan dari
keuangan negara atau daerah atau badan hukum lainnya yang
mempergunakan modal dan kelonggaran-kelonggaran dari negara atau
masyarakat dengan dana-dana yang diperoleh dari masyarakat tersebut
untuk kepentingan sosial, kemanusiaan dan lain-lain.
Dalam rumusan pasal ini tidak termasuk orang-orang yang menerima
gaji atau upah dari suatu PerseroanTerbatas, Firma, C.V. dan lain sebagainya
yang seluruh modalnya dari modal swasta.
16
Pasal 3
Cukup jelas.
Pasal 4
Mengingatsifat tindak pidana korupsi yang istimewa maka tindakantindakan
pidana terhadap pelaku-pelaku tindak pidana korupsi memang harus
dilaksanakan dengan cepat dan efektif dalam batas waktu yang wajar.
Pasal 5
Ketentuan pasal ini adalah sesuai dengan ketentuan dalam R.I.B. yang
juga mewajibkan seorang pejabat melakukan tindakan penyelidikan apabila
terdapat “dugaan yang beralasan” tentang adanya suatu tindak pidana.
Pasal 6
Cukupjelas.
Pasal 7
Ayat (1)
Berlainan dengan ketentuan Pasal 274 R.I.B. yang membagi orangorang
yang dikecualikan dari kewajiban pemberian keterangan sebagai saksi
dalam beberapa golongan, maka pasal ini membatasi orang-orang yang
dikecualikan itu pada mereka yang mempunyai hubungan terdekat dengan
tersangka.
Ayat (2).
Ketentuan dalam ayat ini adalah sesuai dengan ketentuan
Pasal 275 R.I.B. ayat (1).
Ayat (3).
Ketentuan dalam ayat ini adalah sesuai dengan ketentuan
Pasal 275 R.I.B. ayat (2).
Pasal 8
Pasal ini hanya menunjuk petugas agar khususnya petugas dalam
agama Katolik (Imam) yang dimintakan bantuan kejiwaan, yang dipercayakan
untuk menyimpan rahasia.
Pada umumnya mereka yang harus menyimpan rahasia karena
martabat, jabatan atau, pekerjaannya ialah Dokter, Notaris, Advokat dan
petugas agama mempunyai hak untuk membebaskan diri dari kesaksian.
17
Oleh karena itu di dalam Undang-undang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi ini sebagai Undang-undang yang ekseptionil sifatnya hak
untuk membebaskan diri dari kesaksian tersebut diberikan terbatas kepada
petugas agama dalam arti tersebut di atas. Tetapi justru karena hak-hak dari
pejabat yang termasuk ketiga kategori lainnya tersebut di atas dikurangi,
maka keterangan-keterangan kesaksian dari mereka ini hanya dimintakan
sebagai upaya terakhir untuk melengkapi pembuktian.
Pasal 9
Ayat (1) dan (2)
Pada azasnya rahasiaBank dari para nasabah dipegang teguh seperti
apa yang diatur dalam Pasal 36 dari Undang-undang Pokok Perbankan.
Sesuai Dengan Pasal 37ayat (2) Undang-undang Pokok Perbankan,
ketentuan dalam Pasal 9 Undang-undang ini memberikan kewenangan
kepada Menteri Keuangan untuk memberi izin kepada Jaksa atas permintaan
Jaksa Agung untuk minta keterangan tentang keadaan keuangan dari
tersangka dan memperlihatkan surat-surat Bank tersangka.
Ayat (3).
Untuk mempercepat dan mempermudah terlaksananva penyelidikan
dan penuntutan tindak pidana korupsi maka ketentuan perijinan seperti
tersebut di atas perlu dibatasi hingga jangka waktu selama-lamanya 14
(empat belas) hari sejak penerimaan permintaan ijin itu oleh Menteri
keuangan.
Pasal 10
Pasal ini dimaksud untuk memberikan perlindungan terhadap pelapor
ialah mereka yang memberikan keterangan maupun informasi mengenai
suatu tindak pidana korupsi, agar supaya pelapor tidak takut-takut akan
diketahui nama/alamatnyayang mungkin akan membahayakan
keselamatannya, apabila ia dikenal oleh umum.
Karena sangat diharapkan laporan-laporan tentang tindak pidana
korupsi yang telah dilakukan atau diduga telah dilakukan maka perlulah
diberikan perlindungan terhadap para pelapor tersebut yang sungguhsungguh
akan membantu usaha pemberantasan korupsi. Supaya
perlindungan ini dapat dijamin maka saksi wajib merahasiakan nama/alamat
atauhal-hal yang memungkinkan dikenalnya pelapor baik dalam phase
pemeriksaan pendahuluan maupun dalam sidang pengadilan (Pasal 19).
Untuk mencegah pelanggaran ketentuan ini maka ditentukan sanksinya,
yang dimuat dalam Pasal 31.
18
Pasal 11
Ayat (1).
Pasal ini menetapkan beberapa ketentuan apabila penyidik
menentukan keterangan-keterangan tentang keuangan dan/atau harta benda
tersangka.
Ayat (2).
Alasan-alasan pengadaan pasal ini adalah sesuai dengan penjelasan
Pasal 8 dan dihubungkan dengan Pasal9 di atas.
Pasal 12
Denganditentukan bahwa surat-surat dan kiriman melalui Badan Pos,
Telekomunikasi dan lain-lainnya yang dapat dibuka dan diperiksa oleh
penyidik itu diduga keras mempunyai hubungan dengan perkara pidana
korupsi yang sedang diperiksa maka rahasia-rahasia surat kiriman yang oleh
si pengirim dipercayakan kepada Badan Pos. Telekomunikasi dan lain-lainnya
tetap terjamin.
Pasal 13
Ayat (1).
Ketentuan ini memberi kewenangan kepada penyidik untuk baik dalam
keadaan yang sangat mendesak maupun tidak, dapat memasuki rumah tanpa
ijin terlebih dahulu dari Hakim.
Ayat (2) dan (3).
Dalam hal penghuni sebuah rumah menolak untuk dimasuki rumahnya
maka penyidik dapat masuk bersama-sama dua orang saksi. Ketentuan ini
dibuat oleh karena mempunyai hubungan dengan hak azasi seseorang, maka
dalam pelaksanaannya diadakan ketentuan yang dimaksud supaya penyidik
tersebut mempergunakan hak dan kewenangannya secara tanpa disalahgunakan
Pasal 14
Cukupjelas.
Pasal 15
Menyimpang dari ketentuan yang berlaku surat tuduhan berisi uraian
singkat tentang pembuatan apa yang dituduhkan dengan menyebut pasal
yang bersangkutan.
19
Selanjutnya diuraikan dalam bahasa yang mudah dimengerti oleh
tersangka sambil menghindari pemakaian istilah-istilah tehnis yang tidak perlu
memuat semua unsur inti bagi tindak pidana yang dimaksud, dengan disertai
keterangan tentang kira-kira pada waktu-waktu dan di tempat mana
perbuatan itu dilakukan.
Surat tuduhan dalam pasal ini tidak mensyaratkan penyebutan
keadaan pada waktu melakukan perbuatan itu terutama hal-hal yang dapat
meringankan atau memberatkan tersangka seperti dimaksud dalam Pasal 250
ayat (4) R.I.B.
Pasal 16
Untuk menjamin terlindungnya hak-hak terdakwa untuk memberikan
pembelaannya, maka Penuntut Umum memberikan penambahan keterangan
atas surat tuduhan secara singkat itu.
Hal ini hanya dapat dilakukan pada permulaan sidang secara lisan.
Pasal 17
Ayat (1).
Aturan mengenai pembebanan pembuktian tidak diikuti sepenuhnya
meskipun hal ini tidak berarti bahwa pasal ini menghendaki suatu pembuktian
yang terbalik.
Pembuktian yang terbalik akan mengakibatkan Penuntut Umum
dibebaskan dari kewajiban untuk membuktikan terhadap salah atau tidaknya
seorang terdakwa, dan terdakwa sebaliknya dibebani pembuktian tentang
salah atau tidaknya.
Dalam pasal ini Hakim memperkenankan terdakwa memberi keterangan
tentang pembuktian yang tidak merupakan alat bukti menurut hukum, tetapi
segala sesuatu yang dapat lebih memberikan kejelasan membuat terang
tentang duduknya suatu perkara.
Ayat (2).
Cukup jelas.
Ayat (3).
Keterangan pembuktian itu adalah bahan penilaian bagi Hakim yang
dapat dipandang sebagai hal yang menguntungkan atau merugikan terdakwa.
Keterangan yang menguntungkan atau merugikan tersebut bukanlah suatu
yang mengandung di dalamnya suatu penghukuman atau pembebasan dari
penghukuman.
20
Apabila terdakwa dapat memberikan keterangan tentang pembuktian,
Penuntut Umum tetap mempunyai kewenangan untuk memberikan
pembuktian yang berlawanan (tegenbewijs).
Ayat (4).
Cukup jelas.
Pasal 18
Kalau terdakwa dalam perkara pidana korupsi tidak dapat memberikan
keterangan yang memuaskan tentang sumber kekayaannya yang tidak
seimbang dengan penghasilannya atau sumber penambahan kekayaannya
maka keterangan tersebut selain dapat digunakan untuk memperkuat
keterangan saksi-saksi bahwa terdakwa telah melakukan tindak pidana
korupsi juga dapat dipandang suatu petunjuk adanya perbuatan memperkaya
diri sepertidimaksud dalam Pasal 1 ayat (1) sub a.
Berbeda dengan penilaian harta bendayang dahulu diselenggarakan oleh
Badan Koordinasi Penilik Harta Benda yang bersifat perdata (Civiel rechtelijk)
maka kewajiban terdakwa memberi keterangan tentang sumber kekayaannya
hanya dapat dilakukan dalam perkara pidana, korupsi.
Pasal 19
Penjelasan Pasal 10 berlaku di dalam pasal ini sekedar mengenai
pemeriksaan di muka Pengadilan.
Pasal 20
Ayat (1).
Ketentuan yang tersebut di dalam Pasal 7 berlaku juga bagi
pemeriksaan di muka Pengadilan.
Ayat (2) dan (3).
Jiwa dari ketentuan dalam ayat (2) dan (3) ini adalah sesuai antara lain
dengan Pasal 275 ayat (1)dan (2) R.I.B.
Pasal 21
Ketentuan yang tersebut di dalam Pasal 8 beserta penjelasannya
berlaku pula bagi pemeriksaan di muka Pengadilan.
Pasal 22
Ketentuan di dalam Pasal, 9 beserta penjelasannya berlaku juga bagi
pemeriksaan di muka Pengadilan.
21
Pasal 23
Ayat (1).
Hal yang ditetapkan dalam Pasal ini adalah didasarkan pada pemikiran
bahwa seorang terdakwa itu mempunyai hak untuk hadir dalam sidang
pengadilan guna mengajukan usaha-usaha pembelaannya ataupun guna
mengemukakan segala sesuatu yang ditanyakan oleh pemeriksa. Akan tetapi
bila terdakwa tidak menggunakan haknya itu maka Pengadilan dapat
melakukan pemeriksaan tanpa hadirnya terdakwa dalam sidang.
Ayat (2).
Bila dalam waktu pemeriksaan persidangan yang sedang berjalan dan
belum mencapai suatu putusan, terdakwa baru hadir pada sidang-sidang
berikutnya ia wajib didengar dan diperiksa dan sidang pengadilan berjalan
terus.
Ayat (3).
Cukup jelas.
Ayat (4).
Lazimnya untuk putusan pengadilan yang dijatuhkan tanpa kehadiran
terdakwa dibuka kemungkinan bagi terdakwa untuk mengajukan perlawanan
akan tetapi dalam perkara korupsi untukmempercepat prosedur, lembaga
perlawanan tersebut ditiadakan. Terhadap putusan pengadilan tersebutdapat
langsung dimintakan banding menurut peraturan-peraturan yang berlaku.
Ayat (5).
Putusan sebagai termaksud dalam Sub a. ayat ini dikeluarkan sebagai
suatu penetapan Hakim (beschikking).
Ayat (6).
Ketentuan ini diperlukan karena orang yang berkepentingan tidak
mempunyai hak banding terhadap putusan (penetapan) termaksud dalam
ayat (5) melainkan dapat mengajukan surat keberatan terhadap putusan
(penetapan) tersebut.
Pasal 24
Cukup jelas. Lihat Penjelasan Umum.
Pasal 25
22
Cukup jelas. Lihat Penjelasan Umum.
Pasal 26
Penentuan dalam pasal ini bahwa didalam menghadapi perkaraperkara
korupsi yang pelakunya terdiri dari orang/orang-orang yang harus
diadili oleh Pengadilan dalam lingkungan Peradilan Militer maupun
orang/orang-orang yang harus diadili oleh Pengadilan dalam lingkungan
Peradilan Umum Pimpinan/koordinasi penyidikan berada pada Jaksa
Agungadalah suatu penjelmaan dari usaha keseragaman dalam penyidikan.
Pasal 27
Sebagai kelanjutan dari ketentuan dalam Pasal 26 maka dalam hal
Jaksa Agung setelah berkonsultasi dengan panglima Angkatan Bersenjata
berpendapat bahwa ada cukup alasan untuk mengajukan perkarakorupsi di
muka Pengadilan Atasan.
Yang Berhak Menghukum/Perwira Penyerah Perkara tidak
menggunakan wewenangnya sebagaimana tercantum dalamPasal 10 ayat
(1). b., yaitu untuk menentukan bahwa perkara tersangka akan diselesaikan di
luar Pengadilan dengan menutup perkara tersebut atau dengan
menyelesaikan secara disipliner.
Pasal 28
Ketentuan ini yang merupakan peningkatan dari ancaman pidana
dalam Undang-undang No. 24 Prp. tahun 1960 diadakan berhubung dengan
kerugian dan bahaya yang ditumbuhkan oleh tindakpidana korupsi.
Pasal 29
Oleh karena perbuatan menghalang-halangi, mempersulit, adalah
maknanya menguntungkan bagi tindak pidana korupsi, maka harus diancam
dengan pidana yang cukup berat.
Pasal 30
Sama dengan penjelasan bagi Pasal29.
Pasal 31
Lihat penjelasan Pasal 10 dan Pasal19.
Pasal 32
Cukup jelas.
23
Pasal 33
Cukup jelas.
Pasal 34
Untuk mendapatkan hasil yang maksimum dari usaha pengembalian
kerugian keuangan negara ataupun kekacauan perekonomian negara, maka
dianggap perlu sekali atas perampasan barang-barang bukti pada perkara
korupsi tidak terbatas pada yang dimaksud dalam Pasal 39K.U.H.P.,
sehingga hukuman tambahan itu merupakan perluasan yang diatur dalam
K.U.H.P.
Apabila pembayaran uang pengganti tidak dapat dipenuhi oleh
terdakwa maka berlakulah ketentuan-ketentuan mengenai pelaksanaan
pembayaran hukuman denda.
Pasal 35
Ketentuan dalam pasal in0i diadakan untuk melindungi pihak ketiga
yang nyata-nyata mempunyai itikad baik.
Pasal 36
Untuk perkara-perkara yang dimaksud dalam pasal ini diperlakukan
perundang-undangan yang ada pada saat tindak pidana korupsi dilakukan
dengan maksud agar dapat diikuti azas legalitas yang tersebut dalam Pasal 1
ayat (1) K.U.H.P.
Azas legalitas adalah unsur fundamental dalam negara hukum, di
samping pengakuan hak-hak azasi yang harus dijunjung tinggi dan unsur
peradilan bebas.
Penyampingan azas tersebut, yang mengakibatkan suatu perundangundangan
sebagai suatu keseluruhan mempunyai daya laku surut (daya
retroactief) dan dapat ditafsirkan secara analogis, kadang-kadang dilakukan
oleh Pemerintah yang otoriter dan dalarn negara hukum hanya dapat
dibenarkan oleh hukum darurat.
Ketentuan-ketentuan dalam Pasal 36 khususnya berlaku untuk
perkara-perkara transitoir, sehingga ketentuan-ketentuan dalam Undangundang
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi ini berlaku
sepenuhnya untuk perbuatan yang dilakukan sesudah Undang-undang ini
ditetapkan.
Pasal 37
Cukup jelas.
(Termasuk Lembaran-Negara Republik Indonesia tahun 1971 No. 19).


Label:

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda